Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Wisata Desain di Bangkok

Naiipa Art Complex terselip di antara pepohonan yang berusia lebih dari 30 tahun.

Oleh Nina Hidayat
Foto oleh Irene Barlian

Sekarang waktu yang luar biasa baik untuk menjadi arsitek dan desainer di Thailand,” jelas Amata Luphaiboon. “Warga menghargai desain, dan para pengembang sudah lebih berani mewujudkan inovasi. Keadaannya sangat berbeda dibandingkan 15 atau 10 tahun lalu.”

Amata adalah salah seorang pendiri Department of Architecture (DoA), firma interior desain dan arsitektur yang berbasis di Bangkok. Dalam 16 tahun kiprahnya, DoA telah menghasilkan beberapa kreasi artistik dan eksperimental yang menuai sorotan, termasuk hotel butik Little Shelter di Chiang Mai dan properti futuristik Mist Hot-Spring di Henan.

Di Bangkok, salah satu jejak monumental terakhir DoA ialah The Commons, kompleks kongko di distrik trendi Thonglor—semacam Kemang versi Bangkok. Ketika saya bertamu Desember silam, tempat ini dipadati pengunjung, terutama kalangan muda. Di area duduk berbentuk tangga kayu, berkumpul remaja dengan aksesori semacam tas Chanel Boy dan sepatu Air Jordan 1. Beberapa orang membawa anjing peliharaannya. Segelintir mahasiswa sibuk memelototi buku dan laptop. Memasuki pasar di basemen, barista Roots sibuk melayani pesanan, begitu pula kedai-kedai kontemporer seperti Lobster Lab, Egg My God, dan Seven Suns.

Tak cuma menampung area retail dan jajan, The Commons menjalankan peran sebagai “community center.” Kaum manula setempat dilibatkan menjaga toko suvenir. Di lantai atas, ada stan air minum gratis yang dilengkapi kotak donasi untuk mendanai aksi sosial. Di waktu tertentu, publik diundang mengikuti kelas kreatif semacam lokakarya membuat sabun dari bahan alami. Dalam banyak hal, tempat ini mirip balai desa versi hipster.

Kiri-Kanan: Amata Luphaiboon, salah seorang pendiri firma Department of Architecture; Desain semi-terbuka The Commons.

Sejak didirikan pada 2016, The Commons terus menjadi pergunjingan, sebuah tempat untuk dilihat dan melihat, bahkan merekah jadi atraksi wisata. Tapi yang membuatnya laris sebenarnya bukan cuma koleksi gerai atau variasi aktivitasnya. Berkat desainnya yang cerdas dan fungsional, tempat ini juga berhasil menghadirkan rasa nyaman dan betah.

Kompleks empat lantai ini menjulang di area seluas 5.000 meter persegi. Terbilang kecil untuk sebuah pusat retail, namun atmosfernya terasa lega berkat konsep bangunan semi-terbuka: lowong di tengah, langit-langit tinggi, minim dinding. Rekayasa sipil ini membuat udara bersirkulasi lancar. Interiornya senantiasa sejuk meski tanpa AC.

“Warga Bangkok suka sekali AC,” lanjut Amata. “Di The Commons, saya ingin menunjukkan bahwa melalui desain yang baik, pendingin udara bisa dihilangkan agar kita bisa menghemat energi tanpa mengorbankan kenyamanan.” Menuai banyak respons positif dari proyek ini, Amata merancang cabang The Commons di area Sala Daeng yang beroperasi mulai 2020. 

Kiri-Kanan: Seorang mahasiswi di perpustakaan Chulalongkorn University; Patung beruang di Thailand Creative & Design Center.

Berpindah ke Distrik Bang Rak, ada kreasi lain DoA yang juga berhasil mendapat tempat spesial dalam skena arsitektur Bangkok. Bernaung di bawah Bekraf versi Thailand, Thailand Creative & Design Center (TCDC) adalah lembaga publik yang menyediakan akses pengetahuan dan jaringan bagi pelaku industri kreatif. Agak mirip Creative Hub di Bandung, tapi bedanya TCDC berskala nasional dengan jaringan tersebar di tiga kota.

