Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Foto-Foto Ajaib Tempat Ekstrem Dunia

Lanskap natural di kawasan dataran tinggi Bolivia Selatan yang memancarkan warna-warna dramatis dan evokatif laksana lukisan.

Teks & foto oleh Brendan Pattengale

Bolivia                          
Suatu hari di musim semi 2014, saya mengambil keputusan nekat: mengundurkan diri dari pekerjaan, lalu terbang ke Bolivia demi melacak danau hijau terang nan mistis bernama Laguna Verde. Saya memesan tiket jurusan Los Angeles-La Paz, serta tiket pulang dengan keberangkatan dari Cile tiga minggu berselang.

Mendarat di La Paz, saya meluncur ke selatan dengan menaiki bus dan menghabiskan beberapa malam di jalan. Petualangan ini membawa saya menjumpai lanskap vulkanis yang labil dan danau-danau sarat warna di dataran tinggi Bolivia Selatan.

Titik pertama ekspedisi saya ialah sebuah hamparan misterius yang membengkokkan realitas—Salar de Uyuni. Untuk menjangkaunya, saya merandai rute yang agaknya tidak tertera di peta, hingga menemukan sebuah jalur yang sepertinya pernah dilewati kendaraan.

Turun dari mobil, saya meneroka medan tandus. Di setiap sudut ada vulkan yang menjulang semampai penuh warna. Di atap mereka, awan-awan terang melayang rendah, datang dan minggat bersama angin, kerap terlelap di danau-danau kirana di dekat perbatasan Cile.

Kembali menyusuri jalan, tanpa disadari, saya menemukan Laguna Colorada, dan di sinilah bumi terasa berhenti berputar. Saya mendekatinya dari utara. Pada pandangan pertama, saya disergap warna merah benderang yang belum pernah saya lihat di alam.

Kiri-kanan: Bukit-bukit pasir di Valle de La Muerte, kawasan magis di Cile yang kerap dijuluki Lembah Mars; warna-warna penuh gelora di Laguna Colorada, danau air asin dangkal di dataran tinggi Bolivia Selatan.

Kian dekat ke danau, kian saya sadar betapa bumi tengah memperlihatkan wujud aslinya. Saya hanya perlu duduk diam dan menonton kagum. Yang menarik, sepanjang pengamatan itu, daya tangkap segenap indra saya seakan meningkat simultan. Sembari menyerap keindahan dalam versi murni, saya bisa merasakan kehadiran ribuan flamingo jauh di bawah kaki. Jantung saya berdegup kencang. Wajah ditampar angin. Telinga menyaring semua kebisingan di sekitar sampai-sampai saya seolah masuk kondisi trans—sesuatu yang tak pernah saya alami lagi hingga kini.

Di etape berikutnya, saya akhirnya berhasil menemukan Laguna Verde. Awalnya saya kecewa. Lanskapnya jauh berbeda dari bayangan saya. Tidak evokatif ataupun atraktif. Tapi kesan itu barangkali dipengaruhi oleh pengalaman yang kelewat memukau di Laguna Colorada sehari sebelumnya.

Hari berikutnya, saya meluncur ke San Pedro de Atacama di negara tetangga, Cile. Dimulai dari niat spontan, ekspedisi ini telah menghadiahkan saya memori berisi warna-warna sublim dari lukisan alam. Sejak itu, saya menamai proyek foto ini Color of Love.

Panorama gurun bercahaya di Death Valley, kawasan terik seluas 1,3 juta hektare di California. Rekor suhu terpanas di sini mencapai 56 derajat celsius.

California
Usai berpindah belahan dunia, wajar jika kita memiliki perspektif dan kesadaran baru tentang keindahan di sekitar rumah. Di California, saya menemukannya pada Danau Mono, Death Valley, dan Joshua Tree. Saya merangkum ketiganya di bawah label “pekarangan belakang.”

Semasa remaja, saya sudah berkali-kali melawat ketiga tempat itu dalam rangka liburan keluarga. Lazimnya, saban musim panas, kami berkelana dengan memanggul tas punggung dan menembus Eastern Sierra, California. Dari serangkaian trip itu, kami mengamati bentangan alam yang bertransformasi perlahan—panorama yang sempat begitu tersohor usai diabadikan oleh fotografer Ansel Adams.

Kami sudah berulang kali mengunjungi Death Valley. Biasanya kami datang untuk mengamati angkasa selama hujan meteor Perseid. Sementara di Taman Nasional Joshua Tree, yang berada di dekat Los Angeles, saya dan keluarga galibnya berkemah dan merasakan waktu menyusut ke zaman prasejarah.

Proyek foto Color of Love di California digelar pada musim panas 2016 ketika saya dan seorang teman mendaki di bawah purnama menuju sebuah kawah purba yang menatap danau ajaib. Kawah Panum melingkar tinggi dan membentengi tepian barat daya Danau Mono. Dari sini, kami bisa menatap air danau yang berkilauan dari sudut yang jernih dan lapang.

Menelusuri jalan setapak yang disorot mentari sore, kami berhasil menggapai puncak utara kawah, persis ketika bulan terbit. Angin menderu. Kaki kami berderak menjejak bebatuan obsidian. Jalan terang bermandikan sinar rembulan.

Baca juga: Rimba yang Terluka; Kaleidoskop Kalimantan

Di New Mexico, negara bagian di barat daya Amerika Serikat, kaktus kering seolah berpendar riang dan terang di bawah malam benderang penuh bintang.

Pada musim gugur tahun yang sama, persisnya di November, saya mengunjungi Death Valley. Saya singgah di sini terakhir kali saat masih remaja. Kali ini, untuk proyek Color of Love, saya mengambil rute elok melalui Searles Valley, memasuki area konservasi ini dari arah selatan via jalur Panamint Springs. Tiba saat matahari senja merah menyala, saya langsung mendirikan tenda di Furnace Creek.

Beberapa daya tarik Death Valley ialah prosesi matahari terbit di Zabriskie Point, trekking melalui Artist’s Palette, serta perjalanan ke perbatasan utara taman nasional menuju Kawah Ubehebe. Tapi sebenarnya magnet artistik terkuat Death Valley adalah lanskapnya yang liar. Berkat kombinasi antara ketinggian lahan dan temperatur yang ekstrem, tempat ini memancarkan simfoni kromatis yang variatif, sangat pas untuk konsep visual saya.

Beberapa bulan kemudian, di Maret 2017, bunga-bunga liar merekah masif di gurun California. Merancang trip akhir pekan dengan buru-buru, saya berkelana di Joshua Tree, lalu bergeser 105 kilometer ke arah timur laut guna menjelajahi Kawah Amboy. Saya terbius oleh konstelasi bebatuan hitam yang membentuk sulur-sulur di lantai gurun. Panorama di sini amat janggal: jukstaposisi antara pasir putih gurun, bebatuan hitam, serta bunga liar keemasan. “Pekarangan belakang” yang ajaib.

Awan-awan emas berarak melewati sebuah vulkan yang menjulang agung di San Pedro de Atacama, Cile.

Cile
Saya menginjakkan kaki di Cile pertama kalinya pada 2012. Kala itu, saya menganggapnya sebagai perpaduan antara California dan Paris, kecuali dalam hal bahasa di mana semua orang sepertinya berbahasa Spanyol. Satu yang pasti, saya benar-benar terpikat oleh alam dan budaya Cile, karena itu bersumpah untuk kelak datang kembali.

Wilayah padang pasir di utara Cile senantiasa memantik rasa penasaran. Ada banyak kesamaannya dengan gurun California. Ekspedisi perdana saya ke Gurun Atacama di Cile berlangsung usai trip melintasi Bolivia Selatan pada Maret 2014. Waku itu, saya menyambangi cagar alam Valle de La Luna, tempat batu-batu cokelat kemerahan menyeruak dari bumi dan membentuk komposisi teatrikal yang janggal.

