web analytics
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bagaimana Koki Generasi Baru Mengubah Lanskap Kuliner Singapura

Oyster blade steak dengan saus berbahan kaldu tiram dan rumput laut, ditemani sayur dan kakap merah di restoran 1-V:U.

Oleh Yuen Lin
Foto oleh Amrita Chandradas

Memasuki rumah Annette Tan, foto seorang wanita tua bersama seekor anjing dipajang agak tersembunyi di meja ruang tamu. Pengunjung mungkin tak akan menyadarinya. Lagi pula, di sini ada banyak hal lain yang lebih menyita perhatian: aktivitas di dapur berkonsep terbuka, aroma masakan yang menggoda, serta hidangan aneka warna yang tampak janggal sekaligus akrab. 

Di antara sajiannya, ada sepiring nasi biryani. Rasanya orisinal, tapi bahannya eksperimental. Lauknya bukan potongan daging ayam, domba, atau ikan bumbu masala, melainkan irisan perut babi yang diselimuti saus keluak yang pekat. Konsep yang juga ganjil terlihat pada mee Siam. Bihunnya tidak disajikan dalam kondisi becek dengan kuah kental, melainkan dijalin menjadi penekuk goreng yang renyah.

“Ide mengubah mi jadi penekuk dipetik dari pengalaman makan di zichar [semacam warteg masakan Cina] seperti JB Ah Meng, tapi resep bumbunya berasal dari almarhum ibu saya,” ungkap Annette. “Khusus rempah dalam sambal udang dan telur puyuh di atas mi, resepnya dari ibu dan bibi saya.”

Kiri-kanan: Peralatan dapur FatFuku, restoran berkonsep private dining di kawasan Bedok; Annette Tan, koki dan pemilik FatFuku.

Annette menyajikan beragam masakan unik itu di rumahnya di kawasan Bedok. Sejak 2017, tempat ini difungsikan restoran berkonsep private dining dengan merek FatFuku. Penggemarnya cukup banyak, mayoritas datang lantaran penasaran dengan konsep masakannya yang menerobos pakem. 

Annette, koki autodidak sekaligus penulis kuliner senior, memetik banyak pengetahuannya dari perjumpaan dengan koki-koki top dunia. Akan tetapi, ilham utamanya dalam memasak ialah mendiang ibunya, sosok yang berperan besar dalam membangun memori kuliner Tan sejak kecil. Foto almarhum masih terpajang di rumahnya, seperti yang sudah disinggung di awal tulisan.

Baca Juga: Membongkar Rahasia Dapur Masakan Padang

“Ibu saya adalah tipikal wanita Peranakan yang setiap harinya memasak setidaknya tiga hidangan untuk setiap sesi santap,” tambah Annette. “Masakannya, bersama dengan pengalaman naik skuter ayah ke kedai favorit—seperti kedai Lor 9 Beef Kway Teow—membentuk kenangan paling awal saya seputar makanan. Orang tua saya adalah pencinta kuliner, dan rasanya itu menular ke saya.”

Mee Siam dengan udang dan telur puyuh—menu yang terinspirasi masa kecil Annette Tan.

Memori adalah bagian integral dari setiap koki. Inilah yang membentuk bank rasa di benak mereka. Dikaitkan dengan tempat hidup, memori ini juga memungkinkan sang koki menemukan semacam “benang merah” dengan pasar di sekitarnya, sebagaimana musik menyatukan orang-orang dari komunitas yang sama.

Bertolak dari memorinya pula, Annette meramu serangkaian kuliner inovatif Singapura, di luar kreasi ikonis hawker seperti chicken rice and chilli crab. “Saya mengambil elemen dari makanan kesukaan saya untuk menghasilkan sesuatu yang sepenuhnya baru,” katanya lagi.

Annette menilai masakannya merefleksikan keterbukaan orang Singapura terhadap kemajemukan rasa dan inovasi kuliner. Di pujasera misalnya, warga lokal terbiasa berbagi makanan dari beragam kutub, termasuk rojak India, sate Melayu, serta mi tumis Cina. “Mayoritas dari kami sering bepergian dan terpapar dengan beragam jenis masakan,” tambahnya. “Ada semangat keterbukaan dalam cara kami menerima percampuran budaya dalam hidangan.” 

Interior Labyrinth, restoran dengan satu bintang Michelin di kompleks Esplanade.

Seperti Annette, Han Li Guang juga menggali inspirasi memasak dari laci masa kecilnya. Dia adalah koki sekaligus pemilik Labyrinth, restoran yang berlokasi di kompleks Esplanade. Pada 2017, tempat ini sukses menyabet satu bintang Michelin—prestasi yang berhasil dipertahankan hingga 2019.  

Labyrinth memiliki spesialisasi masakan Singapura modern. Membaca buku menunya, mayoritas hidangannya sudah familiar di telinga, contohnya chicken rice, ice kachang, serta chili crab. Akan tetapi, dalam hal cara memasak dan presentasi, kesan yang didapat akan sepenuhnya berbeda. Walau resepnya dicomot dari masa silam, hidangannya lahir dari proses yang melibatkan sains modern.

