Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tamasya Geopark di Pulau Jawa

Gondola yang membawa turis menuju ke Pulau Watu Panjang.
Gondola yang membawa turis menuju ke Pulau Watu Panjang.

Teks & foto oleh R. Heru Hendarto

Pulau Watu Panjang hanya berjarak sekitar 100 meter, tapi perjalanan ke sana menuntut keberanian yang dipupuk seumur hidup. Moda transportasinya: sebuah gondola kayu rakitan yang tergantung pada beberapa utas tambang. Mesin penggeraknya: tangan-tangan liat warga desa. “Piye mas? Kalau mau, kami bisa bantu tarik nyebrang,” ujar Heri, warga Pantai Timang, Gunungkidul.

Di bawah kaki saya, ombak bergulung dan mengempas; karang-karang mencuat tajam. Dengan bobot tubuh mendekati 100 kilogram, pasrah pada kekuatan tambang sepertinya bukan pilihan bijak. Di momen menegangkan seperti ini, hanya ada satu solusi yang bisa diambil: mempersilakan orang lain naik lebih dulu. Hafiz, turis asal Malaysia, meluncur dengan gondola, terombang-ambing di atas laut, lalu mendarat di pulau seberang. “It’s so quiet there, so peaceful,” ujarnya usai kembali dengan selamat, seolah baru menemukan surga ketimbang bertaruh nyawa.

Meninggalkan Hafiz, saya meluncur ke Wonosari, lalu mengarungi Gunung Sewu. Sepeda motor melesat di jalan yang mengular dalam kepungan bukit kapur, melewati semak dan pohon-pohon jati. Gunung Sewu memiliki luas 1.802 kilometer persegi, hampir tiga kali lipat daratan Jakarta. Kawasannya meliputi tiga kabupaten di tiga provinsi: mulai dari Gunungkidul di Yogyakarta, melewati Wonogiri di Jawa Tengah, kemudian berakhir di Pacitan di Jawa Timur. Sudah belasan kali saya menyambangi tempat-tempat tersebut, tapi kali ini saya datang pada momen yang berbeda. Gunung Sewu sedang menikmati reputasi baru sebagai “taman bumi dunia.”

Panorama khas karst di Gunung Sewu.
Panorama khas karst di Gunung Sewu.

Akhir tahun silam, Gunung Sewu dinobatkan sebagai Geopark kedua di Indonesia setelah Batur di utara Bali. Stempel Geopark, yang digarap bersama oleh UNESCO dan Global Geoparks Network, dilekatkan pada wilayah dengan warisan geologis yang fenomenal: sebuah tempat di mana manusia bisa mempelajari hikayat bumi dan pengaruhnya pada peradaban. Gunung Sewu memenuhi semua kriteria tersebut. Kawasan ini terbentuk oleh terangkatnya hamparan batu gamping dari dasar laut sekitar 1,8 juta tahun silam. Bukti-bukti tertua kehidupan purba di sini tercatat berusia 180.000 tahun.

Selama bertahun-tahun, Gunung Sewu identik dengan kekeringan dan kemiskinan. Tanahnya memang tak ramah bagi sawah. Kawasan cadas ini bersemayam di dataran tinggi di selatan Jawa. Lanskapnya didominasi batu gamping. Terlihat menakjubkan, kecuali jika Anda seorang petani. Batu kapur yang penuh pori tak mampu mengikat air. Saat hujan turun, air bergegas menerobos rahim bumi tanpa memberi cukup waktu bagi tanah untuk menggembur. Alam keras inilah yang mendorong banyak warga merantau.

Tapi itu dulu. Di balik lanskapnya yang keras dan kering, Gunung Sewu sejatinya gudang air bersih. Air memang raib di permukaan tanah, tapi berlimpah di sungai-sungai bawah tanah. Gunung Sewu adalah kompleks gersang yang terhampar di atas kanal-kanal tersembunyi. Memakai pompa-pompa berkekuatan raksasa, air tersebut berhasil disedot dan didistribusikan ke banyak desa dan ladang. Sekarang Gunung Sewu merupakan teladan tentang bagaimana teknologi bisa membawa kemaslahatan. Dan dengan status Geopark, kawasan ini sekarang memiliki amunisi baru untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui pariwisata. Atau lebih tepatnya, “geowisata.”

