Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Proyek Menyelamatkan Raksasa Lautan

Seorang staf operator selam Tusa 6 sedang memeriksa kondisi arus air di Hamilton Reef, Great Barrier Reef (GBR), kawasan yang didera problem coral bleaching kronis.

Teks & foto oleh Giacomo D’Orlando

Lebih dari 300 juta jiwa bergantung pada ekosistem yang ditopang oleh terumbu karang, baik sebagai mata pencaharian maupun sumber pangan. Dalam konteks yang lebih luas, hidup sekitar tujuh miliar penduduk bumi dipengaruhi oleh cuaca dan siklus musim yang turut ditentukan oleh kadar kesehatan laut. Laut, yang mewakili lebih dari 70 persen permukaan planet ini, punya peran vital dalam beragam aspek kehidupan.

Great Barrier Reef (GBR) adalah miniatur dari gentingnya hubungan manusia dan alam itu. Kompleks bahari ini membentang lebih dari 2.000 kilometer di lepas pantai timur laut Australia. Di area yang luasnya setara 10 kali Jawa Tengah ini terdapat lebih dari 400 jenis koral dan sekitar 600 pulau. Di rahim lautnya berkeliaran lebih dari 1.500 spesies ikan, 4.000 jenis moluska, ditambah spesies cacing, krustase, dan ekinodermata yang hingga kini belum tuntas terhitung jumlahnya.

Setidaknya hingga saat ini, GBR merupakan kompleks terumbu karang terbesar sejagat. Ukurannya begitu kolosal hingga GBR dijuluki satu-satunya makhluk hidup di muka bumi yang terlihat dari luar angkasa. Ia tercantum sebagai satu dari tujuh keajaiban alam dunia, juga terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1981.

Douglas Baird, Environment Manager Quicksilver Group, bemitra dengan sejumlah peneliti dalam eksperimen menumbuhkan karang di GBR.

Kendati begitu, makhluk raksasa ini tidaklah perkasa. GBR rapuh dan rentan. Terumbu karang di sini terus mengalami degradasi akibat berbagai tekanan eksternal, termasuk perubahan iklim dan polusi. Manusia punya andil dalam setiap masalah yang menimpanya.

Pemanasan global telah memicu perubahan iklim yang berdampak pada ekosistem laut. Salah satu ekses utamanya ialah coral bleaching (pemutihan karang), sebuah fenomena yang dalam banyak kasus berujung pada kematian karang. Untuk lebih memahaminya, kita mesti sejenak mengulas komposisi fisik karang.

Karang dibentuk dari simbiosis mutualisme antara rangka hidup dan alga. Rangka karang, yang menjalankan fungsi pelindung dan pendukung, dirangkai dari endapan kalsium karbonat yang dikeluarkan oleh koloni polip kecil. Rangka ini perlu tumbuh lebih cepat dibandingkan daya kikis air laut, dan solusi yang diambilnya ialah bermitra dengan alga. Karang menyantap alga, tapi tidak mencernanya, melainkan membiarkannya merasuki jaringan tubuhnya guna mengembangkan kongsi yang saling menguntungkan.

Tur menggunakan perahu berlambung kaca di Agincourt Reef.

Layaknya tanaman, alga membutuhkan sinar matahari untuk keperluan fotosintesis. Proses ini menghasilkan senyawa gula, yang kemudian dimanfaatkan karang sebagai sumber energinya. Di sisi lain, fotosintesis ini juga menghasilkan residu berupa limbah beracun yang berbahaya. Secara umum, karang mampu membuang limbah itu. Problemnya kemudian, kenaikan suhu membuat alga bermetabolisme terlalu cepat, sampai-sampai karang tak punya cukup waktu untuk membuang racunnya. Untuk mengatasinya, satu-satunya jalan keluar bagi karang ialah buru-buru mengusir alga dari tubuhnya. Tapi solusi darurat ini ternyata juga punya efek samping: karang kehilangan warnanya, pelan-pelan memutih, dan mengalami apa yang disebut pemutihan. Usai fase sekarat ini, karang hanya sanggup bertahan hidup antara satu minggu hingga dua bulan, tergantung pada spesiesnya dan cadangan nutrisinya. Jika gagal menemukan alga baru untuk menopangnya, karang pun mati. Di alam, ketidakseimbangan lingkungan selalu menciptakan ketidakseimbangan baru.

