by Yohanes Sandy 05 April, 2017
Road Trip di Pedalaman Myanmar
Perjalanan hari berikutnya berlangsung lebih dramatis. Mobil menanjak dan berliku gesit, menembus dataran tinggi, melewati desa-desa yang berserakan di lereng. Turis adalah makhluk langka di sini. Itu mungkin sebabnya banyak orang memotret kami. Di sepanjang Highway 4, kami menikmati keramahan yang menjadi ciri warga Shan. Tabiat yang bertahan meski mereka telah melewati konflik bersenjata selama bertahun-tahun.
Menjelang petang, kami transit di sebuah warung untuk menemui Sai Hla Shue, seorang pemimpin adat lokal. Dulu, selama perundingan gencatan senjata, dia bekerja sebagai negosiator antara kubu militer dan berbagai kelompok pejuang kemerdekaan Shan. Ditemani secangkir teh, Sai Hla Shue menuturkan betapa sukarnya menemukan titik kompromi guna meredakan pertikaian, baik antara pemerintah dan gerilyawan, maupun di antara sesama pemberontak.
“Shan State Army dan Shan Nationalities League for Democracy telah sepakat untuk mematuhi perjanjian gencatan senjata yang diteken pada 1991,” jelasnya, “tapi Liberation Party dan Restoration Council of Shan State sepertinya belum bisa berpaling dari perang.”
Saya berharap perang tak lagi pecah di sini. Warga sedang dimabuk optimisme bahwa kabinet sekarang akan berupaya sekuat mungkin mengakhiri perang. Aspirasi yang tak berlebihan sebenarnya. Untuk pertama kalinya sejak 1962, Myanmar dipimpin oleh pemerintahan yang terpilih demokratis.
Warga Shan kini mendambakan perdamaian yang langgeng. Mereka juga merindukan kesejahteraan yang dulu dinikmati saat Myanmar berstatus lumbung beras Asia Tenggara. Wajar jika orang rindu pada zaman emas itu. Pada 1920, Universitas Rangoon memiliki tingkat akademis yang menyaingi kampus elite sekaliber Oxford.
Pada 1950-an, Myanmar mengekspor beras. Sayangnya, selepas kudeta militer 1962, negeri ini perlahan terjerumus ke sumur kemiskinan. Hasilnya: Myanmar resmi digolongkan sebagai “least developed country” oleh PBB pada 1987. Jika George Orwell—yang bekerja sebagai aparat kolonial di Burma pada 1922—berkunjung ke sini beberapa dekade lebih lambat, dia bakal menemukan diktator yang jauh lebih sadis ketimbang rezim Big Brother yang ditulisnya dalam novel Nineteen Eighty-Four.
Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi pernah mengajak turis memboikot Myanmar, karena menurutnya biaya visa hanya akan membuat junta bertambah kaya. Ajakannya sempat membuat saya ragu mengunjungi Myanmar, walaupun pada 1994 saya akhirnya memasuki negara misterius ini. Waktu itu saya menyewa sepeda motor di Thailand dan berkendara selama tiga hari menuju zona militer Three Pagodas Pass di Myanmar. Pengunjung tak perlu memiliki visa di sini, tapi mereka dilarang bermalam. Alhasil, saya menghabiskan hanya beberapa jam di Myanmar, mencukur rambut di sebuah salon lokal, lalu kembali ke Thailand.
Hari ini, 22 tahun setelahnya, saya kembali ke Myanmar dan menemukan wajah negeri yang sudah berubah. Suu Kyi berhasil menembus lingkaran kekuasaan. Kabinet baru yang dikepalai sipil memerintah dari ibu kota baru Myanmar, Naypyidaw. Tentu saja, perubahan tak berlangsung sama di semua wilayah. Berada di “zona cokelat,” saya masih harus melapor secara reguler kepada aparat dan mengalami pemeriksaan dokumen.
Tiap kali hendak menyeberangi sungai, kami mesti berhenti sejenak untuk mendapatkan restu dari penjaga. Di waktu-waktu itu, saya biasanya menyembunyikan kamera agar tidak dikira sedang memotret bunker beton yang mengawal kedua ujung jembatan.
Pos pemeriksaan semacam ini beroperasi hingga pukul 18:00. Di malam hari, kendaraan turis dilarang melintas. Atas alasan itulah kami melintasi Sungai Salween di pagi hari. Seorang penjaga mengingatkan bahwa kami boleh memotret, tapi dilarang memarkir kendaraan. Saya melongok dari jendela dan melihat panorama di kaki jembatan. Dua orang nelayan tengah mendayung sampan menembus kabut yang berembus pelan. Bambu bergoyang lesu di bantaran yang damai. Air berkelok kalem melewati sebuah pulau di tengah sungai.
Oleh warga, Sungai Salween dijuluki “Sungai Berkah.” Sungai ini membelah Shan dari utara ke selatan, mengaliri banyak sawah dan ladang. Irigasi yang bersumber dari Sungai Salween berperan vital dalam industri pertanian lokal. Meski luasnya kurang dari seperempat wilayah Myanmar, Shan memproduksi sekitar 60 persen buah dan sayuran di negeri ini.
Mobil meninggalkan perbukitan dan meluncur ke Kengtung, ujung ekspedisi kami. Di perjalanan, Naung Naung teringat masa remajanya saat penguasa mengisolasi warga dari dunia. “Para jenderal begitu paranoid sampai-sampai telepon genggam dikategorikan barang ilegal,” kenangnya. “Pada 2001, Anda harus membayar $4.000 untuk sebuah telepon genggam!”
Untungnya, zaman telah berganti. Tirani runtuh dan demokrasi menyingsing. Karena itulah Naung Naung bisa dengan leluasa dan lantang mengeluhkan masa lalu negerinya yang mencekam. Dan dia bukan satu-satunya orang yang tengah mensyukuri kebebasan. Banyak orang antusias menyambut fajar baru. Ada semacam euforia yang menular dari desa ke desa. Warga belajar berbicara jujur tentang negara mereka sendiri, tanpa harus berbisik-bisik seolah sedang dimata-matai oleh agen rahasia. Setelah bertahun-tahun dikurung isolasi dan represi, mereka kini mulai meraba-raba makna sebenarnya dari kebebasan berbicara dan pers.
Uniknya, di masa ketika akses terhadap informasi terbuka, televisi dan parabola tak lantas laris diburu. Warga justru lebih suka menyerap berita melalui telepon genggam. Myanmar versi baru, dengan segala kegamangannya, ternyata cukup progresif dalam merayakan era mobile technology.
Detail
Rute
Penerbangan ke Naypyidaw, Ibu Kota Myanmar, dilayani oleh Bangkok Airways (bangkokair.com). Untuk penerbangan ke Yangon, opsi maskapainya lebih beragam, di antaranya Singapore Airlines (singaporeair.com), AirAsia (airasia.com), dan Vietnam Airlines (vietnamairlines.com).
Informasi
Operator tur Khiri Travel (khiri.com) menawarkan banyak paket perjalanan untuk menjelajahi Myanmar, termasuk ke daerah-daerah pelosok yang jarang disambangi turis. Perjalanan darat mengarungi Negara Bagian Shan bisa dikemas sesuai permintaan dan lazimnya dibanderol mulai dari Rp2.500.000 per orang per hari, mencakup pemandu, izin wisata, serta kendaraan dan bensin.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2017 (“Tabir Timur”).