Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Video: Kampung Terakhir Singapura

Sebenarnya pertanyaan yang sama sempat kami utarakan ke Sabri. Namun tampaknya dia menanggapi hal tersebut tanpa kekhawatiran. “Ya berarti nanti kami harus pindah,” katanya.

Kampung ini telah diambil alih oleh pemerintah sejak 2009, namun hingga sekarang belum ada tindakan. Rencananya di atas lahan tersebut akan dibangun permukiman. Hal yang lebih mendatangkan uang. Bayangkan saja, apartemen-apartemen yang berdiri di dekat Buangkok sudah mematok harga mulai $330 per bulan. Cukup jomplang dengan tarif sewa di Buangkok yang hanya $2 per bulan. Harga yang relatif sama semenjak kampung tersebut berdiri. Menariknya, 28 warga di Kampong Buangkok seakan tak tersentuh. Berbeda dengan kampung-kampung di sekitarnya yang kini sudah berubah menjadi rumah susun atau apartemen.

Dapur dan ruang makan keluarga Bin Ludin.
Ruang tamu keluarga Bin Ladin. Mirip dengan rumah-rumah di Indonesia.

Ketika kami menyinggung tentang rumah kepada nenek Sabri, dia menjawab, “Dulunya banyak rumah di sini. Rumah ini merupakan rumah orisinal yang berhasil bertahan di wilayah ini. Banyak sekali kenangan tentang rumah ini. Saya masih ingat wilayah ini sering terkena banjir, namun kini sudah jarang.” Pandangannya menerawang ke arah dapur. Sepertinya pikirannya sedang terlempar ke masa lalu.

Kami pun menanyakan apakah keluarganya kelak akan melakukan protes bila dilakukan penggusuran dia mengangkat bahunya dan menjawab, “Warga sini tak akan berani melawan karena mereka harus mengikuti aturan.”

Dari rumahnya, Sabri membawa kami untuk menemui Mui Hong, putri dari tuan tanah yang kini bertanggung jawab atas sewa para warga. Alih-alih mengetok pintunya, Sabri ternyata langsung memanggil nama Mui Hong dari pagar depan. “Sepertinya dia tidak ada di rumah,” seru Sabri. Kami berjalan kembali ke kampung, ketika Mui Hong muncul dari sisi berlawanan. Sabri buru-buru menghampirinya dan memperkenalkan kami. Namun, Hong tak seramah Sabri. Wawancara yang kami lakukan dalam bahasa Indonesia dan Melayu sering tidak sesuai harapan kami. Rekamannya terlalu membingungkan untuk didengarkan—apalagi ditulis. Hong mungkin terganggu atas kehadiran kami, dan sepertinya hal tersebut cukup wajar. Saya membayangkan berapa banyak turis asing yang bertandang ke kampung tersebut mengharapkan sebuah perjalanan sejarah yang tak terlupakan. Sejak ancaman penggusuran menyeruak di 2009, media massa raksasa seperti New York Times hingga Lonely Planet menulis tentang kampung tersebut.

Sng Mui Hong, anak tuan tanah di Kampong Buangkok.

“Ini tanah milik pribadi, bukan milik pemerintah,” Mui Hong memulai ceritanya. “Saya sudah hidup di sini selama 58 tahun dan ayah saya membeli tanah ini pada 1956. Orang-orang mengontrak rumah dan membayar pada saya. Harganya antara 6,5-30 ringgit ($2-10). Jadi ini tanah milik pribadi.”

“Apakah Anda yakin pemerintah akan membeli tanah Anda,” tanya fotografer saya.

“Entahlah, saya tinggal menunggu suratnya,” ujarnya lalu terdiam sejenak. “Jika [pemerintah] ingin membeli tanah ini, mereka harus mengirim surat. Lalu kita bisa bertemu dan membicarakan semuanya.”

“Lalu jika pemerintah membeli wilayah ini, apakah Anda yakin para warga akan dipindah ke apartemen atau mereka hanya membelinya?”

“Saya pikir tak bakalan ada yang namanya relokasi,” jawab Mui Hang datar, sekaligus menandai keinginannya untuk menyudahi wawancara ini. Tiba-tiba dia menunjuk seorang warga yang sedang berjalan. “Dia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda. Dia bisa berbahasa Inggris,” ujarnya sambil tersenyum dan meninggalkan kami.

Kiri-kanan: Pelang jalan yang menunjukkan lokasi Kampong Buangkok; jalan masuk ke Buangkok.

>>>