Tak seperti proyek The Commons di mana DoA meramu struktur dari nol, untuk markas TCDC Bangkok mereka bermanuver dalam bangunan bersejarah. Pusat kreatif ini menumpang di Kantor Pos Besar, bangunan bertitimangsa 1940 dengan gaya campuran art deco dan internasional, sekilas mengingatkan pada bank mitologis Gringotts dalam novel Harry Potter. Beradaptasi dengan struktur lawas itu, DoA menciptakan interior kontemporer yang sekilas menyerupai properti film fiksi ilmiah.

Dalam gedung lima lantai, TCDC menaungi ruang-ruang pertemuan di mana para pengusaha rintisan mengikuti program inkubasi dan merangkai jejaring. Perpustakaannya dipenuhi tiang-tiang putih yang menyentuh plafon, yang menembus rak-rak buku yang juga putih. Terpisah oleh partisi tembus cahaya, ada kafe, galeri, juga auditorium. Sementara di atap bangunan, ada taman fotogenik untuk melepas stres sekaligus melakoni swafoto.

Baca Juga: Babak Baru Industri Kreatif Bandung

Inovatif dan trendi, TCDC tak terlihat seperti “proyek pemerintah” umumnya. Desainnya yang fungsional sekaligus efektif juga telah mengantarkan DoA menyabet penghargaan bergengsi FX Interior Design Awards dan Architizer A+ Awards, bahkan sempat masuk nominasi World Festival of Interiors Award.

Mungkin benar, warga Bangkok—meminjam kata-kata Amata—“lebih menghargai desain.” Kini, dunia desain global pun mulai menghargai Bangkok.

Area membaca di perpustakaan arsitektur dan desain milik Chulalongkorn University.

Setidaknya di Asia, Bangkok punya tradisi yang dihormati di sektor arsitektur dan desain. Sejumlah pemain lokal berhasil menjala klien asing dan memenangkan tender proyek prestisius. Mathar Bunnag misalnya, mendesain resor Ritz-Carlton Reserve pertama di dunia. Duangrit Bunnag, semacam Yori Antar versi Thailand, merancang Hotel de la Paix (kini Sofitel) di Luang Prabang. Beberapa arsitek asing yang berkantor di Bangkok, sebut saja Bill Bensley, turut melambungkan pamor kota ini di bidang rancang bangun. 

Untuk sementara, Bangkok memang belum menjadi destinasi favorit turis untuk wisata desain. Kita mungkin memikirkan Helsinki, Rotterdam, atau Tokyo saat bicara estetika bangunan. Akan tetapi, Bangkok sedang memperlihatkan tren yang menarik dalam 10 tahun terakhir. Kota ini kian melek desain, juga kian rajin menelurkan terobosan dan eksperimen segar.

Contoh terbarunya dihadirkan oleh Rubporn “Ponk” Memoli, arsitek muda Bangkok yang menetap di London. Desember lalu, Ponk menginisiasi Bangkok Bound, acara open house dua hari yang membuka akses 13 bangunan berdesain atraktif. Para pengunjung mendapatkan informasi tangan pertama lewat tur yang dipandu oleh arsitek dari tiap bangunan tersebut. Membaca programnya, acara ini mirip dengan festival Bintaro Design District.

Untuk jilid perdananya, Bangkok Bound mengajak publik memasuki antara lain TCDC Bangkok, The Commons, serta Naiipa Art Complex. “Dua minggu sebelum acara, slot waktu kunjungan yang disediakan hampir habis,” jelas Ponk. “Hal ini menunjukkan antusiasme yang besar dari warga, juga turis yang sengaja datang dari Singapura dan Vietnam, untuk mengetahui perkembangan arsitektur Bangkok.” Kagum dengan gairah itu, Ponk menetapkan Bangkok Bound sebagai hajatan tahunan, juga berniat mewaralabanya ke Singapura dan Ho Chi Minh City.

Kiri-Kanan: Sungai Chao Phraya membelah Bangkok; Seragam staf SO/ Bangkok yang dirancang Christian Lacroix.

Merunut sejarahnya, Bangkok Bound merupakan aktivasi turunan dari aplikasi Architracker yang juga digarap Ponk. Ibarat Google Map khusus arsitektur, aplikasi ini menuntun publik dalam melacak dan menggali info tentang gedung-gedung berdesain ikonis di sebuah kota. Ponk merintisnya di London, di mana dia sendiri secara manual memasukkan 111 gedung dalam peta digital. Kini, Architracker telah mendata lebih dari 27.000 gedung di berbagai kota dunia.