Baca Juga: 4 Warung Babi Guling Bali Pilihan Koki

Satu contohnya terlihat saat Han mencipta ulang chicken rice warisan neneknya. Dia memasak ayam dalam minyak lemak dengan suhu rendah di thermo circulator. Ini cara ampuh untuk menjaga rasa alami ayam, dibandingkan metode mengukus tradisional. “Kami mengaplikasikan teknologi modern bukan untuk kenyamanan, tetapi sebagai cara untuk meningkatkan bentuk hidangan tradisional,” katanya.

Kiri-kanan: Pemilik Labyrinth, Han Li Guang, mantan bankir yang banting setir ke dunia dapur; Poh piah dengan daun katuk, sirih, dan kentang di Labyrinth.

Han punya bekal pengalaman dalam menerapkan teknik memasak modern. Sebelum merintis Labyrinth, mantan bankir ini pernah mengabdi untuk Mirazur di Prancis, serta The Hand & Flowers di Inggris. Di sisi lain, dia juga mendalami sejarah kuliner dan metode memasak tradisional Singapura, dari membuat saus hingga cumi cincang. Kombinasi ilmu dari dua kutub itulah yang membuatnya luwes memberi tafsir segar pada resep kuno.

Akan tetapi, Han tidak berpretensi memfotokopi masa lalu dalam versi utuh. Baginya, pendekatan ini justru akan tersandung perbedaan memori banyak orang. “Anda tak bisa melawan nostalgia,” ujarnya. “Akan selalu ada tamu yang mengklaim nenek mereka bisa memasak dengan lebih baik.”

Dalam konteks itu pula, memvonis masakannya sebagai “asli” atau “autentik” tidak sepenuhnya tepat. Klaim-klaim semacam ini sulit dibuktikan dengan akurat. Apalagi, sumber inspirasi Han sejatinya tak berikblat pada resep tradisional murni. Neneknya pernah bekerja sebagai juru masak untuk sebuah keluarga Inggris pada 60-an. Dia mengadopsi teknik Barat saat membuat saus ayam yang dikentalkan dengan roux (kombinasi tepung dan lemak). Apa yang dilakukan Han sekarang adalah kelanjutan dari teknik eklektik neneknya.

Baca Juga: Kenapa Medan Dijuluki Poros Kopi Sumatera?

Jika ada satu hal yang membuat hidangan Han unik, jawabannya ialah bahannya. Identitas masakannya terpaut dengan tempat tinggalnya. Dia mengembangkan menu yang menonjolkan hasil bumi setempat. Menghindari bahan Eropa yang dianggap lebih superior, dapur Labyrinth mengolah tanaman budi daya lokal dan hasil tangkapan dari perairan sekitar. Walau menguras otak dan energi untuk mengolahnya, bahan-bahan ini mengandung cita rasa yang khas. 

Interior 1-V:U, restoran yang bertengger di atap The Outpost Hotel.

Annette dan Han adalah bagian dari koki generasi baru di Singapura. Spesies ini bermunculan di sejumlah lokasi. Kreasi mereka tak cuma menyimpan memori leluhur, tapi juga mencerminkan kehidupan kontemporer orang Singapura. Lewat dapur, mereka memperlihatkan wajah Singapura dulu dan kini, sebagai kota kosmopolitan yang ajek berubah.

Memang, setidaknya untuk saat ini, mereka masih kalah bonafide dari para koki haute cuisine puritan, juga kalah kondang dari selebriti dalam liga elite World’s 50 Best. Namun begitu, Annette dan kawan-kawannya tidaklah kalah laris. Bahkan tanpa label dan gelar, mereka sukses menjaring pengikut fanatik, yang rela mengantre meja hingga berbulan-bulan lamanya.   

Figur lain yang menonjol dalam grup koki generasi baru ini ialah Ace Tan, komandan restoran 1-V:U yang bertengger di atap The Outpost Hotel. Tempat yang senantiasa disejukkan angin ini menyajikan masakan Asia progresif memakai resep peninggalan nenek moyang, tapi dengan sentuhan inovatif.

Kiri-kanan: Koki 1-V:U, Ace Tan, mantan eksekutif biro periklanan; Masakan di 1-V:U memberi tafsir segar pada identitas kuliner Singapura.

“Saya tidak pernah menerjemahkan secara harfiah tradisi dan hidangan etnis kami,” kata Ace, mantan eksekutif biro periklanan yang pernah bekerja untuk restoran Flower Child di Seoul. “Dalam upaya menciptakan hidangan orisinal warisan leluhur, saya mendalami sejarah dan esensi budaya makanan yang berbeda-beda.”

Berpegang pada kredo itu, Ace meracik aneka saus tiram dan kecap yang dibuat dengan metode tradisional. Setelahnya, bahan pokok yang lumrah di dapur orang Singapura ini diaplikasikan dengan cara yang tidak wajar, misalnya dalam oyster blade steak. Tampilannya sangat bergaya Barat, tapi disajikan dengan saus berbahan kaldu tiram dan berbagai jenis rumput laut untuk menghasilkan esensi umami. Inovasi ini tidak berarti menghina resep leluhur. Ace hanya menyodorkan tafsir berbeda dalam cara memasaknya.

