by Yohanes Sandy 03 April, 2014
Tur Budaya Nan Menarik di Wina
Oleh Brian Johnston
Sorot mata takjub. Saya selalu melihatnya di wajah warga Wina usai saya mengaku pernah berkunjung ke kota ini empat hingga lima kali dalam beberapa tahun terakhir. Mereka mungkin berpikir saya pengidap sindrom Freudian, seorang maniak opera, atau pecandu museum yang kepincut kaum Secessionist (seniman yang menentang kemapanan dengan mendirikan aliran Secession).
Semua dugaan itu bisa dimengerti, sebab Wina memang membangun reputasinya dari musik klasik, galeri seni, dan teori-teori eksistensialisme. Namun trip saya ke sini juga berhasil menemukan dimensi lain yang turut membentuk identitas kota. Dimensi yang umumnya hanya dimasuki oleh warga lokal.
Bagi saya, sejujurnya, suguhan-suguhan kultural yang luhur itu kerap memicu sakit kepala. Untungnya, Wina menawarkan banyak alternatif yang lebih menyenangkan untuk menyerap peradabannya. Berikut salah satunya: Haus der Musik, tempat melihat warisan komponis-komponis berpengaruh sekaliber Mozart, Haydn, dan Beethoven.
Sebelum pulang, comot stik dirigen, lalu jadikan diri Anda pemimpin Vienna Philharmonic di depan layar interaktif. Di Kunsthistorisches Museum, saya menemukan Kunstkammer Wien, koleksi seni tak lazim yang dikumpulkan oleh Dinasti Habsburg selama ratusan tahun. Benda-benda eksentrik itu dilansir ke publik pada Februari silam. Menelusurinya membuat saya terbuai, apalagi ketika melihat goblet yang kerap muncul di serial Game of Thrones.
Tawaran yang juga atraktif datang dari Augarten Porcelain Manufactory: tur “di balik layar” yang memperlihatkan tradisi tiga abad pembuatan porselen di sebuah pabrik yang hingga kini masih melestarikannya. Dan Anda bukan cuma melihat, tapi merasakannya. Di Décor, restoran yang tersambung ke pabrik, saya menikmati daging sapi dan selada di atas barang pecah-belah buatan Augarten.