Setidaknya tercatat ada tiga peristiwa besar pemutihan karang massal di GBR: 1998, 2002, dan 2016. Pada 1998, pemutihan terkonsentrasi di pesisir, dengan kondisi terparah terlihat di wilayah tengah dan selatan GBR. Pada 2002, pemutihan meluas hingga wilayah tengah yang selamat dari bencana 1998. Pada 2016, pemutihan jauh lebih masif dan kronis, terutama di wilayah utara. Secara kumulatif, gabungan jejak dari ketiga peristiwa pemutihan itu mencakup hampir seantero kawasan GBR.

Tapi pemanasan global bukanlah satusatunya ancaman bagi terumbu karang. Merujuk penelitian sejumlah lembaga yang bekerja melindungi terumbu karang, contohnya AIMS (Australian Institute of Marine Science), JCU (James Cook University), dan ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies, GBR tercatat telah kehilangan separuh dari bentangan karangnya sejak 1985 akibat varian sebab.

Kiri-kanan: Seorang peneliti mengecek dampak sedimen pada karang di ruangan Sea Simulator yang dilengkapi 840 LED dengan 22 warna; karang yang sedang sekarat di GBR.

Selain pemanasan global, kesehatan karang dipengaruhi oleh tingkat keasaman air laut. Laut telah menyerap hampir sepertiga karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer oleh aktivitas manusia. Saat larut dalam air, karbon dioksida membentuk asam karbonat, menurunkan pH air dan mengurangi ketersediaan kalsium karbonat yang dibutuhkan karang untuk membentuk rangka mereka.

Kualitas air sangat vital bagi karang. Sayangnya, sedimen berlebih akibat pencemaran telah meningkatkan kadar kekeruhan air, menyebabkan penurunan intensitas cahaya, serta melahirkan banyak masalah dalam proses fotosintesis organisme, termasuk karang.

Di sisi lain, rendahnya kualitas air juga mengganggu ekosistem dalam menjaga keseimbangan populasi makhluk penghuninya. Seperti di darat, predator berlebih (juga mangsa berlebih) berpotensi merusak alam. Di GBR, masalah pelik itu dihadirkan oleh bintang laut mahkota duri (crown of thorns). Dalam beberapa tahun terakhir, populasinya membesar dan menjadi wabah di dasar laut. Mereka memakan karang dan memusnahkan seluruh koral keras yang berada di jalur mereka.

Tanpa sumber-sumber ancaman eksternal, tutupan terumbu karang dapat pulih rata-rata tiga persen per tahun. Tantangan besar saat ini ialah merumuskan solusi agar karang bisa tumbuh di tengah pemanasan global. Manusia, yang awalnya pangkal masalah, kini dituntut untuk menjadi sumber solusi, demi menyelamatkan alam, juga nyawa mereka sendiri.

Laporan dari ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies yang memperlihatkan bagian GBR yang mengalami pemutihan karang.

Di tengah pergeseran pesat fungsi lingkungan, perubahan sosial, serta pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan riset mutakhir perihal perubahan iklim menjadi kian mendesak. Guna melawan dampak perubahan iklim terhadap GBR, berbagai lembaga melakukan penelitian dan eksperimen demi menemukan solusi untuk melindungi terumbu karang.

Salah satu penasihat ilmiah yang paling tepercaya di Australia adalah AIMS. Sejak 1972, lembaga ini telah menyelidiki ekosistem laut di bagian utara Australia dengan tujuan mendukung perlindungan dan pemanfaatan sumber daya laut, serta mengumpulkan data jangka panjang untuk menyokong aktivitas industri, pemerintah, serta peneliti.

Amunisi andalan AIMS bernama National Sea Simulator, sebuah laboratorium gigantik di mana para ilmuwan meneliti terumbu karang. Fasilitas yang diresmikan pada Agustus 2013 ini memungkinkan peneliti membayangkan kondisi laut di masa depan ketika suhu dan kadar keasaman meroket ekstrem. Tak kalah canggih, Sea Simulator mampu memberikan kontrol yang presisi atas variabel-variabel lingkungan, termasuk kualitas air.

Kiri-kanan: Seorang peneliti laut memperlihatkan ranting-ranting karang yang sudah mati di perairan Whitsunday Islands; panorama udara Hewitt Reef yang terhampar di sisi tengah GBR.

Dalam beberapa tahun terakhir, AIMS telah bekerja sama dengan peneliti JCU dan ARC dalam pengembangan karang hibrida yang resistan terhadap problem pemutihan. Dinamai “super-coral,” produk rekayasa ini diklaim sanggup bertahap di tengah kenaikan suhu air laut. Terobosan ini tentu saja membangkitkan harapan akan pemulihan karang, walau pekerjaan rumah masihlah menumpuk untuk menjaga laut tetap sehat.