Sinar natural yang menembus perut Gua Grubug.
Sinar natural yang menembus perut Gua Grubug.

“Siap mas?” tanya Jarod di bibir Gua Jomblang, Gunungkidul. Di hadapan saya menganga sinkhole seluas lapangan sepak bola. Uji nyali yang kedua rupanya. Berpegangan pada seutas tali, saya menuruni lubang raksasa dengan teknik single rope. Tubuh saya terayun-ayun. Telapak tangan seperti terbakar akibat bergesekan dengan tali. Saya turun sejauh 15 meter. Prosesnya berlangsung hanya lima menit, tapi rasanya seperti sejam.

Gua Jomblang adalah salah satu objek wisata terpopuler di Gunung Sewu. Ekspedisi di sini telah dikemas rapi. Peralatan caving, pemandu berpengalaman, bahkan guesthouse yang nyaman, tersedia. Daya tarik gua ini adalah interiornya yang menyerupai hutan tropis mini di perut bumi. Lantainya dialasi lumut dan ditumbuhi pepohonan.

Dengan lutut lemas, saya melangkah pelan di atas lumut basah. Bergerak ke utara, penelusuran ini membawa saya ke sebuah rongga raksasa yang dinamai Grubug. Lebarnya 50 meter dan tingginya 80 meter, setara gedung 26 lantai. Sosoknya memang megah, tapi riwayatnya kelam. Ratusan jasad orang yang dicap sebagai anggota dan simpatisan PKI pernah dibuang ke gua ini. Dengan jantung berdebar, saya menelusuri mausoleum alami ini dengan panduan headlamp.

Lepas dari aula raksasa, saya berhenti dan ternganga. Di hadapan tersaji salah satu pemandangan bawah tanah terindah yang pernah saya saksikan: pilar-pilar cahaya yang menghunjam dan menyilaukan. Fotonya sudah marak di internet. Pemandu juga sudah menceritakannya di awal trip. Tapi panoramanya tetap saja memukau. Setelah 15 menit, semua pilar cahaya melebur dan berpendar.

Sukses menyedot air, Gunung Sewu kini berniat menyedot pelancong dunia. Gua-gua di Gunungkidul hanyalah sebagian dari atraksi wisatanya. Gunung Sewu juga mengoleksi banyak sungai bawah tanah yang menantang pemburu adrenalin. Di pesisirnya, tebing-tebing kapur menjulang di atas pantai berpasir putih. Tak jauh dari garis pantai, ombak-ombak bergulung tinggi seperti tangan yang memanggil-manggil peselancar. Tentu saja, belum semua potensinya telah dipetakan.

Kiri-kanan: Peselancar di pesisir Gunung Sewu; para peselancar beraksi di Pantai Watu Karung, Pacitan.
Kiri-kanan: Peselancar di pesisir Gunung Sewu; para peselancar beraksi di Pantai Watu Karung, Pacitan.

Masih di dalam Grubug, saya menutup trip caving dengan meluncur ke dasar gua dan menikmati kesegaran air Kali Suci. Konon, sungai ini mengalir sejauh belasan kilometer ke selatan Jawa dan bermuara di Samudra Hindia. Tapi itu hanya teori. Belum ada yang berani membuktikannya.

Di Gunung Sewu, pariwisata sesungguhnya ikhtiar yang berjejak panjang. Pacitan sudah lama mengembangkan wisata speleologi. Pada 2009, Wonogiri meresmikan museum karst terbesar di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Gunungkidul selalu kebanjiran turis yang ingin bertamasya di sungai bawah tanah. Bagi tempat-tempat tersebut, hadirnya status Geopark lebih merupakan bingkai yang menyatukan dan mengarahkan konsep pariwisata.

