by Atet Dwi Pramadia 10 September, 2018
Kontras & Cerita di Kapal Pesiar
Kiri-kanan: Tamu berswafoto dengan latar belakang lambung kapal karya Seniman Tiongkok, Jacky Tsai saat pelayaran perdana Genting Dream, Desember 2016 lalu; sejumlah tamu asal India berswafoto dari atas balkon Genting Dream saat pelayaran menunggu Bali Utara, Januari 2018.
Oleh Atet Dwi Pramadia
Cukup mencengangkan saat kali pertama menaiki Genting Dream. Panjangnya menembus tiga lapangan sepak bola. Tingginya menyamai gedung 18 lantai. Interiornya menampung 1.600 kamar, 35 restoran, serta beragam fasilitas olahraga. Sebelumnya, saya hanya pernah menaiki kapal pesiar bertubuh ramping di Sungai Mekong.
Dirintis pada pertengahan abad ke-19, wisata pesiar merupakan inovasi Britania Raya yang lantas menular ke banyak negara di Benua Eropa, kemudian ke Amerika dan Asia. Dalam konstelasi bisnis global ini, Genting Dream tergolong spesies yang unik. Oleh pemiliknya, bahtera gigantik yang diluncurkan pada akhir 2016 ini diklaim sebagai kapal premium pertama yang dilahirkan di Asia sekaligus didedikasikan hanya bagi pasar Asia. Kehadirannya merupakan bagian dari tren pertumbuhan pesat penumpang asal Asia, terutama Tiongkok, di industri pesiar.
Genting Dream, sebagaimana umumnya kapal pesiar, sejatinya merupakan sebuah desa global. Penumpangnya beragam, baik dalam hal usia, selera, juga budaya. Setiap sesi sarapan, setiap pesta di geladak, dan setiap pertunjukan di teaternya selalu terlihat sebagai ruang kosmopolitan yang kaya warna. Keragaman serupa tecermin dari komposisi demografis awak kapal. Mereka datang dari banyak sudut dunia, terutama negara-negara berkembang, termasuk tentu saja Indonesia.
Sebagaimana kapal pesiar umumnya pula, Genting Dream berniat menjadi sebuah destinasi yang mandiri. Akibat perkembangan agresif pesawat komersial bermesin jet pada abad ke-20, model bisnis pesiar memang telah jauh bergeser. Operatornya tidak lagi semata mengandalkan rute, tapi juga beragam fasilitas dan wahana hiburan. Tak heran, kapal-kapal mereka kemudian lebih menyerupai mal atau taman rekreasi terapung. Dalam bisnis pesiar saat ini, perjalanan sama pentingnya dengan tujuan.
Baca juga: Tur Pesiar di Asia Bersama Genting Dream; 8 Tur Pesiar Asia
Beragam karakter kapal pesiar itulah yang coba saya tangkap dalam seri foto ini. Saya mendokumentasikan fisik kapal, perilaku para penumpang, proses kerja para kru, serta segala dinamika dan sukacita sepanjang pelayaran. Metode visual yang saya pilih adalah menyandingkan dua foto yang berkesinambungan untuk menimbulkan “efek ketiga” di benak pemirsa.
Seluruh foto dalam seri ini dibuat dalam dua ekspedisi saya bersama Genting Dream. Pada awal November 2016, saya mengikuti pelayaran debut kapal ini dari Singapura menuju Hong Kong via Vietnam. Pada ekspedisi kedua, akhir Januari 2018, saya berlayar dari Singapura ke Bali via Surabaya.
Berbeda dari banyak kapal pesiar lain, Genting Dream memang hanya melayani rute di Asia—keputusan yang juga mencerminkan strategi sang operator untuk berfokus pada pasar Asia. Strategi itu sangat beralasan. Merujuk survei terakhir terbitan Cruise Lines International Association (CLIA), delapan dari 10 warga Asia lebih suka berlayar di Asia.
Genting Dream, kapal berkapasitas 3.300 penumpang, dilayani oleh 2.000 awak. Dalam seri foto ini, saya juga berupaya menangkap proses kerja dan interaksi di antara mereka. Di beberapa zona, Genting Dream menerapkan sistem distribusi karyawan berdasarkan garis ras. Di lantai berisi kasino misalnya, hampir semua krunya berasal dari Tiongkok, sementara untuk wahana permainan dan aktivitas luar ruang, kru berpaspor India dan Filipina terlihat lebih dominan.
Ada banyak episode fotogenik di kapal ini. Di area kasino, saya sempat melihat sejumlah manula seperti tersihir di muka slot machine, mencoba peruntungan sejak pagi hingga malam. Adegan yang lebih atraktif dan seru tersaji di jam-jam makan. Pernah saya menyaksikan beberapa penumpang berebut bangku dan cekcok di restoran.
Sepanjang dua kali pelayaran, saya rutin menjelajahi sudut-sudut kapal. Saya naik-turun dek, bolak-balik dari haluan ke buritan, blusukan ke anjungan dan dapur restoran, keluar masuk teater dan bar, sesekali bermain bola basket. Saya juga berbincang dengan para penumpang, pramusaji, mualim dan kelasi. Di balik kemewahannya, kapal pesiar selalu menyimpan banyak kisah dan kontras.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/September 2018 (“Senandika Bahtera”).