Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Alasan Baru Berkunjung ke Macao

Rua da Felicidade, sentra wisata di bekas daerah red light district.

Oleh Karina Anandya
Foto oleh Fransisca Angela

Jejak peninggalan Portugis bertaburan di Asia, tapi Macao mungkin salah satu tempat terbaik untuk melihatnya. Wilayah otonomi khusus di pesisir selatan Tiongkok ini tekun merawat bangunan dan situs warisan masa lalunya. Ke mana pun kita melangkah, ada banyak petilasan yang memanggil sejarah dan membangkitkan nostalgia.

Di bawah gerimis, saya menyusuri Senado Square, jejak Portugis yang sangat tersohor di Macao. Alun-alun beralaskan mosaik ini ditaburi begitu banyak gedung historis, contohnya Leal Senado, Post Office, dan Holy House of Mercy. Yang terakhir ini bekas panti asuhan yang dialihfungsikan menjadi museum.

Senado Square, atau San Ma Lo menurut bahasa lokal, jugalah ruang publik kebanggaan warga Macao. Tempat ini senantiasa hidup; sebuah ruang komunal yang bernyawa. Di antara bangunan uzur, kita bisa menemukan antara lain kios suvenir, aneka jajanan, serta gerai kosmetik. Pentas musik kadang digelar di tengah alun-alun. Saat saya datang, langit-langit Senado dimeriahkan oleh lampion.

Senado Square, alun-alun beralaskan mosaik yang ditaburi begitu banyak gedung historis,

Meninggalkan gedung-gedung bernuansa neo-klasik di Senado, saya menyambangi St. Dominic’s Church yang menjulang anggun dengan tubuh bergaya barok. Rumah ibadah bertarikh 1587 ini menampung banyak artefak sakral. Satu fakta unik yang jarang diketahui, St. Dominic’s Church sebenarnya tak cuma punya tempat khusus dalam babad penyebaran agama Katolik, tapi juga sejarah media massa. Di sinilah surat kabar berbahasa Portugis pertama diterbitkan di Tiongkok.

Tak jauh dari St. Dominic’s Church, sebuah gereja lain memukau dengan caranya yang janggal: keindahan di balik kehancuran. Ruins of St. Paul’s, situs bertitimangsa 1640, telah menyabet status ikon di Macao. Tubuhnya memang tak lagi utuh, tapi karismanya terus terpancar. Bisa dibilang ini merupakan reruntuhan yang paling populer di Macao, barangkali juga yang paling laris difoto.

Rintik hujan tak menyurutkan minat ribuan orang memadati tangga di muka Ruins of St. Paul’s. Mereka sibuk berfoto di hadapan fasad yang seolah pernah disembur Drogon ini. “Belum ke Macao kalau belum foto di depan Saint Paul,” jelas Elmer, pria asal Filipina yang mengantar saya keliling kota.

Walau usianya melintasi abad, gedung-gedung tua di Macao terpelihara keasliannya. Merawat mereka memang tak hanya penting atas alasan pariwisata, tapi juga peradaban. Macao, kawasan seukuran Blitar, menyimpan catatan penting tentang riwayat hubungan antara Barat dan Timur, juga benih-benih awal globalisasi. Itu pula sebabnya pada 2005 UNESCO mendaulat Historic Centre of Macao sebagai Situs Warisan Dunia.

Kiri-kanan: Sajian di Long Wa Teahouse, kedai teh yang populer di kalangan warga lokal; gerbang Kuil A-Ma, rumah ibadah tua yang menyimpan kisah asal-muasal nama Macao.

Saya melawat Macao pada akhir Mei 2019. Ini bukan pertama kalinya saya datang. Tapi momen kunjungan ini terasa lebih spesial karena dunia sedang mengenang 500 tahun ekspedisi Ferdinand Magellan mengelilingi bumi. Magellan, pria asal Portugal, waktu itu memang tidak menjangkau Tiongkok, tapi dia berjasa membuka jalan bagi pelayaran-pelayaran berikutnya ke sini. 

