by Cristian Rahadiansyah 28 March, 2018
Dua Wajah Melbourne
(Video Melbourne oleh Tourism Victoria)
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto Emily Weaving
Bahkan jika saya berhenti menyantap smashed avo selamanya,” ujar Rose Johnstone, “saya mungkin baru bisa melunasi cicilan rumah setelah 100 tahun.” Di teras sebuah kafe, Rose, wanita kelahiran Melbourne, mengulas perdebatan hangat seputar smashed avocado on toast (roti bakar yang ditindih telur rebus dan irisan avokad). Akhir 2016, menu sarapan ini dipakai oleh seorang kolumnis surat kabar untuk menjelaskan mengapa anak muda kesulitan membeli rumah. Generasi sekarang, tulis sang kolumnis, terlalu boros membeli “smashed avo” hingga lupa menabung.
Rose, yang menjabat editor majalah Time Out Melbourne, membantah keras tudingan itu. Dia dan teman-teman sebayanya mengklaim biang masalah sebenarnya adalah harga properti yang melonjak terlalu cepat dibandingkan peningkatan upah. Hunian di Melbourne kian mahal, kian tak terjangkau. “Generasi sekarang adalah generasi rental,” ujarnya sembari mengembuskan asap rokok, “dan kami sudah bisa menerimanya.”
Melbourne bersemayam di belahan selatan Australia, di tepi selat yang memisahkannya dari Tasmania. Saya datang ke sini di ujung musim gugur, ketika angin dingin mulai berkesiur dan dedaunan kuning berjatuhan bagaikan tinta yang menetes dari ranting. Bagi warga lokal, semua tanda-tanda musim itu tidaklah berlaku. Kota ini dikenal memiliki empat musim dalam sehari, setiap hari, sepanjang tahun. “Meski cuaca pagi cerah,” ujar Rose lagi, “Melbournian terbiasa membawa jaket dan payung saat keluar rumah, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi.”
Melbourne adalah kota yang punya banyak julukan: kota kafe, kota festival, kota budaya, kota seni jalanan. Satu julukan barunya yang membanggakan adalah “kota layak huni.” Selama enam tahun berturut-turut sejak 2011, Ibu Kota Negara Bagian Victoria ini memuncaki Global Liveability Ranking versi lembaga The Economist Intelligence Unit. (Dalam daftar 2017 yang dilansir setelah artikel ini rampung ditulis, Melbourne kembali bertengger di posisi puncak.) Daftar ini disusun berdasarkan pengukuran atas banyak parameter, antara lain stabilitas sosial, mutu pendidikan, serta kualitas perawatan kesehatan.
Bagi saya, semua reputasi harum itu sukar dipahami, tapi justru karena itu menarik dikaji. Lahir dan hidup di Jakarta, menghabiskan masa kecil di Ciledug yang sumpek dan kini menetap di Karet Tengsin yang sesak, saya selalu penasaran untuk mempelajari bagaimana sebuah kota bisa menghadirkan rasa betah bagi penduduknya. Apa rasanya menghuni kota yang paling layak huni?
“Ada banyak yang bisa dinikmati, dipelajari, dan dicoba di sini,” jawab Weili Wong, wanita asal Malaysia yang sudah sembilan tahun bermukim di Melbourne dan bekerja sebagai konsultan pengembangan karier. “Kota ini memberi ruang bagi saya untuk menempa diri, di lingkungan yang kualitasnya lebih baik dalam banyak aspek.”
Diukur menggunakan banyak parameter, kualitas hidup di sini memang prima. Tingkat harapan hidup tinggi. Angka kriminalitas rendah. Bagi banyak orang tua, termasuk di Indonesia, Melbourne juga merupakan destinasi favorit untuk mengirim anak berkuliah. Dua kampus di sini masuk daftar 100 terbaik dunia, sementara tingkat konsumsi bahan bacaannya paling lebih tinggi dari semua kota di Australia—statistik yang menjadikan Melbourne kota literatur versi UNESCO.