Salah satu bangunan yang termaktub dalam Architracker ialah kantor baru IDIN Architects, firma tempat Ponk dulu bekerja. Konsep kantor IDIN sejalan dengan semboyan sekaligus kepanjangan namanya: Integrating Design Into Nature. Terselip di area Ratchadapisek yang sibuk, bangunan ini tampak seperti anomali: kotak hitam yang tersembunyi di antara pepohonan. Dindingnya memakai warna alami kayu aras, jenis yang mengandung resin tinggi, sehingga dijauhi ngengat dan rayap.

Baca Juga: Gedung-Gedung Ajaib Tanah Soviet

Mendarat di muka kantor IDIN, saya disambut oleh Modernism Cafe yang dibuat untuk menghormati para arsitek legendaris sekaliber Frank Lloyd Wright dan Le Corbusier. Caranya unik, misalnya menyuguhkan latte art berbentuk Museum Guggenheim karya Wright.

Berpindah ke zona kerja tim IDIN, saya menemukan orang-orang bertelanjang kaki dalam ruangan berjendela besar yang diterangi cahaya matahari. Berpindah ke lantai dua, ada area rooftop yang menatap apartemen studio milik penggagas IDIN, Jeravej Hongsakul.

Kiri-Kanan: Bangkok Art & Cultural Center menampilkan desain mirip Guggenheim New York; Thanom Chapakdee, kritikus seni dan pakar tata kota.

“Saat saya memulai IDIN pada 2004,” kenang Jeravej, “tidak banyak orang yang mengerti profesi arsitek, atau fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.” Jeravej masih ingat, banyak calon kliennya dulu sering bertanya mengapa mereka mesti membayar mahal untuk seseorang yang “hanya” mengatur letak pintu dan kamar tidur di rumah. Lewat negosiasi yang melelahkan, secara bertahap dia berhasil membuktikan fungsi arsitek sebenarnya.  

Jeravej membangun reputasinya dengan merancang rumah-rumah pribadi. Siri House, PA House, W House adalah beberapa sampel hunian urban dan eksentrik rancangan Jeravej. Beberapa kali, dia juga disewa untuk mendesain struktur komersial, contohnya Choui Fong Tea Cafe dan Lima Duva Resort. Lewat karyanya, Jeravej menunjukkan bahwa arsitektur yang baik bukan sebuah kemewahan, tetapi kebutuhan.

Sekarang, IDIN adalah firma yang dihormati. Tiap kali Anda menemukan rumah di Thailand yang menyerupai sampul buku arsitektur, besar kemungkinan Jeravej adalah otak di baliknya. Dan jika ada calon klien yang masih meragukan profesi arsitek, Jeravej kini punya jurus ampuh untuk membuktikan kemampuannya: mengundang mereka rapat di kantornya yang menyerupai ilusi optikal.

Ruang kerja firma IDIN Architects, salah satu bangunan yang termaktub dalam Architracker

Banyak arsitek di Bangkok bergerilya menghadirkan ruang-ruang yang fungsional dan nyaman, tapi kota ini mengalami problem urban yang membuat kenyamanan kian menantang untuk dihadirkan. 

Ibu Kota Thailand berada di luar daftar 50 kota terpadat sejagat, tapi kondisi di jalan-jalannya memberi impresi sebaliknya. Tidak peduli survei mana yang Anda baca, versi Uber atau TomTom, Bangkok bertengger di klasemen atas Asia Tenggara dalam hal tingkat kemacetan—kondisi yang menginspirasi istilah populer “Bangkok Jam.”

Di luar jalanan, perebutan ruang juga makin ketat. Lahan Bangkok kian sempit dan mahal. Di kawasan bisnis pusat kota, harga tanah bisa mencapai Rp200 juta per meter persegi—dan itu data 2015. Digabung dengan komponen biaya hidup lain, kota berpopulasi 10 juta jiwa ini berada di peringkat kedua setelah Singapura dalam liga kota termahal di Asia Tenggara.

Kiri-Kanan: Area berjemur menatap lanskap kota di SO/ Bangkok; Rubporn ‘Ponk’ Memoli, inisiator Bangkok Bound.

