Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gedung-Gedung Ajaib Tanah Soviet

Khan Shatyr menyembul di belakang sebuah rumah tua di Nur-Sultan, Ibu Kota Kazakhstan. Mal ‘tenda’ ini dirancang oleh Norman Foster dan diresmikan pada 2006.

Teks & Foto oleh Frank Herfort

Menatap lanskap kota Moskwa, kita tidak akan menemukan cakrawala yang dibelah-belah gedung jangkung atau residensial megah. Karena itulah saya terkejut saat pertama kali menemukan sebuah bangunan anyar dan besar dengan tubuh warna-warni di sini. Posturnya menjulang dramatis laksana sekuntum bunga di tanah lapang.

Mengikuti intuisi, saya mengarungi jalan-jalan di kota raksasa ini dan berulang kali terperanjat di hadapan gedung ajaib lainnya. Awalnya mereka tampak eksotis, barangkali karena saya baru kali pertama melihatnya. Saya tidak yakin apakah saya menyukai tampilannya. Akan tetapi, makin jeli saya memperhatikan, makin saya larut menikmati peragaan desain mereka: sebuah fusi absurd antara langgam klasik, desain komunis, plus sentuhan Lego.  

Seorang pria melewati plaza lapang di kompleks kementerian di Nur-Sultan, Ibu Kota Kazakhstan yang sebelumnya bernama Astana.

Bangunan pertama yang saya potret di Moskwa ialah Aliye Parusa Tower, kompleks gigantik di tepi Sungai Moskwa. Saya memilihnya lantaran terkesan akan sentuhan elemen dan dekorasi khas Uni Soviet pada tubuhnya—sesuatu yang dulu jamak diaplikasikan pada bangunan di masa kekuasaan Joseph Stalin.  

Selepas Aliye Parusa, satu demi satu bangunan berparas ganjil di kota ini saya abadikan, termasuk Nordstar Tower, Grand Park Towers, Triumph Palace, serta Linkor Building. Tambun atau semampai, mereka kerap menyeruak tiba-tiba di tempat yang acak.

Yang lebih aneh, banyak struktur itu sepertinya menjalankan peran sampingan untuk memanipulasi manusia dan membuat kita merasa kerdil. Saya tak merasa mereka dirancang untuk melayani kebutuhan manusia. Memasuki maupun mengitarinya, kita tak akan menemukan fasilitas umum, jalan orang, maupun ‘pintu’ dalam definisi normal.

Kiri-Kanan: Gedung baru National Library of Belarus rancangan duet Mihail Vinogradov dan Viktor Kramarenko yang diresmikan pada 2006 di Minsk; Pencakar langit yang kerap dijuluki ‘Zeppelin Tower’ di Moskwa, Ibu Kota Rusia.

Saya lahir di Leipzig pada 1979, tatkala kota ini masih berada di bawah kendali administrasi Jerman Timur. Semasa kecil, saya mengenal Rusia sebagai negara di mana tank-tank berpatroli di jalan, anggota regu Pioneer berbaris dengan syal merah di leher, dan para aparat bersiaga sambil menenteng Kalashnikov. Kini, berkat perjumpaan-perjumpaan “struktural” yang penuh kejutan di Moskwa, saya menangkap wajah yang berbeda dari stereotip lawas itu.

Rampung menjelajahi Moskwa, saya menggali informasi lebih dalam, lalu mendapati di banyak kota Rusia dan negara pecahan Soviet sebenarnya tersimpan bangunan janggal sejenis. Mayoritas bangunan masih berusia di bawah 10 tahun, umumnya berfungsi sebagai kantor dan residensial. Bermodalkan data awal ini, saya pun memulai ekspedisi panjang ke banyak sudut warisan imperium Soviet.   

Gedung pameran dan teater berbentuk tabung garapan Studio Fuksas yang dikonstruksi pada 2010 di Tbilisi, Ibu Kota Georgia.

Di belahan timur Rusia, saya bertamu ke Blagoveshchensk, kota lengang yang terhampar di bantaran Sungai Amur, persis di dekat perbatasan dengan Tiongkok. Berbelok ke arah tenggara, saya melawat Vladivostok yang terpisah tak jauh dari perbatasan Korea Utara. Selanjutnya, saya berpindah ke barat negeri, menyambangi Sochi, Saint Petersburg, juga kota-kota di antara keduanya.

Setelah Rusia, petualangan ini menuntun saya ke sejumlah negara lain, termasuk Georgia, Kazakhstan, Azerbaijan, Turkmenistan, serta Belarus. Benar memang, gedung garib bermunculan negara-negara pecahan Soviet, dan mereka sepertinya dibentuk dari pendekatan arsitektur yang mengutamakan drama di atas fungsi.