Lembaga lain yang terlibat dalam proyek super-coral ialah Great Barrier Reef Legacy. LSM ini mendanai dan menggelar pelayaran, serta bergerilya menjaring donasi untuk kemudian diberikan kepada para ilmuwan dan inovator. Melalui kolaborasi dengan AIMS, mereka hingga kini telah mengumpulkan 12 koloni karang hidup yang berhasil selamat dari peristiwa pemutihan terakhir. Karang penyintas ini diboyong ke Sea Simulator untuk dikaji sebagai rujukan dalam penciptaan karang hibrida artifisial yang lebih tangguh.

Menurut laporan Deloitte Access Economics, GBR memiliki nilai ekonomi dan sosial sebesar $56 miliar (setara Rp750 triliun). Kawasan ini juga menyediakan 64.000 pekerjaan (mayoritas terkait pariwisata) dan menyumbang $6,4 miliar bagi perekonomian Australia dari 2015-2016. Jutaan turis melawat tempat ini saban tahunnya, menjadikan pariwisata sebagai sektor bisnis terbesar di sepanjang garis pantai GBR. Banyak kota dan nyawa menyandarkan hidup mereka pada ikan dan karang GBR.

Kiri-kanan: Peneliti laut Hayley Brien sedang memantau kondisi karang keras berusia sekitar seabad di kawasan tengah GBR; peneliti laut Paul O’Dowd telah bekerja di GBR selama satu dekade.

Menyadari pentingnya GBR untuk perekonomian nasional Australia, bahkan operatoroperator tur pun turut menggelar eksperimen demi menyelamatkan karang dari pemutihan. Quicksilver Group, operator yang menawarkan paket menyelam dan snorkeling di sekitar Port Douglas, mengambil terobosan yang cukup cerdik dalam restorasi karang, yakni dengan memasang semacam rangka bawah air yang terhubung ke instalasi pembangkit listrik. Setidaknya kini sudah terpasang tiga panel rangka baja berukuran 1,5 x 3 meter di area yang berisi reruntuhan karang. Di tahap awal, harapannya, tubuh karang yang rapuh akan kembali stabil. Setelahnya, benih-benih karang akan tumbuh.

Mengamankan keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang mensyaratkan kerangka kerja, tata kelola, dan pendekatan baru dalam manajemen ekosistem laut. Tak cuma mengatasi emisi gas rumah kaca, agenda menyelamatkan karang juga membutuhkan pemahaman yang lebih jelas tentang berbagai sebab dan akibat dari masalahnya.

Satu yang penting dicatat, semua intervensi dan inisiatif yang diambil oleh lembaga lokal dan internasional barangkali tak memadai untuk mengamankan masa depan seluruh karang, termasuk di GBR. Ancaman kepunahan karang sudah mencapai stadium tinggi, dan karena itu aksi segera dan nyata dibutuhkan untuk mengatasinya.

Berkat globalisasi, terumbu karang memang kian mudah diakses. Hal ini telah memicu eksploitasi, walau di saat yang sama juga menyediakan peluang bagi lahirnya solusi kolaboratif yang melibatkan banyak lembaga internasional. Semua pihak mesti memasang asa untuk kelangsungan terumbu karang. Proyeksi bencana di masa depan harus diimbangi dengan harapan positif agar tidak memicu keputusasaan. Tak kalah penting, publik harus sadar akan peran dan tanggung jawab mereka sebagai makhluk yang bergantung pada laut.

PANDUAN
Rute
Great Barrier Reef (GBR) terletak di lepas pantai negara bagian Queensland. Gerbang udara utama kawasan ini ialah Cairns Airport, Whitsunday Coast Airport, dan Hamilton Island Airport. Kota-kota utama di pesisir Queensland juga telah terkoneksi dengan kereta dari Brisbane.

Informasi
Beragam informasi terkait pariwisata di GBR, termasuk akomodasi dan paket tur, bisa ditemukan di situs Tourism Australia atau Tourism Queensland. Untuk memahami arti penting GBR bagi bumi dan inisiatif konservasi di kawasan ini, kunjungi situs Great Barrier Reef Marine Park, Great Barrier Reef Foundation, serta Great Barrier Reef Legacy.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Oktober/Desember 2019 (“Menolong Raksasa”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5