You searched for Gabrielle Lipton - DestinAsian Indonesia https://destinasian.co.id/ Majalah travel premium berbahasa Indonesia pertama Tue, 05 Jan 2021 12:57:47 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.4 10 Hotel Legendaris di Asia https://destinasian.co.id/10-hotel-legendaris-di-asia/ https://destinasian.co.id/10-hotel-legendaris-di-asia/#respond Wed, 19 Feb 2020 08:19:40 +0000 https://destinasian.co.id/?p=53557 Ulasan 10 hotel di Asia yang sukses bertahan melewati waktu dan menjadi aset sejarah.

The post 10 Hotel Legendaris di Asia appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Reportase oleh Gabrielle Lipton, Anitha Silvia, Christopher Hill, Anita Surewicz, Cristian Rahadiansyah, Samantha Francis, dan Chelsea Samantha

Chambers Lawn di The Taj Mahal Palace (Foto: Fram Petit/The Taj Mahal Palace)

1. The Taj Mahal Palace
Usia: 117 Tahun

Ini bukan hotel tertua di India, tapi barangkali yang paling terkenal. Kisahnya pernah direkam di beragam medium, mulai dari novel Night in Bombay karangan Louis Bromfield, hingga serial Around the World in 80 Days garapan Michael Palin. Pada 2018, pengalaman tragisnya sebagai target serangan teroris dituangkan dalam film Hotel Mumbai. Alkisah, pada 2008, Lashkar-e-Taiba sengaja menarget hotel ini lantaran menganggapnya sebagai simbol kemajuan India. Dua tahun selepas tragedi itu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama datang menginap dan menyebut The Taj Mahal Palace sebagai simbol ketangguhan warga India. Apa pun maknanya, hotel ini telah menjadi bagian integral dalam perjalanan India sejak zaman kolonial Inggris.

Kiri-kanan: Dua orang wanita berada di tangga ikonis hotel berusia 117 tahun ini; kolam renang The Taj Mahal Palace. (Foto: The Taj Mahal Palace)

The Taj Mahal Palace, properti yang didirikan oleh pengusaha Jamsetji Tata, membuka pintunya kali pertama pada 16 December 1903, dua dekade sebelum gapura ikonis Gateway of India di sampingnya diresmikan. Berdiri agung dan anggun di tepi Laut Arabia dengan fasilitas yang kelewat mewah di zamannya (misalnya listrik, elevator, hingga butler berbahasa Inggris), penginapan ini sukses menjala tamu dari kalangan elite, termasuk saudagar, musisi, aktor, hingga maharaja. Pada 1973, The Taj Mahal Palace mendirikan menara baru sekaligus menambah jumlah kamarnya menjadi 543 unit. Fasilitasnya kini meliputi salon, spa, delapan restoran dan bar, serta sebuah galeri yang memajang karya-karya seniman ternama lokal. Apollo Bunder, Mumbai, India; tajhotels.com.

Kiri-kanan: Seorang staf kebersihan di teras salah satu bungalo di Tandjung Sari; seorang staf Tandjung Sari melintas di samping bungalo nomor delapan yang pernah diinapi David Bowie. (Foto: Johannes P. Christo)

2. Tandjung Sari
Usia: 58 Tahun

Berbeda dari hotel umumnya, Tandjung Sari merupakanhasil evolusi dari rumah pribadi menjadi penginapan. Kisahnya dimulai saat duet pemburu barang antik Wija dan Judith Wawo-Runtu mendirikan rumah di Sanur pada 1962. Berkat aktivitas bisnis, keduanya rutin kedatangan tamu, sebagian kadang bermalam hingga Wija pun memutuskan membangun rumah tamu. Tanpa disadari, sayap baru itu terus bertambah hingga sebuah hotel butik pun tercipta. Pada masa-masa awal beroperasi, tiap bungalo disewakan seharga Rp2.000 per malam, sementara sarapan dibanderol Rp1.000. Selain diplomat dan sosialita, buku tamunya ditaburi sejumlah nama selebriti. Bungalo nomor 23 misalnya, pernah ditinggali oleh Yoko Ono dan Ringo Starr, sementara bungalo nomor delapan dihuni oleh David Bowie dan Mick Jagger.

Bermula dari sebuah rumah, Tandjung Sari tekun merawat karakternya yang “rumahan,” sesuai dengan moto yang diwariskan oleh Wija, “Hotel saya adalah ruang duduk saya, dan tamu saya adalah sahabat saya.” Seluruh karyawannya, misalnya, sengaja tidak menyematkan name tag di dada, karena ini bukan praktik yang lumrah di rumah. Kompleks guyub ini sekarang menampung 29 bungalo yang terkoneksi oleh gang-gang berlumut yang dinaungi pohon Kamboja dan diselipi pelinggih. Tentu saja, beberapa bungalo telah direnovasi, tapi nuansa nostalgianya dipelihara, misalnya lewat penggunaan lampu kerek dan tegel motif batik. Jl. Danau Tamblingan 41, Sanur, Bali; tandjungsarihotel.com.

Interior Strand Suite yang mewah. (Foto: The Strand)

3. The Strand
Usia: 119 Tahun

Saat The Strand didirikan pada 1901, Yangon masih bernama Rangoon, sebuah kota kolonial berpopulasi sekitar 230.000 jiwa. Kala itu, hotel ini ibarat sebuah simbol kemewahan dan modernitas. Tingginya tiga lantai, kepalanya dimahkotai pedimen besar, sementara interiornya menampung 32 kamar. Lebih mencolok lagi, The Strand adalah salah satu bangunan pertama di Rangoon yang dialiri listrik, sekaligus persinggahan favorit bagi banyak figur kondang, contohnya George Orwell, Noel Coward, serta Somerset Maugham.

Selama lebih dari seabad beroperasi, The Strand telah berulang kali direnovasi, termasuk oleh Adrian Zecha, pria berdarah Indonesia-Cheska yang juga pendiri Grup Aman, kemudian oleh GCP Hospitality, grup yang mengambil alih manajemen hotel ini pada 2013. Operasi bedah wajah terakhirnya dilansir pada 2017. Mitra utama proyek ini, Firma P49 Deesign asal Bangkok, menjadikan The Strand tampil lebih bugar dengan sentuhan estetika modern dan fitur kontemporer, tanpa mengusik karakter lawasnya. Di kamar-kamarnya kini terdapat matras baru, TV layar datar berbingkai perak, serta sofa-sofa yang dilapis ulang. Sejalan dengan penyegaran fisik itu, tawaran segar terhidang di ketiga gerai F&B, contohnya barisan koktail baru di Sarkies Bar, sarang kongko yang mengabadikan nama pendiri hotel ini—Sarkies Brothers. Strand Road 92, Yangon, Myanmar; hotelthestrand.com.

Authors’ Lounge di Mandarin Oriental Bangkok. (Foto: Mandarin Oriental Bangkok)

4. Mandarin Oriental Bangkok
Usia: 144 Tahun

Kerap dijuluki La Grande Dame, Mandarin Oriental Bangkok adalah hotel dengan riwayat terpanjang di Asia Tenggara. Lahir pada 1876 dengan nama The Oriental, properti ini dirancang untuk menampung para tamu dan saudagar asing, menyusul keputusan Kerajaan Siam membuka pintu perdagangan internasional. Pada 2008, aktanya diganti menjadi Mandarin Oriental Bangkok.

Kiri-kanan: Interior area makan di Authors’ Lounge; ruang tamu di Chao Phraya Room. (Foto: Mandarin Oriental Bangkok

Pada 2016, merayakan ulang tahunnya yang ke-140, hotel ini menggelar gala meriah yang dihadiri keluarga kerajaan Thailand, seraya memperlihatkan ke publik dua sayap bangunannya yang telah direnovasi di bawah arahan desainer interior terkenal Jeffrey Wilkes. Authors’ Wing, yang merupakan bangunan orisinal hotel, kini menampung Grand Royal Suite, akomodasi ultramegah berisi enam kamar tidur, lift privat, dapur, serta ruang makan berkapasitas 12 orang. Sayap lainnya, Garden Wing, menaungi empat ruang spa dan 12 unit Garden Suite yang menghidangkan panorama Sungai Chao Phraya.

Hotel bintang lima ini sekarang mengoleksi 331 kamar, ditambah sembilan restoran dan bar. Le Normandie, restoran Prancis andalannya yang dibuka pada 1958, berhasil menyabet dua bintang Michelin pada 2019. The Bamboo Bar, gerai senior lainnya yang dilansir pada 1953, sukses bertengger di posisi kedelapan Asia’s Best Bars 2019. Oriental Avenue 48, Bangkok, Thailand; mandarinoriental.com.

The post 10 Hotel Legendaris di Asia appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/10-hotel-legendaris-di-asia/feed/ 0
4 Resor Baru Maladewa https://destinasian.co.id/4-resor-baru-maladewa/ https://destinasian.co.id/4-resor-baru-maladewa/#respond Thu, 05 Oct 2017 05:10:46 +0000 http://destinasian.co.id/?p=26948 Mengulas hunian impresif dengan empat tawaran berbeda.

The post 4 Resor Baru Maladewa appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Warna gradasi permukaan laut yang selalu memukau.

Oleh Gabrielle Lipton
Foto oleh Lauryn Ishak

Memang pas jika nama mayoritas pulau di Maladewa diakhiri “ee,” “oo,” atau “ah.” Akhiran itu beresonansi dengan ungkapan kagum dari mulut para turis  ketika berlibur di sini, baik saat mereka melihat warna gradasi permukaan laguna, ataupun saat laut berpendar oleh cahaya plankton.

Surga ini, tentu saja, bukannya tanpa masalah. Maladewa, sebuah negara di mana bukit tertinggi menjulang hanya 2,4 meter, sedang dikikis pemanasan global. Beberapa ilmuwan bahkan memprediksi, pada akhir abad ke-21, gugusan 1.190 pulau ini bakal tenggelam akibat kenaikan air laut. Kendati begitu, resor-resor masih saja bermunculan. Maladewa memang tanah yang rapuh di Samudra Hindia, tapi tak bisa dimungkiri ia salah satu tempat yang paling magnetik di muka bumi.

Dihadapkan pada perubahan iklim, para pemilik resor mencetuskan sejumlah inisiatif untuk mereduksi efek kerusakan. Empat resor yang saya kunjungi adalah contohnya. Mereka mengoleksi aset yang membuat kita mendesahkan suara “oo” dan “ah,” tapi di saat yang sama mereka juga berupaya memastikan keindahan Maladewa berumur panjang.

Kiri-kanan: Pondok spa berbentuk rumah panggung; gerbang kompleks the Spa di Milaidhoo.

Milaidhoo Island
Resor di Maladewa kerap terasa berjarak dari lingkungan sekitarnya—terkecuali Milaidhoo. Properti ini bertekad melebur sepenuhnya dalam identitas budaya lokal. Dulu, saat pulau mungil Milaidhoo hendak disulap menjadi resor, sang pemilik merujuk pada filosofi konstruksi yang sederhana: andai seorang sultan lokal bertamu ke pulaunya, dia harus bisa merasakan karakter aslinya.

Filosofi itu berhasil diwujudkan, setidaknya secara halus. Lihat saja vila-vilanya. Seluruh pintu 20 unit beach villa dicat aneka warna layaknya rumah-rumah khas Maladewa, sementara semua dinding 30 unit overwater villa dihiasi aneka kerajinan lokal. Hampir semua perabotan juga dipesan khusus, mulai dari sofa berukir hingga matras undhoalhi. Ambisi menonjolkan karakter Maladewa juga terlihat di restoran Ba’theli. Wujudnya seperti gabungan tiga kapal kayu dhoni yang tertambat di ujung dermaga. Dapur restoran dipimpin oleh Ahmed Sivath, koki yang pernah mengasuh sebuah program memasak di televisi lokal. Salah satu hidangan andalannya adalah mashuni, tuna salad pedas yang disajikan dengan kelapa, labu, dan sari kopra.

Kiri-kanan: Interior beach pool villa; aneka jus bagi tamu Milaidhoo.

Milaidhoo berlokasi di Baa Atoll, kawasan yang telah memiliki sejumlah resor keluarga. Karena itulah pemiliknya memilih membidik segmen dewasa. Atmosfernya hening. Seluruh vilanya hanya menampung satu kamar tidur. Usia tamu minimum sembilan tahun.

Ada banyak aktivitas di sini. Meluncur sejenak, kita bisa singgah di sebuah pulau pasir untuk melakoni sesi yoga. Jika datang antara Mei dan Desember, kita bisa berenang bersama manta di Teluk Hanifaru. Di luar periode itu, kita bisa menyelam di house reef resor dan menjajal serunya beradu cepat dengan hiu lemon. Pulau Milaidhoo, Baa Atoll; milaidhoo.com; mulai dari Rp25.000.000.

Kiri-kanan: akomodasi tipe garden villa yang dilengkapi kolam renang privat; Muhammed Faisal memeragakan anti-gravity yoga.

The St. Regis Maldives Vommuli Resort
Sebidang mural buatan Maya Burman, seniman yang berbasis di Prancis, melapisi langit- langit Whale Bar. Temanya mitos rekaan tentang penciptaan St. Regis Vommuli. Alkisah, seorang pria dan anaknya berenang menyeberangi lautan hingga akhirnya mendarat di sebuah pulau elok. Mereka kemudian mengerek sebuah bangunan yang menyerupai semua makhluk laut yang mereka saksikan sepanjang perjalanan.

St. Regis Vommuli dirakit selama empat tahun. Resor ini, sesuai mitos yang diusungnya, menampung struktur “organik” yang variatif. Ada perpustakaan berbentuk kerang, spa berwujud lobster, serta bar yang terinspirasi paus. Satu-satunya bangunan yang terasa tidak “hewani” hanyalah restoran Italia Alba yang menjulang di tepi kolam renang.

Terlepas dari desainnya yang memukau, resor di Maladewa kerap terasa bagaikan sangkar emas usai beberapa hari. Karena itulah St. Regis Vommuli menyiapkan serangkaian “kejutan.” Di atap Alba misalnya, sebuah teleskop tersedia untuk menonton rasi bintang. Di geladak Iridium Spa, tamu bisa berendam di kolam hidroterapi. Sensasi berbeda ditawarkan oleh Cargo, gerai pop-up yang bersarang di interior pulau. Di malam hari, Cargo hanya terlihat saat lampunya dinyalakan. Di sekitarnya pepohonan tampak liar.  Vegetasi hutan ini terawat karena Cargo dan bangunan lain di resor sebenarnya dicetak di luar pulau, baru kemudian dirangkai di lokasi. Tujuannya meminimalisasi dampak terhadap lingkungan.

Melihat riwayatnya, St. Regis sebenarnya baru meneken kontrak manajemen resor setelah konstruksi bergulir.  Kendati begitu, karakter merek ini berhasil diaplikasikan di banyak aspek. Perpustakaannya dijejali aneka coffee-table book terbitan Phaidon dan Rizzoli; gudang anggurnya menjajakan koleksi vintage tertua di Samudra Hindia; sementara para stafnya senantiasa siaga untuk menyiapkan sesi aerial yoga. Layanan yang juga berkesan tersaji saat tamu mudik. Usai mendarat di Male, kita akan diantarkan menaiki Bentley menuju bandara. Pulau Vommuli, Dhaalu Atoll; starwoodhotels.com; mulai dari Rp32.000.000.

The post 4 Resor Baru Maladewa appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/4-resor-baru-maladewa/feed/ 0
Menjelajah Kawasan Lower Manhattan https://destinasian.co.id/menjelajah-kawasan-lower-manhattan/ https://destinasian.co.id/menjelajah-kawasan-lower-manhattan/#respond Wed, 15 Jun 2016 10:54:18 +0000 http://destinasian.co.id/?p=20695 Melihat transformasi distrik bisnis kaku menjadi destinasi wisata baru.

The post Menjelajah Kawasan Lower Manhattan appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Panorama senja dari atas Grand Banks, restoran yang menempati perahu tua yang bersandar di Hudson River Park di area TriBeCa.

Oleh Gabrielle Lipton
Foto oleh Matt Dutile

Bab satu. Dia mengagumi New York City. Dia memujinya berlebihan.’ Eh, sebentar, mungkin lebih tepatnya, ‘Dia memujanya berlebihan.’” Seiring kata-kata itu, film Manhattan (1979) pun dimulai. Dengan latar lanskap kota dalam montase hitam-putih, sang penyulih suara, dengan aksen New York yang medok, menuturkan kalimat-kalimat awal dalam buku yang ditulis oleh sang karakter dalam film, kemudian berujar: “New York adalah kota tempatnya menetap, untuk selamanya.” Komposisi Rhapsody in Blue mencapai klimaksnya dan kembang api meletus di langit Midtown.

Karya Woody Allen itu dinobatkan banyak orang sebagai film terbaik yang mengangkat New York. Saya setuju sepenuhnya, tapi dengan catatan: New York tidaklah ditampilkan secara utuh. Lower Manhattan, kawasan di selatan pulau, luput dari bidikan kamera. Karena itulah kita tidak melihat tempat-tempat yang berada di bawah Canal Street, misalnya Financial District, gedung-gedung kolot milik pemkot, Battery Park, South Street Seaport, dan TriBeCa (Triangle Below Canal).

Gedung dari abad ke-19 di South Street Seaport.

Keputusan Woody itu sebenarnya mudah dipahami. Lower Manhattan memang tidak menawarkan pengalaman khas New York. Tidak ada gedung-gedung bata yang bermandikan sinar jingga lampu jalan. Tidak ada museum, galeri, atau teater yang bergengsi. Tidak ada budaya makan yang bernyawa. Tidak ada yang bisa dirayakan di waktu malam. Itu pula sebabnya, saya, meski pernah dua tahun menetap di New York dan berulang kali menjenguk nenek di apartemennya di East 30th Street, jarang sekali menemukan alasan untuk menghampiri Lower Manhattan.

Bagi banyak orang,sisi romantis kota berhenti di Canal Street. Berjalan terus ke selatan, kita hanya akan menemukan geliat bisnis finansial, situs sejarah kelas medioker, juga ruang pengadilan. Tapi itu dulu. Semuanya kini telah berubah.

Sejumlah berita menuturkan dengan gempita proses revitalisasi Lower Manhattan dan beragam pencapaiannya. Kita mungkin melihatnya sebagai takdir: terbatasnya lahan di Manhattan memaksa banyak kawasan berbenah demi bertahap hidup. Tapi perubahan ini sejatinya merupakan bagian dari agenda besar yang dipicu oleh mala.

Selepas masa berkabung atas serangan World Trade Center, menara yang terletak di Lower Manhattan, publik mencurahkan perhatian tinggi pada kawasan ini. Beragam proyek berbiaya selangit dilancarkan. Berikut beberapa hasilnya: National September 11 Memorial & Museum; gedung baru One World Trade Center; sebuah mal yang megah dan mahal; stasiun kereta api yang jauh lebih megah dan mahal; kerumunan restoran dan toko; serta kantong kehidupan malam yang memikat banyak orang sekaligus membuktikan betapa New Yorker adalah legiun yang tangguh.

Area Lower Manhattan dilihat dari seberang dermaga.

Saya memulai penelusuran Lower Manhattan dengan menaiki perahu layar yang konon pernah dimiliki oleh sosialita Zelda Fitzgerald. Usai melewati Patung Liberty, perahu berlabuh di dekat Battery Park. Dalam naungan purnama, saya menyeruput bir hitam bersama teman-teman, serta menyantap selada kentang dan steik panggang di buritan. Lampu-lampu berkilauan di jendela pencakar langit. Malam ini, berbeda dari film karya Woody, tidak ada kembang api.

Turun dari perahu, seperti yang kerap terjadi di sebuah kota, kami kesulitan menemukan toilet umum. Usai berputar-putar, tanpa sengaja kami terdampar di sebuah koridor panjang yang dibalut marmer dan ditopang tiang-tiang putih hingga menyerupai tulang rusuk. Malam sudah larut dan tempat ini hampa. Saya merasa seperti Nabi Yunus dalam perut paus yang didesain oleh Steve Jobs.

Tak disangka, kami sebenarnya berada di dalam World Trade Center Transportation Hub, terminal gigantik yang dirancang oleh arsitek terpandang Santiago Calatrava. Saat saya datang, struktur futuristik ini masih dalam tahap penyelesaian, tapi banyak orang sudah memujinya sebagai mahakarya dari Calatrava. Eksteriornya menampilkan dua barisan pilar yang ditata melengkung dan membentang layaknya sayap. Dari kejauhan mirip burung yang hendak lepas landas.

Transportation Hub didirikan untuk melayani komuter yang datang dengan feri dari Staten Island dan kereta dari New Jersey. Jumlahnya sekitar 250.000 orang per hari. Fungsi terminal ini memang vital dan sosoknya mentereng seperti fosil dari masa depan, tapi ia tak lantas disambut senyuman tulus oleh warga. Penyebabnya adalah biaya konstruksinya yang boros: hampir menyentuh $4 miliar—menjadikannya terminal komuter termahal sejagat.

Terlepas dari polemik sengit itu, bagi saya, Transportation Hub berjasa menghidupkan kembali pamor masa silam Lower Manhattan sebagai gerbang pertama kota. Pada awal abad ke-17, Lower Manhattan adalah lokasi yang dipilih Belanda untuk mendirikan New Amsterdam. Ketika area ini diakuisisi Inggris dan dinamai New York pada 1664, populasi warganya sudah menembus 1.500 jiwa. Kemudian, pada 1800-an, kawasan ini menjadi titik pendaratan bagi 10 juta imigran yang hendak merajut mimpi di Amerika, di antaranya merupakan kerabat saya.

Kini, Lower Manhattan adalah nadi perekonomian New York, rumah bagi 10 perusahaan dalam daftar Fortune 500, sekaligus tempat bagi 200.000 orang pekerja menyambung nasib.

Berniat mengamati kemajemukan warga, di hari berikutnya, saya singgah di Brookfield Place, mal anyar yang bersemayam di kaki gedung perkantoran. Tak jauh darinya, ada markas Time Inc. dan Goldman Sachs. Brookfield Place adalah habitat alami bagi New Yorker.

Gerai-gerai yang menghuni Hudson Eats.

Di sini terdapat Hudson Eats, semacam pujasera yang mengumpulkan hampir semua kios terpopuler di New York, sebut saja Black Seed Bagels, Dos Toros Taqueria, serta Num Pang Sandwich Shop. Datang di jam makan siang, Hudson Eats sesak oleh manusia, mulai dari bankir yang dibalut jas Canali, editor muda beralaskan Nike, kuli bangunan, hingga pengelana seperti saya. Beberapa orang mengambil kursi di Blue Ribbon Sushi, kemudian melahap ikan-ikan segar hasil tangkapan kota iPads.

Tak jauh dari mereka, ada Le District, French market premium yang menjelaskan mengapa New Yorker, meski rata-rata bergaji tinggi, kerap mengeluh tak punya cukup uang untuk berbelanja bulanan. Semua dagangan di Le District ditata apik di rak atau dibungkus wadah kaca layaknya artefak. Sebuah penataan yang penuh hasutan. Datang untuk membeli pisang, kita bisa-bisa justru pulang dengan membawa camilan impor. Sementara saya, yang tadinya cuma hendak memesan secangkir kopi, kini malah menyeruput sazerac di bar dan mengudap cokelat warna-warni.

Selain mengoleksi makanan yang menggiurkan, Brookfield Place menampung banyak toko trendi, sebut saja J.Crew, Tory Burch, Michael Kors, dan Lululemon. Beranjak ke tengah mal, saya menemukan Winter Garden, ruang publik yang ditumbuhi pohon palem dan dikangkangi atap kaca. Terakhir kali ke sini, pada Desember 2011, saya menyaksikan demonstrasi Occupy Wall Street di mana sekelompok pemrotes duduk dalam formasi lingkaran sembari berlindung dari udara dingin. Sekarang, atrium ini dipakai sebagai ruang pentas seni oleh pengelola mal. Saya duduk di kursi penonton dan menatap pelabuhan kecil di mana kapal layar (yang konon katanya) milik Zelda tengah bersauh di samping sebuah kapal pesiar mewah.

Instalasi seni di teras Center of Architecture.

Berpaling ke sisi timur Brookfield Place, persisnya ke bantaran East River, terdapat South Street Seaport yang juga menawarkan tur belanja dan kuliner, tapi dengan atmosfer yang berbeda. Belanda membangun dermaga di sini pada 1625 untuk merespons pertumbuhan New Amsterdam sebagai kota bandar utama. Pada 1982, sebuah mal megah didirikan dan dengan cepat menjelma jadi atraksi wisata. Tapi, setelah Topan Sandy menghantam Seaport pada 2012, Howard Hughes Corporation memutuskan merombak tempat ini dan membuatnya jadi lebih mirip Brooklyn.

Simak saja tawarannya: cabang dari Smorgasburg Food Market; barisan kedai kopi; pameran seni berkala di tepi jalan dan di dalam Seaport Studios; serta beragam butik menarik seperti Brother Vellies (sepatu buatan Afrika), Farm Candy (manisan dan asinan kaya rempah), serta Bowne & Co. (salah satu perusahaan percetakan tertua).

“Howard Hughes Corporation menghubungi kami setahun silam saat Seaport hendak menyajikan pameran pop-up selama ajang Pekan Mode New York,” ujar Erin Feniger, desainer Rialto Jean Project, merek asal L.A. yang juga menghuni South Street Seaport. “Setelah sebulan bercokol di sini, saya jatuh cinta pada lingkungan ini, serta pada visinya untuk menjadi tempat yang berkiblat pada fesyen dan seni.” >>>

The post Menjelajah Kawasan Lower Manhattan appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/menjelajah-kawasan-lower-manhattan/feed/ 0
Ekspedisi Gua Raksasa Vietnam https://destinasian.co.id/menjelajahi-gua-gua-raksasa/ https://destinasian.co.id/menjelajahi-gua-gua-raksasa/#respond Thu, 11 Feb 2016 04:55:16 +0000 http://destinasian.co.id/?p=19299 Awalnya tersembunyi di kedalaman rimba, beberapa gua gigantik mulai menampakkan rahimnya pada dunia.

The post Ekspedisi Gua Raksasa Vietnam appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Sungai mengalir di perut Hang Ken, gua yang ditemukan oleh Martin Holroyd asal Inggris.

Oleh Gabrielle Lipton
Foto oleh Ryan Deboodt

Gua adalah objek wisata alam yang paling saya remehkan. Saya pernah menyelam jauh demi mencari karang yang sehat, rela menyeret kaki ke puncak gunung demi menyaksikan mentari pagi, sudi membiarkan tubuh menggigil demi menyaksikan gletser. Tapi saya belum pernah sekalipun memasuki gua. Kini, sikap tak acuh saya resmi hilang. Saya berhasil menemukan kenikmatan di sisi tergelap dunia.

Kenikmatan itu saya rasakan saat melawat ke Vietnam, persisnya ke Taman Nasional Phong Nha–Ke Bang di Provinsi Quang Binh. Di sinilah, pada 2009, sekelompok penjelajah Inggris berhasil menjadi tim pertama yang memasuki Son Doong, gua terbesar sejagat.

Tak lama berselang, Chau Nguyen, pria asli Phong Nha, mendirikan Oxalis, operator tur yang merangkap jagawana bagi kawasan ini. Oxalis mengedukasi warga perihal prinsip-prinsip konservasi, juga mendorong pemerintah setempat untuk mengesahkan regulasi perlindungan hutan dan gua. Gerakan mereka menuai banyak simpati. Kini, sekitar 200 orang mengantre untuk bisa bekerja sebagai pemandu, koki, atau porter bagi Oxalis. Dan operator ini punya banyak lowongan untuk menampung mereka, seiring melambungnya pamor Vietnam di kalangan caver.

Paket tur dari Oxalis beragam, mulai dari satu hingga lima hari. Karena tur ke Gua Son Doong sudah dipesan banyak orang, saya pun memilih Gua Tu Lan. Tripnya empat hari, mencakup trekking 35 kilometer serta blasak-blusuk enam gua.

Perjalanan dimulai dengan menjelajahi padang kering dan menonton kerbau-kerbau pemalas yang berendam di Sungai Rao Nan. Sungai penuh cabang inilah yang selama jutaan tahun mengukir pegunungan kapur dan membentuk lorong-lorong Tu Lan.

