Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Rute Ziarah Kumano Kodo

Pagoda Seigantoji dengan latar Nachi Falls, air terjun tertinggi di Jepang.

Teks & foto oleh Leisa Tyler

Satu milenium silam, saat kaisar masih memerintah tanah Jepang, kaum bangsawan Kyoto lazim meretas ekspedisi suci selama berminggu-minggu di Kumano guna mengunjungi tiga kuil penting dalam ajaran Shinto-Buddha. Perjalanan di belantara selatan Semenanjung Kii itu membawa mereka melewati pegunungan yang dibelah air terjun dan menembus hutan gelap yang diramaikan gemuruh arus sungai.

Mengenakan byakue, mantel putih khas peziarah, para bangsawan menyuguhkan sesajen di lusinan pohon, batu, serta kuil kecil yang berfungsi layaknya pos pemberhentian. Jalur yang mereka tempuh kemudian dikenal dengan nama Kumano Kodo (kodo berarti “ jalan tua”). Turis kini diundang untuk mereplika perjalanan para aristokrat tersebut. Dua aktivitas utamanya: memurnikan jiwa sekaligus merayakan keindahan alam.

Tak terhitung manusia yang telah meniti Kumano Kodo. Sayangnya, saat Jepang menyambut fajar zaman modern di akhir abad ke-19, sirkuit kuno tersebut justru meredup. Jalurnya terpecah-pecah. Kuil dan candinya rontok dimakan usia. Pada 2004, Kumano Kodo menjadi satu dari hanya dua rute ziarah di dunia yang dilantik menjadi Situs Warisan Dunia.

Restorasi kemudian digelar untuk mengembalikan kejayaannya. Seiring itu, jumlah pengunjung melonjak. Warga Jepang berdatangan untuk bersimpuh di Kumano Hongu Taisha, Kumano Hayatama Taisha, dan Kumano Nachi Taisha—trio kuil megah yang secara kolektif dijuluki Kumano Sanzan. Penjelajah asing juga mulai marak, terutama berkat upaya Biro Pariwisata Tanabe City Kunamo yang menciptakan peta rute yang rapi, sistem daring pemesanan hotel, serta layanan antar-jemput dengan bus.

Beragam inisiatif itu berhasil melambungkan pamor Kumano Kodo. Yang tak kalah penting, desa-desa di sepanjang rute ziarah kini memiliki sumber pemasukan baru. Banyak kawasan, termasuk Kumano, dulu berlimpah sawah. Tapi kini banyak lahan telah beralih fungsi. Kondisinya diperparah oleh eksodus pemuda desa ke kota-kota yang bermandikan neon semacam Tanabe dan Osaka.

Kiri-kanan: Pedesaan di kaki gunung; menyusuri jalan batu Daimon-zaka menuju Kuil Nachi Taisha.

Brad Towle, pria Kanada yang kini bekerja untuk biro pariwisata, mendarat di Kumano pertama kali enam tahun lalu. Dia masih ingat, kawasan ini memiliki tujuh sekolah. Sekarang, cuma tiga yang tersisa. “Kami hendak menggunakan pariwisata untuk membuka lapangan kerja bagi warga desa, sekaligus memberi mereka alasan untuk tidak pergi.”

Salah satu strategi yang ditempuh adalah menerbitkan aturan baru yang merevitalisasi peran pemandu lokal. Cara lainnya adalah meyakinkan pengelola ryokan (penginapan tradisional) untuk lebih memilih bahan masak yang dipanen dari hutan sekitar. Manfaat upaya itu saya rasakan ketika menjelajahi Nakahechi, rute favorit kaum aristokrat ribuan tahun silam. >>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5