Tentu saja, Geopark juga melambangkan sebuah pengakuan. Dengan predikat ini, Gunung Sewu bergabung dalam kelompok elite berisi taman-taman bumi ternama seperti Langkawi di Malaysia, Taman Nasional Rokua di Finlandia, juga Pulau Jeju di Korea. Dalam kacamata pariwisata, itu artinya bahan promosi yang mumpuni.

Meninggalkan gua indah nan horor di Gunungkidul, saya melanjutkan ekspedisi ke Kabupaten Pacitan dengan berkendara selama dua jam. Ibu Kotanya, yang juga bernama Pacitan, adalah kota yang tak pernah mengecewakan.

Jalan-jalannya mulus, atmosfernya kalem, warganya ramah. Dibandingkan dua kabupaten tetangganya di Gunung Sewu, Pacitan lebih dulu mempromosikan kekayaan geologisnya. Kabupaten yang mengusung semboyan Negeri Seribu Satu Gua ini sudah lama terkenal sebagai destinasi bagi speleolog. Banyak gua kapur di sini telah disurvei, diteliti, dan dikaji. Sebelum Indonesia merdeka, sejumlah arkeolog sempat menyambangi Pacitan dan menemukan beragam artefak yang mendedahkan kehidupan prasejarah di kawasan ini.

Kiri-kanan: Aula utama Gua Gong; jalur sempit menuju puncak Bukit Nglangeran.
Kiri-kanan: Aula utama Gua Gong; jalur sempit menuju puncak Bukit Nglangeran.

Petualangan saya dimulai di Gua Gong. Gua ini sudah ditemukan tujuh dekade silam, tapi namanya baru bergema pada awal milenium ketiga. Stalaktit dan stalagmitnya luar biasa indah. Menurut legenda setempat, pada malam-malam tertentu, suara gamelan misterius mengalun di antara batang-batang yang mencuat di dalam gua.

Dari Gua Gong, saya meluncur ke selatan Pacitan untuk mengunjungi tempat wisata yang tak kalah tersohor. Usai mengarungi jalan sempit yang penuh lubang, saya mendarat di pantai berpasir putih yang ditaburi bongkahan karang. Saat air surut, lautnya sangat kalem. Tapi begitu air pasang, ombak-ombak ganas setinggi empat meter saling menyusul menyapa pesisir. Di momen inilah Pantai Watu Karung memikat kaum pembawa papan dari negeri seberang.

Meski datang di musim sepi, saya masih bisa menemukan belasan turis asing. Sebagaimana Mentawai dan Nias, Watu Karung adalah titik populer dalam sirkuit peselancar di Indonesia. Di pantai inilah peselancar legendaris Rizal Tandjung mengelola “surfer village” bernama Desa Limasan. Beberapa mantan tamunya adalah atlet masyhur dunia, sebut saja Kelly Slater dan Bruce Irons. Aksi Bruce mengendarai ombak di Watu Karung bahkan sempat terpajang di sampul majalah Surf dan Waves.

Sesungguhnya, Gunung Sewu tak cuma berisi batu kapur dan ombak ganas. Di Pacitan misalnya, kita bisa menemukan formasi litologi sedimen yang diendapkan dalam ekosistem laut ratusan juta tahun silam. Dari fenomena inilah lahir batu-batu mengilat yang melambungkan pamor Pacitan sebagai produsen batu akik ternama di Indonesia. Beberapa produk andalannya adalah batu akik golden supreme, supreme sunrise, dan red baron yang harganya konon setara ongkos pergi haji.

Dari Pacitan, saya berputar ke barat dan menyambangi Wonogiri. Di atas peta wisata, Wonogiri masih kalah tenar dibandingkan Gunungkidul dan Pacitan, tapi setidaknya kabupaten ini memiliki satu aset yang tak ada tandingannya di Indonesia. Dibangun dengan anggaran Rp21 miliar, Museum Karst merupakan wadah terbesar dan terlengkap di Indonesia untuk mempelajari karst. Di tempat inilah publik bisa memahami mengapa Gunung Sewu penting dirawat sebagai saksi perjalanan bumi.