Salah satu kenikmatan berada di alam liar adalah—meminjam kata-kata novelis Joan Didon—“perubahan berlangsung instan.” Sesaat setelah kami mencapai bukit pertama, medan ekstrem langsung menghadang. Jalan yang tadinya datar berubah menjadi tanjakan curam. Kami memanjat dan merangkak seraya menghindari daun-daun hijau kekuningan yang rentan memicu gatal selama lima hari.

Aula megah di interior Hang Tien, gua raksasa yang diperkirakan terbentuk 550 juta tahun silam.

Saat kedua paha saya tengah mengerang kelelahan, jalan perlahan terbuka. Pohon-pohon kian berjarak dan sebuah lubang besar pun muncul di hadapan. Dipadati oleh stalagmit, gua ini bisa dengan mudah dinobatkan sebagai aset wisata andalan sebuah negara.

Tapi, bagi kami, ia sejatinya hanya sebuah jalan pintas untuk menjangkau Gua Tu Lan. Pemandu saya adalah pemuda lokal yang menjuluki dirinya sendiri “Jungleman Ken.” Dia berjanji, pemandangan yang lebih menawan sudah menanti di perkemahan. Dia bahkan menyebutnya “bumi perkemahan tercantik sejagat!”

Selang satu jam, usai melompat-lompat di antara batu dan akar, kami tiba di area perkemahan. Awan mendung mulai berkerumun. Untungnya, porter kami sudah kelar merangkai terpal, ruang makan, serta toilet kompos berdinding bambu. Semuanya ditata di bantaran sungai. Di kejauhan, sebuah lorong hitam menumpahkan air terjun menuju laguna bertingkat dua. Jungleman Ken tidak berbohong.

Ini memang bumi perkemahan tercantik. Martin Holroyd, salah seorang turis di rombongan saya, adalah caver gaek asal Inggris sekaligus kawan lama Deb Limbert, penemu gua fenomenal Son Doong. Sejak 1997, Martin sudah beberapa kali datang ke kawasan ini guna melacak gua-gua baru, dan Gua Hang Ken adalah salah satu temuannya.

Kami menghampiri Gua Hang Ken, lalu berenang menyusuri sungai di perutnya. Kami terus merangsek, terus menembus gelap. Bagaikan maling, saya meraba mengandalkan senter seraya menyoroti pahatan-pahatan unik yang diukir oleh air. Tiba di ujung gua, saya menemukan formasi bebatuan yang sangat memukau: pilar setinggi gedung enam lantai dengan permukaan yang menyerupai Braille.

Mungkin berkat tidur pulas semalaman di hammock, atau mungkin karena keindahan Gua Hang Ken masih membayangi kepala, pagi ini saya terbangun dengan perasaan bahagia, dengan tubuh yang tak sabar menanti petualangan di hari kedua.

Formasi batu yang dibentuk pusaran air jutaan tahun silam, saat Gua Hang Tien masih berupa got raksasa di perut bumi.

Di Gua Tu Lan, kami mengenakan harness dan menuruni tebing setinggi 15 meter menuju sungai. Selanjutnya, kami menaiki rakit dan mendayung menuju air terjun di rahim gua.

Senter dipadamkan dan kami mendengarkan deru air dalam kegelapan yang pekat. Kami lalu berbalik arah dan mendayung ke arah mulut gua. Seperti adegan di film, matahari menyinari stalaktit dan membentuk siluet dengan latar belantara berkabut.

Di pemberhentian berikutnya, rombongan menikmati makan siang ala DIY: melintang sendiri lumpia berisi jamur hutan. Selanjutnya, kami menembus gunung melalui Gua Hang Kim, singgah di sebuah danau untuk berenang, lalu duduk-duduk malas di kaki jeram dan membiarkan tubuh dipijat oleh siraman air.

Perjalanan diteruskan menuju Gua Hung Ton yang dipenuhi stalagmit raksasa hingga menyerupai kulit landak. Jungleman Ken berulang kali mengingatkan trip hari ketiga ini bakal lebih memukau: mendaki 13 kilometer menuju bumi perkemahan yang dilengkapi “kolam renang terindah” di dekat “gua terindah.”

Mengenang panorama dari dua hari terakhir, saya tak lagi meragukan sesumbarnya. Kami mendaki dengan santai, berpindah dari satu etape ke etape berikutnya dengan transit di tiap sungai dan danau di sepanjang jalan, layaknya manusia yang meniru rutinitas kerbau: berenang, berjalan, makan; berenang, berjalan, makan.

Di etape berikutnya, kami menikmati sesi barbeku yang disiapkan oleh porter. Menu malam ini: daging babi, sapi, ayam, tahu goreng, telur rebus dalam saus tomat segar; sop berisi telur rebus dan sayuran; tumis kangkung dan kubis; serta arak lokal. Menikmati sajian yang kaya endorfin itu, saya sebenarnya sudah merasa terpuaskan. Tapi para porter berhasil membuat atmosfer lebih menyenangkan dengan menyanyikan lagu-lagu rakyat Vietnam.

Salah seorang porter memimpin kor dengan energik hingga membuat saya terpaku. Tiba-tiba, semua porter berpaling ke arah peserta tur dan meminta kami menyumbangkan lagu. Rombongan saya terdiri dari satu orang Australia, satu Jerman, enam Amerika, dan tiga Inggris. Tidak mudah menentukan lagu yang dipahami bersama. Pilihan akhirnya jatuh pada nomor-nomor populer dari zaman kaset, sebut saja Country Roads, Coming ‘Round the Mountain, serta Hokey Pokey.

Peserta tur melewati jembatan kayu yang membentang di dekat kantor Oxalis.

Pada 1994, musim hujan memaksa Deb mengurungkan salah satu ekspedisinya. Gua dilanda banjir. Seorang pria lalu mengajaknya masuk lewat pintu alternatif—Gua Hang Tien. Gua inilah yang menjadi target terakhir dalam trip saya. Jungleman Ken lagi-lagi benar, Hang Tien adalah gua yang cantik. Usianya ditaksir sekitar 550 juta tahun. Sosoknya seperti istana bagi para dewa.

Kami menjangkau mulut gua dengan melewati bebatuan yang seolah terus membesar. Di teras liang, matahari menyinari stalaktit yang bergelantungan sekitar 30 lantai di atas kepala, sementara di kakinya terdapat kolam-kolam berbentuk kelopak bunga. Kami menyusuri bilik-bilik di perut bumi, menembus gulita, melakoni apa saja yang lazim dilakoni seorang caver: duduk di interior cemani, menyimak suara kepakan kelelawar, melantunkan gema, mengagumi pahatan alam.

Ketika saya berpikir petualangan sudah rampung, Deb meminta kami menjajal jalur sulit di belakang gua. Seperti tengah mengikuti sirkus akrobat, kami menjaga keseimbangan di atas jalur setipis tambang, memasuki aula berisi air, menyelinap di celah sempit, hingga akhirnya mendarat di sebuah danau hijau.

Kata Deb, tak seorang pun pernah melampaui danau itu. Dibutuhkan peralatan selam untuk melakukannya. Untuk sementara, Hang Tien tetap menjadi gua yang belum tuntas dipetakan. Dan mungkin lebih baik dibiarkan seperti itu. Sisi tergelap dunia lebih memikat jika dibiarkan dalam kegelapan.

PANDUAN
Rute
Phong Nha, titik awal pendakian bersama operator Oxalis, berjarak sekitar satu jam dari Dong Hoi, Provinsi Quang Binh. Penerbangan dari Ho Chi Minh City ke Dong Hoi dilayani oleh Jetstar (jetstar.com) dan Vietnam Airlines (vietnamairlines.com). Kedua maskapai tersebut juga melayani penerbangan ke Ho Chi Minh City dari Jakarta.

Informasi
Gua-gua raksasa Vietnam tersebar di area Taman Nasional Phong Nha-Ke Bang. Operator tur Oxalis (oxalis.com.vn) menawarkan beragam paket ekspedisi, misalnya Adventure Tours (mulai dari Rp1.200.000 per orang untuk tur sehari ke Gua Tu Lan) dan Expedition Tours (mulai dari Rp40.000.000 per orang untuk tur ke Gua Son Doong). Penting diingat, beberapa paket tur tidak tersedia di musim hujan yang berlangsung dari September hingga Januari. Datanglah di April untuk cuaca terbaik.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2016 (“Liang Yang Lekang”).

The post Ekspedisi Gua Raksasa Vietnam appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/menjelajahi-gua-gua-raksasa/feed/ 0
Terbius Keheningan Koh Kood https://destinasian.co.id/terbius-keheningan-koh-kood/ https://destinasian.co.id/terbius-keheningan-koh-kood/#respond Tue, 29 Dec 2015 06:28:54 +0000 http://destinasian.co.id/?p=18811 Menikmati keheningan di pulau terbesar keempat di Thailand.

The post Terbius Keheningan Koh Kood appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Tamu resor Soneva Kiri mendarat di dermaga usai menaiki pesawat privat selama 90 menit dari Bangkok.

Oleh Gabrielle Lipton
Foto oleh Christopher Wise

Es krim dan pemandangan. Setiap orang memiliki definisinya sendiri tentang surga, dan berikut versi saya: mencopot sepatu, berkelana di tempat cantik yang terpencil, menjilati lapisan-lapisan dingin yang kenyal dan manis. Meskipun sederhana, permintaan saya tak selalu bisa dipenuhi. Itulah sebabnya ketika hendak sejenak berlibur di Thailand, Soneva Kiri menjadi pilihan ideal. Resor ramah lingkungan ini bersemayam di pulau sepi Koh Kood, menerapkan aturan “copot sepatu” dan memiliki “sebidang dinding” berisi es krim homemade dengan 60 varian rasa.

Tentu saja, es krim bukanlah tujuan mayoritas orang. Pelancong umumnya memilih Soneva Kiri karena dua alasan. Pertama, keindahan. Resor yang menganut filosofi “slow life” ini bersemayam di Koh Kood, satu dari 52 pulau di Provinsi Trat, sisi timur Thailand. Alasan kedua, Soneva Kiri sangat ramah lingkungan. Menurut World Tourism Organization, ekowisata adalah sektor dengan pertumbuhan tercepat di industri pariwisata. Beragam survei yang digelar di penjuru bumi mendapati sekitar seperlima turis sudi membayar lebih untuk perusahaan yang ramah terhadap lingkungan sosial dan alamnya.

Berdasarkan pengalaman saya, setidaknya ada dua jenis “green hotel.” Pertama, hotel yang menolak tegas fitur-fitur modern, misalnya listrik, seperti yang pernah saya temukan di sebuah kabin sederhana di Nikaragua. Kedua, hotel-hotel bermerek yang selalu menyelipkan notifikasi “handuk diganti sesuai permintaan” atau “tolong padamkan lampu” di dalam kamar. Saya penasaran di kutub mana Soneva Kiri berada.

Lapangan sepak bola pantai di Soneva Kiri.

Perjalanan saya dimulai dengan menaiki pesawat Cessna milik resor dari Bandara Don Mueang di Bangkok. Setelah sekitar sejam melongok pulau-pulau yang berkelebat seperti rombongan penyu di permukaan laut, saya mendarat di dermaga yang menjulur di samping pantai bulan sabit, lalu berjalan-jalan tanpa alas kaki. Di hutan yang menjulang di belakang resor, atap-atap vila menyembul anggun.

Malam baru dimulai. Langit bermandikan cahaya jingga kemerahan layaknya kulit persik. “Mundurkan waktu di arloji Anda satu jam,” saran seorang staf resor. “Zona waktu Soneva berlaku di sini.” Memperlambat waktu. Memisahkan diri dari dunia. Mungkinkah ini yang dimaksud dengan filosofi “slow life” dari Soneva Kiri?

Pagi-pagi sekali, usai sarapan, saya berjalan ke “dinding” es krim untuk menumpuk energi, kemudian berkelana menaiki golf cart. Semua bangunan di kompleks seluas 41 hektare ini dirangkai dari bambu dan kayu. Satu-satunya struktur beton adalah asrama karyawan.

Golf cart menembus kebun kelapa dan mendaki perbukitan. Lanskap begitu indah hingga saya sengaja menghindari jalan pintas agar bisa berlama-lama menikmati pemandangan. Saya juga melewati pantai yang membujur panjang di mana sekelompok pria asal Inggris menggelar pertandingan sepak bola. Saya bertanya kepada Friday (sapaan butler di sini, dipinjam dari karakter dalam novel Robinson Crusoe) perihal praktik ramah lingkungan di Soneva Kiri, misalnya tentang pasokan bahan dapur dan sumber air untuk menyiram lahan.

Kiri-kanan: Kamar di Soneva Kiri yang bangunannya terbuat dari bambu dan kayu; Area bersantai di pantai di depan Soneva Kiri, resor termewah dan terbesar di Koh Kood.

Untuk mencari jawabannya, Friday meminta saya mampir ke Eco-Centro di sudut lapangan tenis. Di sini, Khem, seorang mantan petani, meluncurkan banyak jurus untuk menjaga resor tetap hijau. Dia, misalnya, menciptakan siklus yang mengubah sampah jadi berkah. Minyak goreng sisa diolah menjadi biodiesel, yang kemudian dipakai sebagai bahan bakar mesin pencacah kayu, yang hasilnya kemudian disebar sebagai pupuk di kebun yang menanam bahan masak di restoran. Khem meminta saya menggosok serai di lengan guna menangkal serangga. Semua yang tumbuh di sini, ujarnya, bersifat organik—disemprot dengan insektisida alami hasil campuran lengkuas dan mikroorganisme. Khem menunjukkan contoh lain dari praktik hijau resor. Kebun-kebun di sini dihubungkan oleh sistem pengairan yang dikendalikan oleh empat kolam. Masing-masing kolam ditutup bunga-bunga lili yang bertugas menyaring air hujan dan limbah. Air filter dari sinilah yang dipakai untuk membasahi seantero resor. Di sudut yang lain, empat sumur bertugas memasok kebutuhan air minum.

Menangani sampah, tentu saja, juga menjadi tugas Khem. Soneva Kiri memiliki empat ruangan untuk menampung plastik, botol, logam, dan kertas. Saban bulan, semuanya diangkut ke Bangkok untuk dijual. Uangnya mungkin tak seberapa. Mengintip interior ruang penampungan terlihat betapa sampah sangat minim, dan saya pun menyadari alasannya: Soneva Kiri mereduksi penggunaan benda-benda disposable. Selain tisu dan bungkus sikat gigi, tak banyak barang yang bisa dibuang.

