web analytics
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hari Museum Nasional 2024, Apa Kabar Museum di Indonesia?

(Foto: Ståle Grut/Unsplash)

Selamat Hari Museum Nasional 2024!

Tanggal 12 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Museum Nasional, dan tanggal spesial ini tidak dipilih secara asal. Melansir dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, tanggal ini dipilih karena Musyawarah Museum se-Indonesia pertama kali diadakan pada 12-14 Oktober 1962 di Yogyakarta. Musyawarah itu diadakan untuk menyatukan visi-misi, membahas pengembangan peran museum, hingga mendorong revitalisasi peningkatan standar museum di Indonesia. Penetapan tanggal ini sebagai Hari Museum Nasional ini kemudian disahkan pada 26-28 Mei 2015.

Lalu, bagaimana kabar museum-museum di Indonesia saat ini?

Berdasarkan data statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia memiliki 442 museum yang tersebar di seluruh provinsi. Jawa Tengah dan DKI Jakarta memiliki jumlah museum terbanyak yaitu 63 museum. Namun, ini bukan hanya soal jumlah semata, bagaimana dengan jumlah pengunjungnya?

Baca Juga: Travel Guide: 48 Jam di Perth

Salah satu museum di Jakarta, Museum Sejarah Jakarta, mencatat jumlah pengunjung mencapai 615.607 orang pada 2023, meningkat dari 2022  sebanyak 542.254 orang. Sementara itu, Museum Nasional Jakarta mendata jumlah pengunjung di 2022 pasca pandemi mencapai 399.220 pengunjung.

Museum Macan salah satu museum yang memiliki konsep berbeda dari museum lainnya. (Foto: @museummacan/Instagram)

Perburuan Mencari Spot Foto Aestetik

Demi meningkatkan kenyamanan, jumlah kunjungan ke museum, dan alasan lainnya, pemerintah pun mulai melakukan renovasi di beberapa museum. Nuansa yang sering kali melekat pada museum adalah pencahayaannya yang gelap, tata letak yang kurang menarik, serta atmosfer yang membosankan. Hal ini membuat kunjungan ke museum jarang menjadi pilihan bagi mereka yang ingin belajar atau mencari pengalaman edukatif.  Namun, museum-museum ini mulai berbenah agar bergaya lebih modern dengan spot aestetik dan bisa menggaet anak muda untuk berkunjung.

Cara ini sepertinya ampuh. Alfarazah, salah satu generasi Z penggemar galeri seni, menilai museum-museum sejarah masih terlihat konvensional dan kurang adaptif sehinga kurang menarik untuk dikunjungi.

“Kecuali kalau ada museum yang lagi viral atau yang lagi nge-tren, museum tentang art, Museum Macan misalnya (baru mau datang-red),” kata Alfa.

Tak dimungkiri, dengan maraknya penggunaan media sosial belakangan ini, museum juga sering dijadikan tempat untuk berburu foto aestetik dan mengumpulkan konten yang diunggah ke berbagai platform media sosial. Beberapa lokasi bisa jadi viral dan ramai dikunjungi, bahkan diantre banyak orang demi konten viral.

Fenomena ke museum untuk cari spot estetik. (Foto: Myranda Fae/DestinAsian Indonesia)

Aestetik Vs Edukasi

Usai viral, lalu apa?  Beberapa pengunjung mengaku tidak membaca keterangan benda-benda yang dipajang, sehingga fungsi edukatif museum sering kali terabaikan. Memang tak ada yang salah dengan tujuan orang untuk bisa ke museum, mau belajar sejarah, liburan, atau sekadar foto-foto pun tak ada larangannya.

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kemendikbud, melihat sisi positif dari tren ini. Menurutnya, fenomena tersebut bisa menjadi langkah awal untuk menarik minat terhadap museum.

“Ini kita gak bisa ngontrol sepenuhnya orang yang datang ke museum harus begini, harus begitu gitu. Yang bisa kami lakukan menyediakan aksesnya dan sebisa mungkin mendekatkan pengunjung kepada koleksi. Nah bahwa mereka mulainya dengan selfie, saya selalu menganggap itu sebagai pintu masuk,” ujarnya kepada DestinAsian Indonesia saat ditemui di acara Museum Forward beberapa waktu lalu.

“Sekarang kita seperti, aduh masa selfie doang gitu harus edukasi dan segala macam, padahal selfie ini adalah jalan awalnya dia untuk masuk ke dalam apa yang disebut edukasi.”

Pendapat serupa disampaikan oleh Nova Farida Lestari, pendiri Indonesia Hidden Heritage Creative Hub yang berfokus pada proyek revitalisasi museum.