Tapi semua itu sesungguhnya ada harganya. Kualitas hidup di sini harus “dibeli” dengan biaya mahal. Secangkir kopi rerata dibanderol AUD4. Tarif parkir per jam setara harga sepiring masakan di restoran. Sementara rumah tipe sederhana di pinggiran kota dilego mulai dari AUD400.000 (sekitar Rp4 miliar), acap kali dengan sistem lelang, hingga memaksa generasi muda semacam Rose dan kawan-kawannya mengubur mimpi untuk memiliki papan dan halaman.
“Pilihannya hanya dua,” kata seorang wanita asal Singapura yang bekerja untuk biro pariwisata lokal tentang mahalnya hidup di Melbourne, “yakni memiliki gaji minimum AUD3.000 atau punya suami yang ringan tangan dan serbabisa. Dia harus bisa merangkap sebagai tukang kebun, tukang servis AC, tukang gorden, juga tukang jahit. Semua profesi ini tarifnya bisa belasan hingga puluhan dolar per jam.”
Layak huni tapi tidak ramah suami. Menyenangkan namun kelewat mahal. Apa sesungguhnya makna kota layak huni? Dan apa yang bisa kita pelajari dari Melbourne? Saya kelayapan selama seminggu di sini untuk mencari jawabannya.
Dulu saya mengambil jurusan mekanik di kampus,” ujar Kumar dalam sedan Ford Falcon reyot yang membawa saya menembus jalan-jalan di pusat kota. “Bukan karena saya suka mengutak-atik mesin, tapi karena profesi mekanik dibutuhkan di Australia, jadi lebih gampang untuk pindah kewarganegaraan.”
Kumar, pemuda asal India, sudah satu dekade tinggal di Melbourne. Dalam kurun itu, dia tak pernah sekalipun bekerja di bengkel. Alih-alih, Kumar menghabiskan nyaris seluruh hidupnya di sini sebagai sopir taksi, kemudian beralih menjadi sopir Uber empat bulan silam. “Hidup di Melbourne menyenangkan,” lanjutnya. “Pastinya lebih menyenangkan dibandingkan kampung saya di India.”
Semenjak emas ditemukan di Australia pada abad ke-19, Melbourne ajek memikat pendatang. Awalnya diserbu buruh tambang asal Tiongkok, kota ini kemudian dibanjiri kaum profesional dan pekerja dari banyak negara. Riwayat itulah yang membuat profil demografisnya sangat majemuk. Dari sekitar lima juta jiwa warganya kini, lebih dari sepertiganya lahir di luar Australia. Bahasa yang paling jamak digunakan selain Inggris adalah Yunani. Membuka buku telepon, nama awal Nguyen merupakan yang terbanyak kedua setelah Smith. Suatu hari, saya makan siang di restoran milik Bapak Nguyen yang berlokasi di Jalan Smith.
Selama di Melbourne, saya menginap di sebuah apartemen di Fitzroy, daerah artistik yang dikenal sebagai kantong seniman. Banyak dinding dan gang di sini dilapisi mural. Pemilik apartemen saya, Cass, adalah seorang perancang busana asal Paris. Seperti Kumar, dia datang demi memperbaiki nasib. “Hidup di Melbourne jauh lebih nyaman,” jelas Cass yang mengaku hengkang dari Paris karena tak tahan dengan kepadatannya. “Sekarang saya bisa berangkat kerja naik sepeda, karena jalan-jalan di sini ramah bagi manusia.”
Semua keunggulan Melbourne itu tidak diciptakan dalam semalam, tentu saja. Sebagaimana kota besar lainnya, ia lahir dari jalan panjang yang penuh tikungan dan kubangan. Sejarah mencatat, pada 1970-an, kota ini jauh dari predikat layak huni. Ruang publik minim. Jalan-jalan macet. Mayoritas warganya berdomisili di daerah pinggiran dan singgah di pusat kota semata untuk bekerja. Oleh media-media lokal, Melbourne saat itu bahkan dianalogikan sebagai “donat”: kota yang padat di tepinya namun hampa di jantungnya.