Selepas Bolivia, benak saya masih dihantui kekaguman akan danau-danau di dataran tinggi di sana, sampai-sampai saya gagal mencerna dengan ikhlas pesona sebenarnya kawasan Atacama. Melampaui dua pulau dalam sekali dayung mungkin bukan petuah yang melulu bijak. Bagaimanapun, Atacama menyadarkan saya pentingnya mencuci kenangan artistik di kepala sebelum membuka trip baru.

Hampir dua tahun berselang, dengan kepala yang lebih jernih, saya kembali ke Atacama. Petualangan ini bergulir di Desember 2016, saat musim panas mencapai puncaknya di Amerika Selatan. Saya terbang dari Los Angeles ke Santiago, selanjutnya berpindah ke Calama, sebuah kota kecil yang terpisah 100 kilometer dari San Pedro de Atacama.

Setibanya di Atacama, saya langsung tersadar betapa banyak daerah yang bisa dijelajahi. Di dekat saya ada Valle de la Muerte, Valle del Arcoiris, serta sejumlah gunung berapi dan danau di dataran tinggi di sisi timur—komposisi bentangan alam yang menakjubkan di perbatasan Bolivia, Cile, dan Argentina.

Suhu hangat memungkinkan saya mengamati formasi ganjil bebatuan, danau, vulkan, gundukan pasir, serta pegunungan kaya warna dalam berbagai kondisi cahaya. Sejenak melakoni retrospeksi, saya merasa telah sepenuhnya menyelami kemegahan, keunikan, juga keragaman kawasan legendaris Atacama. Saya pun pergi dengan rasa lega karena sudah menuntaskan misi artistik Color of Love di Cile.

Di lanskap lunar khas Islandia, sebuah sungai berkelok di dasar lembah dan berpendar layaknya neon.

Islandia
Saya mengarungi Islandia selama dua pekan pertama September 2015. Momen ini saya pilih dengan perhitungan matang demi mengalami kondisi cuaca yang berbeda-beda. Pada minggu pertama, saya menyaksikan gerimis yang mistis, senja yang berkilauan, aurora borealis yang magnetik, serta awan-awan tipis yang mencorat-coret langit. Pada minggu kedua, cuaca berbalik memburuk. Singkat kata, Islandia berubah dari magis menjadi suram dan kelam.

Suatu kali di pekan pertama, saya mengemudi hingga kelelahan, lalu menemukan bumi perkemahan di kota terdekat. Biasanya saya langsung mendaki, tapi kali ini lebih memilih beristirahat. Keesokan harinya, saya berkendara menyusuri jalan panoramik Route 1 yang tersohor, lalu menanjak ke Djúpivogur, 552 kilometer arah timur Reykjavik.

Singgah di SPBU, saya melihat-melihat kartu pos. “Di mana ini?” tanya saya kepada seorang karyawan pom bensin. “Ambil jalan ini, atau jalan itu, lalu biarkan diri tersasar,” jawabnya dengan menunjuk peta. Saya pun mengikuti sarannya: naik turun gunung, menyeberangi sungai dan jeram, kadang tersesat, semua demi memburu warna-warna jagat.

Jika dirangkum, petualangan jalanan saya di Islandia merupakan perpaduan seimbang antara dua hal yang kontradiktif: kekaguman akan kecantikan alam dan kecemasan akan ancaman dari lanskap setempat. Itu sebabnya saya selalu tergesa-gesa tatkala melintasi gletser atau membelah sungai yang mengalir deras.

Dinding dan padang gletser yang merekah di antara gunung di Islandia. Koeksistensi kontradiktif inilah yang membuat Islandia kerap dijuluki “Tanah Es dan Api.

Pada trip pekan kedua, saya menulis catatan tentang daerah-daerah yang ingin saya jelajahi lebih khusyuk dalam perjalanan kembali ke bandara. Seiring berlalunya hari, cuaca kian tak bersahabat, dan saya pun disuguhi pemandangan yang sama, tapi dalam suasana yang berbeda. Beberapa titik gagal diakses akibat jalan yang riskan. Sebagian sungai terlalu garang untuk diterjang. Banyak tempat terasa akrab, namun sosoknya jauh dari kata ramah.