Museum Karst ditempatkan secara strategis di antara tujuh geosite yang dimiliki Wonogiri. Di sisi barat dan timurnya terdapat gua bawah tanah, pantai pasir putih, dan air terjun. Interior museum menyuguhkan serangkaian diorama dan layar interaktif. Hampir seluruh tipe karst di dalam dan luar negeri diulas secara komprehensif dan edukatif. “Lumayanlah mas, setiap tahun sekitar 80 ribu pengunjung datang, dan peneliti pun selalu bertambah,” ujar Anton Wicaksono, pengelola museum.

Kiri-kanan: Para pengrajin topeng kayu di Desa Bobung; beragam sajian hidangan khas Gunungkidul.
Kiri-kanan: Para pengrajin topeng kayu di Desa Bobung; beragam sajian hidangan khas Gunungkidul.

Di akhir trip, saya kembali ke Gunungkidul dan menyempatkan waktu mampir ke Bukit Nglanggeran, contoh lain dari keunikan alam Gunung Sewu. Bukit yang disusun oleh batu breksia vulkanis ini terbentuk dari aktivitas magmatik gunung api purba. Wujudnya atraktif sekaligus janggal: boulder raksasa bercorak abu-abu yang menjulang kontras dari lingkungan hijau di sekitarnya. Sekilas mirip punggung dari seekor naga yang bersembunyi di balik pepohonan.

Di dekat Bukit Nglanggeran terdapat Desa Bobung, desa wisata yang terkenal sebagai sentra kriya topeng kayu. Setengah abad silam, para perajin di sini hanya membuat topeng berdasarkan pesanan untuk kalangan terbatas, umumnya para penari. Mengikuti permintaan pasar, mereka kemudian menciptakan topeng-topeng kontemporer untuk khalayak luas. Kini Bobung rutin mengekspor kreasinya ke banyak negara. Lanskap magis Gunung Sewu memang menawarkan jendela ke masa silam, tapi desa-desa kreatif semacam Bobung membuat kawasan ini terasa hidup di masa kini.

PANDUAN
Rute
Kompleks bersejarah Geopark Gunung Sewu (gunungsewugeopark.org) mencakup tiga kabupaten yang bertetangga di selatan Jawa: Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, dan Pacitan di Jawa Timur. Untuk mengunjungi Gunungkidul, Anda bisa terbang ke Bandara Adisutjipto di Yogyakarta, lalu berkendara sekitar 90 menit ke arah timur. Untuk Wonogiri dan Pacitan, bandara terdekat adalah Adi Soemarmo di Surakarta. Eksplorasi di Gunung Sewu bisa dilakukan dengan mobil sewaan. Tapi jika ingin lebih mudah menembus jalan-jalan sempit di perbukitan, sebaiknya menyewa sepeda motor.

Penginapan
Di Gunungkidul, hotel-hotel bisa ditemukan di sekitar kota Wonosari, salah satunya Hotel Orchid (0813-6766-6627; doubles mulai dari Rp240.000). Pengalaman yang lebih seru ditawarkan oleh Jomblang Resort (0811-117-010; doubles mulai dari Rp250.000) yang bersemayam di tengah alam asri. Di Wonogiri, Anda bisa menginap di Praci Green Hotel (021/7264-606; pracigreenhotel.com; doubles mulai dari Rp350.000) yang berada di dekat Museum Karst. Di Pacitan, Hotel Prasasti (0357/881-178; doubles mulai dari Rp450.000) menawarkan lokasi strategis di jantung ibu kota. Bagi peselancar, satu penginapan yang layak dicoba adalah Desa Limasan (0813-3231-6459; desalimasan.com; doubles mulai dari Rp1.000.000), pondokan di Watu Karung yang pernah didatangi peselancar kondang Kelly Slater dan Bruce Irons.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2016 (“Seribu Gunung”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5