Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menjelajah Kawasan Lower Manhattan

Panorama senja dari atas Grand Banks, restoran yang menempati perahu tua yang bersandar di Hudson River Park di area TriBeCa.

Oleh Gabrielle Lipton
Foto oleh Matt Dutile

Bab satu. Dia mengagumi New York City. Dia memujinya berlebihan.’ Eh, sebentar, mungkin lebih tepatnya, ‘Dia memujanya berlebihan.’” Seiring kata-kata itu, film Manhattan (1979) pun dimulai. Dengan latar lanskap kota dalam montase hitam-putih, sang penyulih suara, dengan aksen New York yang medok, menuturkan kalimat-kalimat awal dalam buku yang ditulis oleh sang karakter dalam film, kemudian berujar: “New York adalah kota tempatnya menetap, untuk selamanya.” Komposisi Rhapsody in Blue mencapai klimaksnya dan kembang api meletus di langit Midtown.

Karya Woody Allen itu dinobatkan banyak orang sebagai film terbaik yang mengangkat New York. Saya setuju sepenuhnya, tapi dengan catatan: New York tidaklah ditampilkan secara utuh. Lower Manhattan, kawasan di selatan pulau, luput dari bidikan kamera. Karena itulah kita tidak melihat tempat-tempat yang berada di bawah Canal Street, misalnya Financial District, gedung-gedung kolot milik pemkot, Battery Park, South Street Seaport, dan TriBeCa (Triangle Below Canal).

Gedung dari abad ke-19 di South Street Seaport.

Keputusan Woody itu sebenarnya mudah dipahami. Lower Manhattan memang tidak menawarkan pengalaman khas New York. Tidak ada gedung-gedung bata yang bermandikan sinar jingga lampu jalan. Tidak ada museum, galeri, atau teater yang bergengsi. Tidak ada budaya makan yang bernyawa. Tidak ada yang bisa dirayakan di waktu malam. Itu pula sebabnya, saya, meski pernah dua tahun menetap di New York dan berulang kali menjenguk nenek di apartemennya di East 30th Street, jarang sekali menemukan alasan untuk menghampiri Lower Manhattan.

Bagi banyak orang,sisi romantis kota berhenti di Canal Street. Berjalan terus ke selatan, kita hanya akan menemukan geliat bisnis finansial, situs sejarah kelas medioker, juga ruang pengadilan. Tapi itu dulu. Semuanya kini telah berubah.

Sejumlah berita menuturkan dengan gempita proses revitalisasi Lower Manhattan dan beragam pencapaiannya. Kita mungkin melihatnya sebagai takdir: terbatasnya lahan di Manhattan memaksa banyak kawasan berbenah demi bertahap hidup. Tapi perubahan ini sejatinya merupakan bagian dari agenda besar yang dipicu oleh mala.

Selepas masa berkabung atas serangan World Trade Center, menara yang terletak di Lower Manhattan, publik mencurahkan perhatian tinggi pada kawasan ini. Beragam proyek berbiaya selangit dilancarkan. Berikut beberapa hasilnya: National September 11 Memorial & Museum; gedung baru One World Trade Center; sebuah mal yang megah dan mahal; stasiun kereta api yang jauh lebih megah dan mahal; kerumunan restoran dan toko; serta kantong kehidupan malam yang memikat banyak orang sekaligus membuktikan betapa New Yorker adalah legiun yang tangguh.

Area Lower Manhattan dilihat dari seberang dermaga.

Saya memulai penelusuran Lower Manhattan dengan menaiki perahu layar yang konon pernah dimiliki oleh sosialita Zelda Fitzgerald. Usai melewati Patung Liberty, perahu berlabuh di dekat Battery Park. Dalam naungan purnama, saya menyeruput bir hitam bersama teman-teman, serta menyantap selada kentang dan steik panggang di buritan. Lampu-lampu berkilauan di jendela pencakar langit. Malam ini, berbeda dari film karya Woody, tidak ada kembang api.

Turun dari perahu, seperti yang kerap terjadi di sebuah kota, kami kesulitan menemukan toilet umum. Usai berputar-putar, tanpa sengaja kami terdampar di sebuah koridor panjang yang dibalut marmer dan ditopang tiang-tiang putih hingga menyerupai tulang rusuk. Malam sudah larut dan tempat ini hampa. Saya merasa seperti Nabi Yunus dalam perut paus yang didesain oleh Steve Jobs.

Tak disangka, kami sebenarnya berada di dalam World Trade Center Transportation Hub, terminal gigantik yang dirancang oleh arsitek terpandang Santiago Calatrava. Saat saya datang, struktur futuristik ini masih dalam tahap penyelesaian, tapi banyak orang sudah memujinya sebagai mahakarya dari Calatrava. Eksteriornya menampilkan dua barisan pilar yang ditata melengkung dan membentang layaknya sayap. Dari kejauhan mirip burung yang hendak lepas landas.

Transportation Hub didirikan untuk melayani komuter yang datang dengan feri dari Staten Island dan kereta dari New Jersey. Jumlahnya sekitar 250.000 orang per hari. Fungsi terminal ini memang vital dan sosoknya mentereng seperti fosil dari masa depan, tapi ia tak lantas disambut senyuman tulus oleh warga. Penyebabnya adalah biaya konstruksinya yang boros: hampir menyentuh $4 miliar—menjadikannya terminal komuter termahal sejagat.

Terlepas dari polemik sengit itu, bagi saya, Transportation Hub berjasa menghidupkan kembali pamor masa silam Lower Manhattan sebagai gerbang pertama kota. Pada awal abad ke-17, Lower Manhattan adalah lokasi yang dipilih Belanda untuk mendirikan New Amsterdam. Ketika area ini diakuisisi Inggris dan dinamai New York pada 1664, populasi warganya sudah menembus 1.500 jiwa. Kemudian, pada 1800-an, kawasan ini menjadi titik pendaratan bagi 10 juta imigran yang hendak merajut mimpi di Amerika, di antaranya merupakan kerabat saya.

Kini, Lower Manhattan adalah nadi perekonomian New York, rumah bagi 10 perusahaan dalam daftar Fortune 500, sekaligus tempat bagi 200.000 orang pekerja menyambung nasib.

Berniat mengamati kemajemukan warga, di hari berikutnya, saya singgah di Brookfield Place, mal anyar yang bersemayam di kaki gedung perkantoran. Tak jauh darinya, ada markas Time Inc. dan Goldman Sachs. Brookfield Place adalah habitat alami bagi New Yorker.

Gerai-gerai yang menghuni Hudson Eats.

Di sini terdapat Hudson Eats, semacam pujasera yang mengumpulkan hampir semua kios terpopuler di New York, sebut saja Black Seed Bagels, Dos Toros Taqueria, serta Num Pang Sandwich Shop. Datang di jam makan siang, Hudson Eats sesak oleh manusia, mulai dari bankir yang dibalut jas Canali, editor muda beralaskan Nike, kuli bangunan, hingga pengelana seperti saya. Beberapa orang mengambil kursi di Blue Ribbon Sushi, kemudian melahap ikan-ikan segar hasil tangkapan kota iPads.

Tak jauh dari mereka, ada Le District, French market premium yang menjelaskan mengapa New Yorker, meski rata-rata bergaji tinggi, kerap mengeluh tak punya cukup uang untuk berbelanja bulanan. Semua dagangan di Le District ditata apik di rak atau dibungkus wadah kaca layaknya artefak. Sebuah penataan yang penuh hasutan. Datang untuk membeli pisang, kita bisa-bisa justru pulang dengan membawa camilan impor. Sementara saya, yang tadinya cuma hendak memesan secangkir kopi, kini malah menyeruput sazerac di bar dan mengudap cokelat warna-warni.

Selain mengoleksi makanan yang menggiurkan, Brookfield Place menampung banyak toko trendi, sebut saja J.Crew, Tory Burch, Michael Kors, dan Lululemon. Beranjak ke tengah mal, saya menemukan Winter Garden, ruang publik yang ditumbuhi pohon palem dan dikangkangi atap kaca. Terakhir kali ke sini, pada Desember 2011, saya menyaksikan demonstrasi Occupy Wall Street di mana sekelompok pemrotes duduk dalam formasi lingkaran sembari berlindung dari udara dingin. Sekarang, atrium ini dipakai sebagai ruang pentas seni oleh pengelola mal. Saya duduk di kursi penonton dan menatap pelabuhan kecil di mana kapal layar (yang konon katanya) milik Zelda tengah bersauh di samping sebuah kapal pesiar mewah.

Instalasi seni di teras Center of Architecture.

Berpaling ke sisi timur Brookfield Place, persisnya ke bantaran East River, terdapat South Street Seaport yang juga menawarkan tur belanja dan kuliner, tapi dengan atmosfer yang berbeda. Belanda membangun dermaga di sini pada 1625 untuk merespons pertumbuhan New Amsterdam sebagai kota bandar utama. Pada 1982, sebuah mal megah didirikan dan dengan cepat menjelma jadi atraksi wisata. Tapi, setelah Topan Sandy menghantam Seaport pada 2012, Howard Hughes Corporation memutuskan merombak tempat ini dan membuatnya jadi lebih mirip Brooklyn.

Simak saja tawarannya: cabang dari Smorgasburg Food Market; barisan kedai kopi; pameran seni berkala di tepi jalan dan di dalam Seaport Studios; serta beragam butik menarik seperti Brother Vellies (sepatu buatan Afrika), Farm Candy (manisan dan asinan kaya rempah), serta Bowne & Co. (salah satu perusahaan percetakan tertua).

“Howard Hughes Corporation menghubungi kami setahun silam saat Seaport hendak menyajikan pameran pop-up selama ajang Pekan Mode New York,” ujar Erin Feniger, desainer Rialto Jean Project, merek asal L.A. yang juga menghuni South Street Seaport. “Setelah sebulan bercokol di sini, saya jatuh cinta pada lingkungan ini, serta pada visinya untuk menjadi tempat yang berkiblat pada fesyen dan seni.” >>>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5