Baca Juga: Trade Talk: Shahab Shayan, Direktur Regional DET Dubai untuk Operasi Internasional Asia Pasifik

“Kalau aku tipe yang let them play. Jadi sebenarnya it’s a good initiative, karena museum sendiri selama ini tidak kita pungkiri, memiliki stigma yang membosankan, tua, menyerangkan, people won’t come there. Jadi dengan adanya anak-anak muda yang mau ke museum itu sudah bagus.

“Nanti mulai dari situ, mulai dari mereka suka datang, hopefully mereka juga akan cari tahu, penasaran, oh ini koleksinya apa sih, artinya apa sih, interpretasinya apa sih. Aku not against it, I’m encouraging it.

Then What?

Perjalanan pemerintah dan pengelola museum seharusnya tidak berhenti di sini. Langkah selanjutnya harus diambil untuk mengajak masyarakat, bukan hanya datang dan berswafoto, tetapi juga membaca dan lebih memahami sejarah yang dipamerkan. Otherwise, pergerakan ini hanya akan berakhir di unggahan Instagram semata.

Hilmar dan Nova sepakat bahwa edukasi sedari dini tentang museum memang salah satu tantangan besar di Indonesia. Hilmar menyebut, di banyak negara terutama di Eropa, museum adalah bagian dari institusi kultural dan pendidikan.

“Jadi mereka sejak awal, sejak sangat dini mengakses musium, melihat koleksi, sangat terbiasa dengan benda-benda yang berasal dari masa
lalu yang cukup jauh gitu. Di sini mungkin itu kebiasaan sebagian orang yang punya akses ke museum, bukan hanya karena duit gitu ya, tetapi karena jaraknya.”

“Di sini mungkin susah kalau harus mendirikan museum di semua kabupaten, kota gitu, tapi sangat mungkin untuk membawa koleksi melalui media elektronik, internet, dan segala macem, dan mendekatkannya kepada si publik itu. Harapannya tentu dari situ mulai muncul kultur memahami, mempelajari literasi yang tadi disebut akan sejarah dan kebudayaan.”
Jika membandingkan dengan berbagai museum di Eropa yang kerap jadi destinasi wisata saat liburan, dan tak sekadar jadi ajang foto instagramable semata, keduanya menyebut hal ini jadi PR besar museum di Indonesia.

“Kalau di luar negeri itu museumnya sudah, selain sebagai lembaga edukasi, pastinya karena museum seluruh dunia, serving utamanya adalah lembaga edukasi, museum di luar negeri itu sudah memenuhi semua unsur sebagai tempat destinasi wisata. karena museum ini memang bagus banget dari
segi fasilitas, tata pamer, konten, kegiatan, dan sebagainya itu keren banget. Dan itu merupakan PR bagi museum-museum di Indonesia untuk mulai berjalan ke arah yang sama,” ucap Nova.

Senada dengan Nova, Isabella Harahap, seorang seorang fashion stylist sekaligus salah satu penggemar museum juga sepakat bahwa berkunjung ke museum juga harus bisa jadi hal yang ‘fun.’ Inilah yang ditemukannya dari museum-museum di luar negeri. Menurutnya, pengelolaan museum di luar negeri dipikirkan secara holistik, mulai dari penataan diorama, penyediaan booklet, bahkan sampai ke desain tiket.

Contohnya, The Memorial to the Murdered Jews of Europe yang menceritakan Holocaust atau Museum Vatikan yang menampilkan sejarah agama Kristen. Museum-museum ini memiliki tata ruang yang baik, pencahayaan yang optimal, serta deskripsi koleksi yang padat dan informatif. Bahkan untuk para turis, ada paket perjalanan yang menyertakan museum dalam itinerari, dengan desain tiket yang bisa dijadikan cinderamata.

Aspek-aspek ini bisa menjadi referensi bagi pengelola dan pemerintah. Jika ingin menjadikan museum sebagai destinasi wisata edukatif, setiap hal harus dipikirkan secara menyeluruh—mulai dari buku panduan yang menarik, peta yang jelas, hingga paket wisata bagi turis.

“Museum adalah wajah suatu negara, cara sebuah negara mengelola dan menampilkan museumnya mencerminkan bagaimana mereka menghargai sejarahnya,” kata Isabella.

Untuk memperbaiki kondisi museum di Indonesia agar lebih menarik sebagai destinasi wisata edukatif, diperlukan langkah-langkah yang konkret dan komprehensif. Merangkul komunitas sosial yang berfokus pada bidang ini serta mendengarkan pendapat anak muda juga bisa menjadi solusi. (chs)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment