Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Magnet Hutan Kota Terbaik di Asia

Seorang pekerja kebun di kaki salah satu pohon kapuk bersejarah di Singapore Botanic Garden.

Oleh Reza Idris
Foto oleh Leonardus Depari

Saya suka memotret burung di sini. Tapi elang itu baru kali ini saya lihat,” ujar Chen sembari menunjuk seekor elang perut putih yang nangkring di sebatang pohon. Pria paruh baya asal Hong Kong itu kemudian membidikkan lensanya dan mulai menjepret.

Saya dan Chen tidak sedang berada di Kalimantan ataupun Papua, melainkan di hulu Jalan Orchard, jalur sibuk yang dijejali mal dan kantor. Tak disangka, belantara beton Singapura ini menyimpan suaka hijau yang mengajak kita melebur dengan alam dan melihat satwa.

Usianya sudah 157 tahun, jauh lebih tua dari Singapura, tapi keteduhan yang dihadirkannya belum lekang dimakan zaman. Singapore Botanic Gardens (SBG), kebun raya seluas 82 hektare, masih setia melayani turis dan warga yang hendak piknik bersama keluarga, menonton pertunjukan orkestra di ruang terbuka, atau memotret burung, seperti yang dilakukan Chen.

Oasis hijau semacam itu, tentu saja, bukan hal langka di kota-kota besar. Kita pasti pernah mendengar Central Park atau Hyde Park. Tapi SBG sebenarnya bukan semata sebuah paru-paru kota. Ia telah resmi berstatus cagar dunia. Pada Juli 2015, SBG dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia—sebuah pencapaian yang membuat Singapura, negara kecil dengan sejarah pendek, bisa bersanding dengan negara-negara dengan peradaban tua di daftar elite UNESCO. SBG merupakan kebun ketiga dunia setelah Royal Botanic Garden di Inggris dan Orto Botanico di Italia dalam daftar tersebut.

Kiri-kanan: Kebun raya ini juga dilengkapi dengan kebun binatang mini; danau dengan unggas yang bebas berenang.

Apa sebenarnya yang membuat SBG begitu spesial di mata dunia? Pertanyaan yang agak chauvinistic, kenapa bukan Kebun Raya Bogor—yang nyata-nyata lebih luas lima hektare dan lebih tua 42 tahun—yang dilantik oleh UNESCO?

Eksplorasi saya di SBG dimulai dari gerbang Tanglin. Mula-mulanya saya disambut oleh pagar besi bermotif tanaman. Di dekat gerbang tidak ada pedagang kaki lima dan pengamen. Tidak ada pula lahan parkir liar dan kerumunan angkot. Rapi dan tertib. Khas Singapura. Menyusuri jalan aspal yang membentang lapang, tubuh saya disejukkan oleh angin semilir. Pohon rindang berbaris sepanjang mata memandang. Daun dan dahan saling sengkarut membentuk kanopi yang membendung terik.

Di jalur pejalan kaki, sejumlah pelari lalu-lalang. Di lapangan hijau, anak-anak berseliweran menggemakan tawa. “Suasana di sini enak. Cocok untuk keluarga,” ujar fotografer saya, pria Indonesia yang bermukim di Singapura. Dia juga bercerita tentang rutinitas keluarganya berkunjung ke kebun ini. “Paling santai-santai saja dan main di taman. Akhir pekan paling ramai.” Kendati ramai manusia, SBG senantiasa resik, fakta yang menakjubkan mengingat tempat ini beroperasi sejak pukul lima pagi hingga tengah malam, saban hari. Satu-satunya sampah yang saya lihat adalah daun yang berserakan.

Singapore Botanic Garden juga jadi tempat favorit bagi para warga unbtuk berolahraga.

Itu pun tidak bisa disebut sampah. Oleh pengelola, daun-daun kering tidak dibakar, melainkan diolah menjadi humus penyubur tanah. SBG bagaikan Central Park versi Singapura. Majalah TIME menjulukinya “hutan kota terbaik di Asia.” Tempat ini bukan cuma pabrik oksigen yang menghidupi kota, tapi juga ruang publik yang mengobati kerinduan kita pada gemeresik ranting, ranumnya bunga, juga nikmatnya berteduh di kaki pohon. “Suasananya tenang. Saking luasnya, kita punya banyak tempat untuk menyendiri,” ujar Juliana, wanita lokal yang mengaku gemar menyepi di SBG.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5