Angin perubahan mulai berembus pada 1990-an. Menyewa Jan Gehl, pakar tata kota asal Denmark, Pemkot melakukan analisis komprehensif atas kondisi kotanya, kebiasaan warganya, segala tantangan dan potensinya. Data itu kemudian dipakai untuk merumuskan sebuah cetak biru perubahan kota yang dieksekusi bertahap mulai awal 2000-an.
Melalui megaproyek itulah Melbourne melahirkan banyak taman dan plaza, trotoar dan jalur sepeda, juga sentra seni dan budaya. Dampaknya mencengangkan. Grafik manusia yang memilih berjalan kaki ke kantor atau kampus meningkat 40 persen. Jumlah aula multifungsi, pub, dan bar melonjak, hingga menjadikan Melbourne kota dengan ruang konser terbanyak sejagat. Di sisi lain, kuantitas kafe meroket, dari dua buah pada 1983 menjadi sekitar ratusan. Operasi bedah wajah Pemkot moncer. Melbourne seperti terlahir kembali: dari kota donat menjadi kota hangout. Dunia mengenang metamorfosis urban itu dengan istilah “Melbourne Miracle.”
Melbourne, megapolitan seluas Banten, dibelah oleh Sungai Yarra. Belahan utara sungai dicitrakan asyik dan seru, sementara sisi selatannya dicap bonafide dan berkelas. Seluruh zona di lingkar dalam kota telah terkoneksi oleh trem, dan berkelana menaikinya adalah rutinitas harian saya selama di sini. Mayoritas trem berwujud modern seperti barisan kotak es, tapi suara roda dan loncengnya masih melantunkan nostalgia. Di jam-jam sibuk, interiornya sesak sekaligus semarak. Orang-orang berbicara dengan bahasa negaranya masing-masing, membuat saya merasa terdampar di ruang sidang PBB.
Berbeda dari Sydney, Melbourne lebih serius dalam melestarikan karisma lawasnya. Jukstaposisi antara lama dan baru adalah bagian integral dari karakter spasial kota ini. Selain trem, kota terbesar kedua di Australia ini setia merawat gedung-gedung tua berlanggam art deco dan Victorian. Sebagian terselip kikuk di antara kantor-kantor bertubuh kaca, dinaungi pencakar langit, kadang terkurung— secara harfiah—di dalam bangunan modern seperti yang terlihat di Stasiun Central.
Sayang, Melbourne kemudian mulai kewalahan menjaga pendulum keseimbangan antara pembangunan dan preservasi, antara merawat warisan zaman dan memacu roda zaman. Di banyak sudut kota, sejumlah struktur tua telah raib, digantikan oleh perkantoran atau apartemen. Tren itu mulai merisaukan. Melbourne tampak kian vertikal—fenomena yang lumrah di banyak kota, terutama ketika uang-uang panas asal Asia dan Timur Tengah agresif berkeliaran ke penjuru bumi untuk memborong apartemen, tapi bukan pemandangan sedap bagi mereka yang mengenang Melbourne sebagai kota guyub yang muda dan energik. Kota ini mulai menjadi korban dari kemajuannya sendiri.
Jumat pagi, saya mengunjungi Federation Square, episentrum kehidupan di jantung Melbourne. Kompleks tepi sungai ini dilengkapi atrium, gedung pameran, juga plaza. Semuanya dikerek dengan merujuk desain yang dipilih dari sebuah sayembara pada 1997. Saat saya datang, sebuah festival bertema Buddha sedang digelar di plaza Federation Square. Terpisah lima menit berjalan kaki, Galeri Nasional Victoria menanggap ekshibisi lukisan Van Gogh. “Selalu ada saja yang bisa ditonton di Melbourne,” ujar Vito Mursa, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di RMIT University. “Selalu ada acara seru tiap akhir pekan.”