Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Oase Elok di Timur Maroko

Kiri-kanan: Sistem irigasi kuno yang dibangun ratusan tahun lalu; pasir sehalus bedak yang susah didaki.

Oleh Rusmailia Lenggogeni

Perjalanan menuju Figuig di timur Maroko menuntut stamina yang mumpuni, gairah bertualang, juga kesabaran tingkat tinggi. Satu setengah hari saya habiskan di jalan, berpindah-pindah dari grand taxi (sedan Mercedes tua), petit taxi (taksi reguler), kereta, lalu bus yang bertolak di waktu subuh.

Di kabin bus, saya satu-satunya turis asing. Mayoritas penumpang mengangkut barang bawaan yang luar biasa banyak. Perjalanan panjang ini sangat monoton, melewati gurun tandus berbatu dan kosong melompong yang seolah tak ada habisnya, seolah tak berujung. Hanya sesekali terlihat tenda kaum nomaden dan beberapa ekor kambing.

Ada apa di Figuig? Mesin pencari Google menyuguhkan hanya sekelumit informasi. Hanya sedikit pelancong yang pernah singgah di kota antah-berantah ini. Lebih sedikit lagi yang pernah menceritakannya kepada dunia. Warga pendatang di Figuig umumnya bekerja untuk organisasi nirlaba yang kebetulan memiliki proyek di sana. Walau menguras energi, satu yang pasti kunjungan ke Figuig tidak akan meninggalkan rasa sesal.

Figuig adalah salah satu kota tertua di Al Mamlakah al Maghribiyah, “Kerajaan di Ufuk Barat.” Sebuah imperium yang dirintis Dinasti Alaouite pada abad ke-17 di utara Afrika. Sebuah imperium yang kita kenal dengan nama Maroko. Figuig terletak di bibir perbatasan dengan Algeria. Sebuah kota oasis di ujung jalan. Ia terkenal dengan iklimnya yang kering, pohon-pohon kurmanya yang jangkung, dan kampung-kampung-nya (ksar) yang menaungi bangunan-bangunan berbahan lumpur. Figuig dihuni tujuh ksar. Yang terbesar, tertua, dan tercantik bernama Ksar Zenaga.

Di Zenaga, semua struktur—mulai dari pagar kebun, rumah, bahkan saluran air—dibuat dari lumpur. Semuanya terkoneksi oleh gang dan lorong yang juga berbahan lumpur. Di sekeliling kampung terhampar palmeraie, kebun kurma yang dibatasi dinding lumpur.

Di Figuig, haram hukumnya menfoto wanita yang mengenakan kerudung putih.

Lupakan nama jalan maupun peta. Menyusuri labirin di sini sebaiknya tidak dilakukan dalam keadaan lapar, karena Anda dijamin bakal tersesat. Tapi justru pengalaman inilah yang membuat Zenaga atraktif. Kita akan dibawa menelusuri lorong-lorong yang gelap sekaligus terang, misterius namun memikat. Gang sempit yang terkesan buntu justru membawa saya ke tempat yang lapang. Salah berbelok, saya bisa tiba-tiba menemukan sebuah kebun atau mendarat di halaman rumah orang.

Labirin di ksar juga berfungsi layaknya sistem irigasi yang kompleks. Di kota yang teronggok di tengah gurun ini, air merupakan komoditas utama yang kadang lebih berharga dibandingkan emas. Sejumlah perang pernah pecah untuk memperebutkannya.

Air berasal dari beberapa mata air, dialiri melalui kompleks selokan yang dibangun sejak ratusan tahun silam, kemudian ditampung di sebuah kolam besar. Sistem distribusinya diawasi sejumlah wali yang disebut asraifi. Merekalah yang memiliki otoritas untuk menjatah dan mengalirkan air secara adil ke kebun dan rumah warga. Profesi asraifi tidak diraih bermodalkan gelar pendidikan, melainkan pengalaman dan keahlian. Kearifan mereka memastikan konflik air tak lagi terjadi di Figuig. >>>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5