Tapi pemerintah lokal mengklaim telah menyiapkan jawaban problem itu. “Kami sedang bergerak menuju visi ‘Bangkok untuk Semua.’ Hal yang sedang dikembangkan antara lain model kota kompak, di mana sistem transportasi publik yang efisien dan fasilitas yang dibutuhkan orang sehari-hari letaknya berdekatan,” jelas Asa Thongthammaehart, Direktur Divisi Perencanaan Komprehensif, bagian dari Departemen Tata Kota Bangkok.

Pembangunan sistem transportasi massal menjadi andalan pemkot untuk mengurai kemacetan. Untuk urusan infrastruktur ini, Bangkok memang lebih maju dibandingkan Jakarta. Akhir 1999, pemkot meresmikan sistem kereta layang BTS (Bangkok Mass Transit System). Dalam dua dekade, jumlah stasiunnya meningkat dari 23 ke 48, dan kini sekitar 1,4 juta penumpang diangkut BTS setiap hari kerja. Dalam lima tahun ke depan, Bangkok menargetkan angkanya bisa mencapai lima juta penumpang per hari.

Baca Juga: 8 Perpustakaan yang Membuat Anda Betah Membaca

Sejalan dengan agenda itu, pemkot menjanjikan insentif kepada para pengembang berupa izin menambah luas bangunan, asalkan mereka membuat lahan hijau atau memilih area dekat stasiun BTS. Contoh sederhananya: pengembang boleh menambah lantai apartemen di atas standar FAR (Floor Area Ratio atau perbandingan luas tanah dan tinggi bangunan) asalkan menyediakan kompensasi lahan hijau dengan ukuran yang setara.

Kiri-Kanan: Jeravej Hongsakul, penggagas IDIN Architects; Fasad The Commons, kompleks kreatif di distrik trendi Thonglor.

Akhir tahun ini, Bangkok akan memperbarui cetak biru tata kotanya. Target riil pemkot antara lain menyediakan lebih banyak hunian yang berjarak 500-800 meter dari stasiun BTS, serta menaikkan rasio ruang hijau per orang dari enam menjadi sembilan meter persegi.

Iktikad pemkot itu disambut positif oleh Jeravej yang memang menaruh perhatian pada lingkungan dalam praktik arsitekturnya. Dalam proses negosiasi dengan klien, dia mengaku selalu menyarankan penyediaan ruang hijau, walau dengan kompensasi menambah jumlah lantai. “Bangkok hanya punya sedikit ruang hijau, kira-kira sepersepuluh dari Singapura. Praktisi arsitektur dan pengembang punya peran dalam perluasan ruang hijau.”

Ponk juga merespons keseriusan pemkot membenahi kota. Untuk edisi Bound berikutnya, dia berniat mengajak publik memasuki bangunan-bangunan yang dikelola pemerintah, serta bermitra dengan penyedia jasa transportasi untuk memudahkan peserta tur. “Bangkok punya standar arsitektur dan desain yang tidak kalah dari kota-kota dunia lainnya. Sudah waktunya orang-orang menyadari dan menikmatinya,” kata Ponk.

Area terbuka untuk bersantai dan swafoto di Thailand Creative & Design Center.

PANDUAN
Penginapan
Menawarkan konsep liburan sehat, Mövenpick BDMS Wellness Resort (Wireless Road 2, Lumphini; mulai dari Rp1.548.000) memiliki kamar yang dilengkapi peralatan yoga; aneka menu yang dikonsep oleh nutrisionis; serta akses ke klinik kesehatan dan kecantikan. Konsep yang berbeda dihadirkan oleh SO/ Bangkok (2 North Sathorn Road, Bang Rak; mulai dari Rp2.042.000), hotel trendi dan teatrikal yang diperkaya sentuhan desain dari Christian Lacroix, serta dilengkapi rooftop bar yang menatap lanskap kota.  

Tur Desain
Fasilitas penunjang industri kreatif, Thailand Creative & Design Center menawarkan perpustakaan, kafe, serta taman fotogenik di atapnya. Salah satu sarang kongko terpopuler di Bangkok, The Commons menaungi beragam butik dan kafe, serta menawarkan kelas-kelas kreatif. Untuk berkenalan dengan para arsitek lokal, ikuti acara Bangkok Bound. Anda juga bisa mengunduh aplikasi Architracker sebagai panduan memahami gedung-gedung ikonis di kota ini, contohnya kompleks artistik Naiipa Art Complex dan kantor firma IDIN Architects Office yang menyerupai ilusi optikal.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5