Petualangan berakhir usai Land Cruiser 4×4 saya kandas di parit salju sedalam 1,2 meter. Berjalan mendaki, salju berjatuhan deras dan angin berkesiur kencang. Saya tengah berupaya menggapai atap Snæfellsjökull, sebuah stratovolkano yang ditindih gletser berusia 700.000 tahun. Dulu, tempat ini dipilih oleh Jules Verne sebagai latar novel Journey to the Center of the Earth. Di medan ekstrem ini jugalah ada saatsaat di mana saya membayangkan tanah akan terbuka dan menelan saya hidup-hidup.

Konstelasi Bima Sakti menyiramkan cahaya pada Taman Nasional Arches, kawasan yang dihuni banyak formasi unik “batu bolong.”

Southwest
Selama di Southwest, saya melakukan studi warna-warna natural yang membalut Arizona, New Mexico, dan Utah. Foto-foto kawasan ini dikompilasi dari serangkaian trip antara Agustus 2016 hingga Desember 2017.

Kisahnya dimulai pada Agustus 2016 ketika saya menghadiri reuni keluarga di Pagosa Springs, Colorado. Berkendara dari Los Angeles, saya transit di Grand Canyon dan Taman Nasional Arches. Dalam perjalanan mudik, saya mengambil jalur turis dan tertambat di tanah antah-berantah di Utah dan Arizona.

Saya tidak memiliki ingatan tentang Grand Canyon. Jika tidak salah, saya pernah datang ke sini saat masih kecil. Dan saya juga tidak pernah menjelajahi taman nasional mana pun di Utah. Bisa dibilang, trip proyek Color of Love di Southwest ini adalah pengalaman baru.

Suatu kali, saya bangun di pagi buta demi menonton fajar di atas Grand Canyon. Sore harinya, saya naik helikopter untuk melakukan tur udara. Saya terperanjat menyadari betapa luasnya kawasan ini, dan juga tidak menyangka tanahnya begitu subur dan penuh warna.

Hari berikutnya, saya memasuki Taman Nasional Arches. Enggan mengambil foto “batu bolong” yang menjadi ikon tempat ini, saya memilih sabar menanti matahari tenggelam, kemudian menyaksikan langit malam yang cerah. Melayangkan pandangan ke sekitar, dinding-dinding batu bundar menjulang agung dalam warna merah yang bergelora.

Bagian favorit dalam eksplorasi Southwest ialah New Mexico. Sebagai fotografer, saya memetik banyak inspirasi dari lukisan, khususnya karya Georgia O’Keeffe. Jika coba diingat-ingat, saya pertama kali mengunjungi Ghost Ranch, New Mexico, pada akhir 1990-an. Lalu, pada 2014, ketika mulai aktif memotret lanskap, saya datang untuk melakukan riset bebatuan merah di sekitar Ghost Ranch. Sejak itu, saya sudah berkali-kali melawatnya, dan dari pengalaman itu pula saya mendapati momen terbaik untuk meneliti warna adalah malam hari.

Tempat terakhir di Southwest yang saya dokumentasikan ialah White Sands. Saya acap bertandang ke New Mexico pada akhir 90-an untuk membesuk keluarga yang bermukim di Albuquerque. Anehnya, baru pada Desember 2017 saya menjelajahi White Sands. Menghabiskan beberapa siang dan malam, saya mengeksplorasi bukit-bukit pasir yang senantiasa berubah bentuk, menyaksikan lanskap di bawah cahaya benderang, juga menatap bulan yang bertengger syahdu di atas taman nasional.

Saya sengaja bertamu ke White Sands di momen purnama lantaran saya ingin mempelajari perbedaan warna antara siang hari dan malam hari ketika langit cerah. Selama proses itu pula, saya menangkap warna dalam spektrum yang lengkap berkat kehadiran bumi dalam versinya yang polos sekaligus dramatis.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/September 2019 (“Teater Warna”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5