Seorang wanita melintas di depan bangunan bertitimangsa 2002 yang menampung markas besar polisi lalu lintas Kazan, Ibu Kota Republik Tatarstan.

Dari 2009-2013, total 20 kota saya datangi, mulai dari metropolitan modern, praja terpencil yang sulit dijangkau, hingga kantong urban di pelosok ekstrem yang namanya mungkin belum pernah Anda dengar. Semuanya demi melacak dan mendokumentasikan bangunan alien yang bermunculan selepas kejatuhan Soviet.

Tiap kali menemukan target baru, memakai kombinasi kamera film dan kamera digital format besar, saya berupaya menangkap kesan dan karakter tiap bangunan, juga mencari sudut yang bisa membandingkan produk rekayasa sipil ini dengan konteks lokalnya.  

Kiri-Kanan: Kazakhstan Central Concert Hall dirancang oleh Studio Nicoletti dan dibuka pada 2019; Menara telekomunikasi Turkmenistan Tower di Ashgabat menjulang 211 meter dan diresmikan pada 2011.

Pada tiap pencakar langit, terasa kental ambisi menonjolkan prestise dan efek dramatis, sesuatu yang mengingatkan saya pada monumen-monumen agung Soviet. Sembari menawarkan bahasa arsitektur khas lokal, mereka menyimpan memori kejayaan masa silam sekaligus keinginan mencari tempat di masa kini.

Banyak bangunan juga sengaja didesain heroik di tengah palagan. Sosoknya sangat mencolok dan menohok, sampai-sampai mustahil kita mengabaikannya. Saya membayangkan, siapa pun arsiteknya, sepertinya mereka didorong untuk berkarya seliar mungkin. Sikap rendah hati dibuang jauh-jauh. Tiap gedung seakan berteriak, “Saya yang terbaik, yang terbesar, yang termahal.”

Pusat kebudayaan Heydar Aliyev Center di Baku, Azerbaijan, yang dirancang oleh arsitek kelahiran Irak, Zaha Hadid.

Akan tetapi, layaknya monumen yang bertolak dari ego ketimbang kebutuhan, monster-monster beton ekstravaganza itu membelah sikap masyarakat di sekitarnya. Golongan kaya menyukainya, sedangkan kaum papa membencinya.

Di Rusia misalnya, menetap dan bekerja di gedung megah semacam itu dipandang bergengsi. Kendati begitu, khususnya di Moskwa, banyak orang memperlihatkan sikap antipati. Gedung-gedung modern dinilai mengusik arsitektur lawas warisan abad ke-19 yang mewarnai lanskap kota.

Dua warga melewati Grand Park Towers, kompleks residensial yang menyerupai barisan cerobong di Moskwa, Ibu Kota Rusia.

Pada 2013, foto-foto dari proyek dokumenter ini dibukukan dalam Imperial Pomp: Post Soviet High-Rise. Setelahnya, saya meninggalkan Eropa untuk menetap di Indonesia dan Vietnam, kemudian mudik untuk membuka proyek baru yang masih terpaut Rusia, tapi dengan fokus berbeda—Russian Fairy Tales.

Secara pribadi, saya merasa gedung-gedung ajaib pasca-Soviet menghadirkan kesegaran. Kontras dari gaya dominan arsitektur Barat, mereka menawarkan fasad yang sarat dekorasi, bukan semata permainan kaca dan rangka, serta memeragakan konfigurasi tubuh dan selera estetika yang khas kawasan ini. Mereka adalah pertunjukan akbar yang lahir selepas kejatuhan imperium Soviet. 

Kiri-Kanan: Alexandria Tower menjulang di belakang gedung warna-warni di Sochi, kota di tepi Laut Hitam; Neutrality Monument, kadang dijuluki ‘Tripod,’ menjulang 75 meter di Ashgabat, Ibu Kota Turkmenistan.

Frank Herfort
Hingga 2019, Frank, mantan asisten Walter Schels dan Richard Ansett, telah meraih 12 penghargaan di bidang fotografi, salah satunya LensCulture Emerging Talent Award. Dia juga telah menghasilkan dua buku foto: Imperial Pomp: Post Soviet High-Rise (2013) dan Russian Fairy Tales (2020). Lahir di Jerman, pernah menetap di Vietnam dan Indonesia, Frank sejak 2018 berbasis di Rusia dan Bulgaria. frankherfort.com

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5