Dengan berkiblat pada ekowisata, Koh Kood mengirimkan pesan kuat kepada pemerintah tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara daya dukung lingkungan dan pasokan turis. Pulau ini tak ingin bernasib seperti kantong-kantong padat turis di Thailand, terutama Koh Chang, pulau yang ditimpa longsor parah pada 2010 akibat erosi tanah dan maraknya pendirian resor.

Momen pertama dan satu-satunya untuk memakai sepatu adalah saat saya hendak menjelajahi pulau. Kendati berstatus pulau terbesar keempat di Thailand, sebagian besar kawasan Koh Kood relatif senyap. Populasinya 2.500 jiwa. Mayoritas warga bermukim di desa-desa nelayan kecil. Tidak ada bank ataupun ATM. Kabel listrik dari daratan utama baru akan dibentangkan pada akhir 2015. Hingga kini, Koh Kood menyandarkan pasokan energinya pada panel-panel surya dan generator.

Kiri-kanan: Menikmati sajian dengan pemandangan menarik; cellar tanah liat yang menyimpan sekitar 500 label wine.

Pemandu saya hari ini, Kae, dibesarkan di Koh Kood. Sempat merantau ke Bangkok untuk studi, dia mudik karena orang tuanya kian sepuh dan membutuhkan perhatian ekstra. Pertama-tama, Kae mengantarkan saya ke sebuah kuil di desa nelayan Ao Salat. “Tadinya saya sedih saat meninggalkan Bangkok. Tak banyak yang bisa dilakukan di Koh Kood. Di sini tidak ada kehidupan malam, tidak ada hiburan, dan semua orang saling mengenal,” ujarnya saat kami berdiri di atap menara lonceng. “Tapi sekarang saya sangat bahagia. Saya tidak akan pernah pergi lagi. Hidup bergulir alamiah di sini.”

The post Terbius Keheningan Koh Kood appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/terbius-keheningan-koh-kood/feed/ 0
4 Tempat Menikmati Craft Beer di Bangkok https://destinasian.co.id/4-tempat-menikmati-craft-beer-di-bangkok/ https://destinasian.co.id/4-tempat-menikmati-craft-beer-di-bangkok/#respond Mon, 26 Oct 2015 09:19:25 +0000 http://destinasian.co.id/?p=17095 Rekomendasi tempat hangout di Bangkok dengan pilihan bir yang unik.

The post 4 Tempat Menikmati Craft Beer di Bangkok appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Oleh Gabrielle Lipton
Video oleh Dimas Anggakara

Pasar bir selama bertahun-tahun didominasi oleh nama-nama besar seperti Heineken, Guinness, Corona, maupun Bintang. Namun, beberapa tahun belakangan muncul nama craft beer atau bir yang diproduksi oleh brewery independen. Bir ini dibuat oleh pengusaha kecil menggunakan bahan-bahan tradisional serta minim bahan kimia dengan jumlah kurang dari enam juta barel per tahun. Karena produksinya yang terbatas, craft beer ini memiliki keunggulan cita rasa yang lebih variatif dibandingkan bir-bir ternama. Di Indonesia, pasar ini belum terlalu terdengar gaungnya. Di Jakarta, kami menemukannya di restoran Letter D milik koki Degan Septoadji yang berlokasi di kawasan Radio Dalam. Namun di Bangkok, pasar ini tengah naik daun. Makin banyak bar-bar yang menjajakan craft beer di dalam menunya. Seperti di Brooklyn, pilihannya pun beragam. Kami mengunjungi empat di antaranya.

Mural di Roadhouse Saloon yang menunjukkan kota-kota asal craft beer yang dijual.

Beervana
Beervana dibuat untuk menghadirkan bir independen terbaik. Itulah misi yang diusung oleh Aaron Grieser dan Brian Bartusch ketika mendirikan Beervana, perusahaan yang kini sibuk mengimpor dan mendistribusikan bir independen dari seluruh dunia ke pasar Thailand. Dua pengusaha asal Amerika Serikat tersebut menyuplai lebih dari 120 restoran dan bar di Bangkok serta 80 tempat lainnya di seantero Negeri Gajah Putih.

Apa yang membuat Beervana cukup populer di kalangan pemilik bar dan restoran? Jawabannya adalah komitmen. Guna menghadirkan kualitas bir terbaik bagi para kliennya, Beervana memberlakukan sistem “cold chain.” Dengan sistem pengiriman ini, bir dijaga tetap dalam suhu empat derajat Celsius mulai dari keluar dari brewery hingga tiba di restoran dan bar di Bangkok dan seantero Thailand.

Menikmati bir dingin di Roadhouse Saloon. Tersedia pilihan dalam gelas dan botol.

Beervana pun tak sembarangan menerima klien. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah kecintaan terhadap bir. Roadhouse Saloon adalah salah satu bar favorit Aaron dan Brian. Bersemayam di Hotel Glow Trinity Silom, bar yang juga merangkap sebagai restoran barbeku ini menawarkan atmosfer santai dan hangat lengkap dengan meja biliar. Salah satu dindingnya dihiasi mural raksasa berbentuk peta Amerika Serikat guna menunjukkan kota-kota tempat asal craft beer yang dijual di sini. Merek favorit mereka adalah Nøgne Ø Tindved, bir yang terbuat dari ragi Brett (kependekan dari Brettanomyces). “Rasanya seperti ada blue cheese di dalamnya,” ujar Brian. Pilihan lainnya adalah Nøgne Ø’s Aurora Australis, yang digadang-gadang sebagai bir terbaik. Aurora Australis adalah satu-satunya craft beer yang dibuat menggunakan metode aquavit yang rumit menggunakan barel khusus dari kayu ek yang bisa beradaptasi terhadap guncangan dan perubahan suhu. Salah satu bir independen favorit Brian lainnya adalah Kagua Blanc dan Kagua Rogue yang dibuat menggunakan tambahan merica yuzu dan sansho.

Informasi lebih lanjut, kunjungi Beervana >>

The post 4 Tempat Menikmati Craft Beer di Bangkok appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/4-tempat-menikmati-craft-beer-di-bangkok/feed/ 0
Checking-In: Bangkok Tree House https://destinasian.co.id/checking-in-bangkok-tree-house/ https://destinasian.co.id/checking-in-bangkok-tree-house/#respond Tue, 31 Mar 2015 07:49:08 +0000 http://destinasian.co.id/?p=13868 Bermalam di hotel berbentuk rumah pohon di kawasan konservasi Bangkok.

The post Checking-In: Bangkok Tree House appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Oleh Gabrielle Lipton
Video oleh Dimas Anggakara

Seperti Jakarta, ruang hijau di Bangkok juga minim. Namun bukan berarti semua telah berganti menjadi hutan beton. Bang Krachao adalah sebuah daerah asri di tepi Sungai Chao Phraya. Mirip dengan Kepulauan Gili di Lombok, di Bang Krachao mobil dilarang masuk. Jumlah sepeda motor bisa dihitung dengan jari. Transportasi utamanya adalah sepeda. Di “pulau” yang masih terlihat asri inilah hotel unik Bangkok Tree House berdiri. Terinspirasi oleh novel berjudul Walden karya Henry David, hotel ini dibangun untuk mereka yang cinta akan alam.

Opsi penginapan ramah lingkungan di Bangkok yang panas.