Kiri-kanan: Bubur chilli-crab dengan rasa umami dari kaldu kepiting rajungan, miso, serta rempah di Mustard Seed; Interior Mustard Seed.

Contoh lain lagi dari koki generasi baru Singapura ialah Gan Ming Kiat, alumni At-Sunrice GlobalChef Academy yang pernah mendalam masakan Peranakan di restoran Candlenut. Kini, dia mengasuh Mustard Seed, dapur pribadi yang diubah menjadi restoran.

Seperti tertulis dalam slogan resminya, tempat intim ini menyuguhkan menu-menu yang terinspirasi cita rasa khas Singapura. Salah satu kreasinya ialah bubur chilli-crab, semangkuk beras gurih Koshihikari dengan rasa umami dari kaldu kepiting rajungan, miso, serta rempah racikan sendiri. Bentuknya menyimpang dari konsep orisinal, tapi esensi rasanya dipertahankan, membuatnya tetap akrab di lidah orang Singapura.

Baca Juga: Beralih ke Healthy Food? Pahami 20 Istilahnya

Seperti rekan-rekan sealiran, Gan Ming mengolah resep lokal dengan sentuhan modern, tanpa mengklaim hidangannya sebagai autentik Singapura. “Saya tidak suka memakai istilah autentik,” katanya. “Cara memasak punya banyak varian, umpamanya dalam kasus poh piah [gulungan tepung beras segar berisi sayur rebus]. Anda mungkin akan menemukan cara yang berbeda-beda, contohnya di Penang, di mana poh piah disajikan dengan meneteskan kuah kental. Label autentik menciptakan batasan yang tidak perlu.”

Kiri-kanan: Koki Mustard Seed, Gan Ming Kiat, alumni At-Sunrice GlobalChef Academy yang pernah bekerja untuk restoran Candlenut; Eksterior Mustard Seed, restoran di daerah Brighton Crescent.

Dalam ikhtiarnya, koki-koki generasi baru mempertanyakan batasan definisi masakan Singapura. Haruskah makanan suatu negara terus terpatri pada hidangan yang sama di setiap era? Sejauh mana koki bisa memberi tafsir baru tanpa kehilangan esensi dari tiap hidangannya? 

Satu tempat yang berupaya mengeksplorasi lebih gamblang pertanyaan-pertanyaan itu barangkali Magic Square, pop up berdurasi setahun yang digagas pengusaha restoran Tan Ken Loon. Pergelaran eksperimental ini berfungsi sebagai inkubator bakat, sekaligus platform yang mendorong pengembangan tradisi kuliner Singapura.

Salah satu partisipan Magic Square ialah Lai Sook Yi. Dia terlibat dalam edisi kedua ajang ini. Lai Sook adalah alumni Culinary Institute of America yang pernah bekerja untuk restoran Bacchanalia dan Nouri. Dia pernah menciptakan yam gnocchi dengan buttermilk, minyak lokio, serta keripik ubi. Memadukan pengaruh tradisi India dan Cina, dia membentuk hidangan modern Singapura.

Kiri-kanan: Proses penataan hidangan di Magic Square, pop up berdurasi setahun; Lai Sook Yi, koki yang tampil dalam Magic Square jilid kedua.

Lai Sook mengaku lebih suka membuat hidangan dari nol ketimbang mengembangkannya dari hidangan klasik yang sudah terkenal. Tak asal memakai bahan stereotip “lokal” seperti gula aren atau keluak demi memperkuat citra “Singapura,” dia memilih mencari teknik baru untuk mengubah bahan-bahan lokal menjadi masakan kelas fine dining,

Masakan Lai Sook memang kemudian tampil ganjil, namun bukan berarti dibenci. Walau tidak ortodoks, hidangan-hidangannya membentuk tulang punggung dalam lanskap kuliner baru Singapura. “Saya tidak menentang rasa nostalgia, karena ada tamu yang menghargainya, dan memasak bertujuan membuat orang bahagia,” tegas Lai. “Namun, definisi masakan Singapura tidak, dan tidak boleh, terbatas pada masakan hawker.”

Memang, sebagai bagian dari budaya sebuah bangsa yang muda, masakan Singapura tidak ditentukan oleh serangkaian hidangan atau profil rasa yang baku, melainkan oleh orang-orangnya, termasuk memori dan persepsi mereka terhadap tradisi. “Saya pikir fondasi makanan Singapura, persepsi kita tentangnya, tidak akan hilang,” kata Lai Sook lagi. “Tapi siapa tahu? Suatu hari, gaya memasak eksperimental ini akan menjadi definisi baru masakan Singapura.”

Kreasi Magic Square yang terdiri dari kentang fermentasi dengan sabudana, sambal sago, dan keripik loomi, plus yam gnocchi dengan buttermilk, minyak lokio, serta keripik ubi.
Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5