Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berburu Wine di Tiongkok

Lembah Sungai Mekong diapit dusun Cizhong dan Deqin.

Teks dan foto oleh Leisa Tyler

Seiring datangnya musim gugur, lereng Lembah Tacheng mulai memancarkan corak barunya: kombinasi warna kunyit, bunga matahari, dan merah. Cukup membaca tanda-tanda alam tersebut, Xiao Yu Ying tahu waktu panen bakal segera tiba. Wanita yang gemar tertawa ini menghampiri kebunnya, lalu memetik buah-buah jambon. Rasanya manis dengan sentuhan pahit yang khas.

Xiao Yu sejatinya masih amatir di bisnis anggur. Sebelumnya, dia menanam jagung dan gandum di lahan seluas empat mu (sekitar sepertiga hektare). Hasil panennya cukup untuk memasok perut famili dan ternaknya, sekaligus menambal kas keluarga dengan berdagang di pasar.

Garis hidupnya berubah setelah pemerintah daerah setempat melayangkan proposal yang terlalu menarik untuk ditampik: bisnis anggur. Anggur menjanjikan pendapatan empat kali lebih banyak dibandingkan jagung dan gandum. Pembelinya pun jelas: perusahaan ice wine di sisi utara lembah. Bahkan di periode suram sekalipun, seperti yang terjadi pada 2013 ketika hujan lebat musim panas memicu wabah jamur, pendapatan para petani tetap dua kali lipat—dengan keringat yang lebih sedikit.

Xiao mengaku tak tahu kenapa dunia kini sibuk membicarakan bisnis yang sedang ditekuninya. Dia kembali mengunyah anggur, lalu berlalu seraya tertawa dengan tubuh terguncang-guncang.

Lembah Tacheng bersemayam di Prefektur Otonom Tibetan Diqing, kawasan di sisi barat laut Provinsi Yunnan yang mencakup hulu Sungai Mekong dan Sungai Yangtze. Memiliki tanah yang kurang subur, musim panas yang panjang, dan air segar yang melimpah dari Dataran Tinggi Tibet, Diqing kerap dijuluki “Bordeaux versi Asia,” walau dengan satu perbedaan mencolok: kebun anggur di sini bertengger di lahan yang sangat tinggi, kadang menembus 2.000 meter.

Di kawasan terpencil inilah bisnis anggur merekah. Awalnya fokus pada tanaman tradisional semacam gandum, jagung, dan barley, para petani lokal berpaling pada buah-buah sintal seukuran kacang polong. Mereka menanamnya di banyak tempat, mulai dari lahan terasering, lereng di sisi bawah Gletser Mingyong, hingga Hutan Tacheng.

Lanskap industri mendukung transisi tersebut. Pada awal 2000-an, industri wine hanya didominasi oleh dua pembuat ice wine lokal—Shangri-La dan Sunspirit—yang menghasilkan produk kelas medioker untuk pasar domestik. Tapi kemudian datang raksasa Prancis Moët Hennessy dan Cape Mentelle dari Australia. Kebun milik keduanya membentang lebih dari 30 hektare dan menumbuhkan cabernet sauvignon, merlot, juga cabernet franc. Kehadiran korporasi-korporasi kakap itu berjasa melambungkan Diqing dalam peta wine dunia.

Tapi tak semua orang merasa optimistis. “Anggur adalah tanaman komersial bernilai tinggi, tapi bisnis wine sangat berisiko,” ujar Brendan Galipeau, seorang akademisi yang bermarkas di Kunming, sekaligus pakar dalam bisnis anggur di kawasan ini. “Para petani memang meraup lebih banyak uang,” katanya lagi. “Celakanya, kecuali Moët Hennessy, hanya segelintir perusahaan yang benar-benar memahami siklus anggur. Saban tahun, para pengepul terlambat datang, hingga buah-buah mengering dan warga kerap gagal menikmati jerih payah mereka.”

Brendan Galipeau melihat bahaya besar di balik kondisi tersebut: keamanan pangan. “Anda bisa makan jagung dan gandum. Ternak juga bisa. Tapi Anda tidak bisa hidup semata mengandalkan anggur.”

Kiri-kanan: Wine lokal produksi keluarga Liu dengan cita rasa distingtif; Interior gereja peninggalan misionaris Prancis.

Untungnya, masa depan Diqing tak sepenuhnya suram. Tahun ini, kebun anggur milik Moët Hennessy di Desa Adong berencana meluncurkan campuran “rasa Bordeaux” dan pusat informasi baru bagi pengunjung. Enotourism perlahan menampilkan prospek yang cerah di tanah pelosok ini. Dan andaikan masa depan wine kurang menjanjikan, masa lalunya selalu menarik dikaji.

Kontras dari dugaan publik, wine punya sejarah yang panjang di Diqing. Pada 1910, misionaris Jesuit Prancis mengerek sebuah gereja batu dan membuka kebun-kebun anggur di Dusun Cizhong, sisi utara Tacheng. Kaum misionaris menanam rose honey, varietas anggur yang dibawa dari Prancis pada pertengahan 1800-an sebagai bahan wine altar, tapi kini telah punah di Eropa. Anggur ini tumbuh di Cizhong di mana dinding ngarai yang menjulang lebih dari 1.000 meter melindunginya dari angin Dataran Tinggi Tibet.

Di masa lalu, metode produksi wine masih sederhana. Anggur dipanen tiap September saat terik matahari melembut, lalu diperas memakai tangan sebelum kemudian difermentasi di bejana tanah liat.

Kaum misionaris minggat dari tanah ini pada 1949 menjelang Revolusi Komunis, tapi warisan mereka terus bertahan. Desa-desa di Cizhong masih memetik anggur dari lahan yang sama dan memproduksi wine memakai metode yang sama pula. Hasilnya adalah “wine kampung” yang autentik, walau bukan berarti sedap. Saat makan malam di Songtsam Cizhong Lodge, saya mencicipinya. Rasanya asam dan tajam, disusul rasa khas keju yak.