Desain
Sesuai dengan namanya, Bangkok Tree House menggabungkan konsep hotel dan rumah pohon. Joey Tulyanond, sang pemilik, menyebut penginapan miliknya ini adalah perwujudan dari mimpi setiap anak-anak. Proses pembangunannya cukup memakan waktu. Joey menemukan lokasinya ketika sedang bersepeda di Bang Krachao. Karena penduduknya masih terbilang konservatif, pria asli Thailand tersebut memerlukan waktu dua tahun untuk meyakinkan mereka. Proses pembangunannya pun memakan waktu yang sama. Pasalnya, semua peralatan dan material bangunan harus dibawa menggunakan tangan karena mobil tidak diizinkan di wilayah tersebut.

Berdiri di kawasan hutan gambut di tepi sungai, desainnya digarap dengan serius. Mengawinkan gaya minimalis dan kontemporer, penginapan dengan 11 kamar ini banyak mengaplikasikan desain terbuka demi meminimalisasi penggunaan listrik untuk pendingin udara dan penerangan. Area resepsionis, misalnya, yang dilebur menjadi satu dengan restoran tanpa dinding guna memaksimalkan sirkulasi udara. Demi mencapai misinya sebagai hotel ramah lingkungan, fasadnya ditutupi dengan kebun vertikal. Seluruh bangunannya menggunakan bahan bambu, kayu, dan bahan daur ulang.

Kamar khusus yang disediakan untuk pasangan. Dilengkapi balkon dengan ranjang berselimutkan kelambu.

Kamar
Sebelas unit “rumah pohon” yang ditawarkan sejatinya adalah bungalo dua lantai. Disebut “nest,” masing-masing bungalo terdiri atas kamar mandi di lantai dasar dan kamar tidur di lantai atas. Kamar mandinya mengaplikasikan desain tanpa atap dengan dinding yang mampu menyerap panas layaknya ruang sauna. Dari kamar tidur, tamu bisa mengakses area atap yang dilengkapi dengan tempat tidur outdoor yang berfungsi sebagai tempat bersantai, membaca buku, atau melihat bintang. Di dalam kamar tidur, tamu akan dimanjakan dengan matras nyaman dan amenity organik yang dipesan dari penduduk sekitar. Berkat penggunaan jendela yang luas, pemandangan hijau menjadi daya tarik tersendiri dari dalam kamar.

Selain kamar ukuran standar, Bangkok Tree House juga menyediakan akomodasi untuk keluarga dengan dua kamar tidur terpisah. Bagi mereka yang berbulan madu atau ingin privasi lebih, penginapan ini juga menyediakan kamar yang terletak di paling ujung properti. Kamar ini dilengkapi dengan kamar tidur outdoor yang dipercantik kelambu. >>

The post Checking-In: Bangkok Tree House appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/checking-in-bangkok-tree-house/feed/ 0
Checking In: Hotel Lokal Yogyakarta https://destinasian.co.id/checking-in-hotel-lokal-yogyakarta/ https://destinasian.co.id/checking-in-hotel-lokal-yogyakarta/#respond Thu, 08 Jan 2015 06:12:54 +0000 http://destinasian.co.id/?p=12471 Hotel lokal dengan desain impresif. Menawarkan akomodasi eksklusif.

The post Checking In: Hotel Lokal Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Oleh Gabrielle Lipton

Yogyakarta sudah sejak dulu menjadi salah satu destinasi liburan paling ramai di Indonesia. Popularitasnya di kalangan turis berada satu peringkat di bawah Bali. Hotel-hotel bermerek bermunculan. Masing-masing dengan desainnya yang distingtif. Di tengah gempuran chain hotel, hotel-hotel independen pun ikut meramaikan persaingan. Hotel butik dengan desain yang lebih personal tumbuh subur. Salah satu yang terbaru adalah Hotel Lokal.

Eksterior Hotel Lokal yang minim pelang.

Desain
Berbeda dari gaya hotel bisnis yang kaku dan formal, Hotel Lokal lebih berani bermain-main dengan desain. Gempa Trimuryono, pendirinya awalnya membuka restoran Lokal pada Februari 2014. Hotel Lokal menyusul dibuka sebulan setelahnya. Sesuai dengan namanya, Hotel Lokal mengandalkan pada sumber lokal untuk furnitur dan stafnya. Furniturnya digarap oleh firma desain MISC yang juga merupakan milik Gempa. Desainnya distingtif. Materialnya menggunakan bahan-bahan dari kawasan sekitar. Hasilnya: furnitur bergaya modern minimalis. Mirip dengan yang dijual di toko-toko mebel kelas atas. Dindingnya dibiarkan telanjang. Kandil-kandil eksentrik menghiasi langit-langitnya. Guna mengurangi konsumsi listrik, pemiliknya mengaplikasikan jendela-jendela besar supaya penetrasi cahaya alami bisa maksimal. Menambah kesan eksklusif, mural menarik kreasi seniman lokal menutup beberapa sudut dinding. Sedangkan tegel warna-warni dengan motif terinspirasi motif batik kawung menambah semarak interior Hotel Lokal.

Kolam renang Hotel Lokal yang tidak terlalu besar, namun nyaman.

Kamar Tipe B, tipe kamar paling luas di Hotel Lokal.

Kamar Tipe A dengan tempat tidur twin.

Kamar
Hotel Lokal hanya memiliki 12 kamar dan dibagi menjadi tiga tipe: Tipe A, B, dan C. Semuanya memiliki standar kenyamanan sama, yang membedakan adalah luas kamarnya. Kamar Tipe B merupakan kamar yang paling lapang. Terdiri atas dua lantai, lantai pertama dipecah menjadi kamar mandi, ruang tamu, dan meja kerja. Lantai atas difungsikan sebagai kamar tidur bergaya loft dengan balkon. Bagi mereka yang menginginkan tempat tidur twin bisa memilih kamar Tipe A, sementara kamar Tipe C lebih dirancang untuk pasangan. Masing-masing kamarnya mengusung desain cukup impresif. Mirip dengan desain kamar di IKEA, namun lebih kaya kreativitas. Tak menggoda tamu dengan barang-barang mewah, Hotel Lokal lebih menonjolkan kualitas layanan, di antaranya sepiring stroberi segar di saat kedatangan, mini bar gratis, amenities mumpuni, dan transfer bandara pp gratis.

Restoran Lokal dengan menu khas Indonesia dan barat.

Keistimewaan
Meski berdiri di jalanan cupet Yogyakarta dan tanpa promosi besar-besaran, Hotel Lokal tak pernah sepi tamu. Layanan yang prima dan suasana personal adalah kuncinya. Meja komunal di restoran yang dirancang agar tamu-tamu lebih berinteraksi dengan sesama—ketimbang dengan ponselnya—serta kolam renang yang tak terlalu luas namun sangat nyaman untuk bersantai adalah beberapa hal yang membuat tamu kembali ke Hotel Lokal. Meskipun belum berumur satu tahun, Gempa sudah berencana untuk membuka hotel serupa dengan lokasi yang lebih strategis: di tengah kota.

Jl. Jembatan Merah No. 104C, Yogyakarta, 0274/524-334; Lokal Hotel & Restaurant; doubles mulai dari Rp500.000.

The post Checking In: Hotel Lokal Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/checking-in-hotel-lokal-yogyakarta/feed/ 0