Mengintip sejarah, hubungan Portugis dan Tiongkok dirintis pada awal abad ke-16. Selain menjalin kerja sama di bidang perdagangan dan diplomatik, kedua kerajaan itu berkolaborasi memberantas kaum perompak. Kemitraan mereka kian mapan setelah Dinasti Ming memberikan izin pendirian kantor dagang permanen Portugis pada 1557 di Macao. Sejak itu, Portugis menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kota bandar ini.

Selain dalam wujud bangunan, akulturasi Portugis-Tiongkok berlangsung intim dalam aspek bahasa. Macao masih melestarikan Macanese Portuguese, dialek Portugis versi lokal. Lahir dari proses persinggungan budaya selama empat abad, dialek ini sekarang dipakai oleh sekitar satu persen populasi Macao.

Kiri-kanan: Salah satu instalasi Renaissance di Macao Museum of Art; seorang turis menaiki tangga menuju Guia Chapel.

Jejak Portugis lainnya terpatri dalam tradisi dapur. Banyak makanan yang lazim tersaji di rumah-rumah warga di Portugal bisa ditemukan di sini. Fakta itu jugalah yang membuat pengalaman kuliner di Macao terasa eklektik. Dalam sehari, kita bisa menikmati masakan autentik dari dua kutub yang terpisah 10.000 kilometer. Anda bisa sarapan congee, makan siang beef minchi, menikmati afternoon tea ditemani pastel de nata, lalu menghangatkan tubuh dengan sup caldo verde di malam harinya.

Walau belum jadi favorit di kalangan turis Indonesia, wine Portugis juga cukup populer di Macao. Vino Veritas, salah satu distributor wine Portugis terbesar di Asia, telah bercokol di sini sejak 1997. Kata sang pendiri, Tomás Pimenta, perusahaannya tak hanya menjual wine asal Madeira dan Porto, tapi juga memberikan kelas pengetahuan soal wine.

Baca juga: 48 Jam di Makau; Pentas Futuristik di Macao

Kiri-kanan: Ruins of st. Paul’s, objek wisata sejarah yang paling tersohor di Macao; salah satu seni mural yang ada di sudut Macao.

Jika ada bukti lain yang menjelaskan betapa tak terpisahkannya Portugis dari Macao, jawabannya ialah kata Macao itu sendiri. Salah satu sumber mengklaim kata “Macao” sebenarnya berasal dari “kekeliruan” pelafalan orang Portugis. Saya mendapati hikayat unik itu saat bertamu ke Kuil A-Ma. Alkisah, saat kali pertama datang ke area di dekat kuil ini, orang Portugis bertanya tentang nama lokasi yang mereka datangi. Mengira mereka bertanya tentang nama kuil, warga pun menjawab Maa-gok, pelafalan A-Ma dalam bahasa Kanton. “Orang Portugis tidak punya perbendaharaan kata ‘kok,’ sehingga mereka menyebutnya Macok, hingga akhirnya menjadi Macao hingga sekarang,” jelas pemandu saya.

Macao memang berbeda dari destinasi lain di mana warisan Portugis membeku jadi bangunan semata. Di sini, budaya Portugis terus hidup (dan dihidupkan) sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Berkat akulturasi yang harmonis antara kebudayaan Timur dan Barat itu, Macao menjadi salah satu destinasi wisata yang paling unik, juga paling laris, di dunia.

Mengutip data dari Macao Government Tourism Office, 35,8 juta turis berpelesir ke sini sepanjang 2018. Angka itu melonjak sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2018 pula, Macao bertengger di posisi kelima dalam daftar Top 100 City Destinations versi Euromonitor International, sebuah perusahaan riset yang berbasis di Inggris.

Khusus turis Indonesia, Macao diminati berkat kemudahannya untuk dikunjungi. Ada banyak operator tur dan biro perjalanan yang melayani trip ke sini. Bagi pengelana solo, penjelajahan ke Macao juga nyaman lantaran telah tersedia situs pariwisata berbahasa Indonesia.