by Karina Anandya 23 April, 2019
48 Jam di Bengkulu
Oleh Harry Siswoyo
Foto oleh Muhammad Ikhsan
SABTU
05:00 Pasar Panorama
Pasar tradisional ini beroperasi nyaris 24 jam saban harinya, tapi waktu tersibuknya bergulir sejak dini hari hingga pukul 09:00. Macet, becek, dan negosiasi riuh antara pedagang dan tauke adalah pemandangan unik di sini. Menyusuri Pasar Panorama (Jl. Semangka Raya, Singaran Pati), Anda akan menemukan sayur yang baru dipanen, ikan yang baru sejenak meninggalkan laut, hingga daging segar dan barang bekas. Di antara dagangan itu, nikmati keramaian yang seru, kacau balau yang mengesalkan, serta suara harapan dari para pedagang.
10:00 Masjid Jamik
Rumah ibadah ini beralamat di jantung kota, persis di tengah-tengah delta yang diapit dua jalan raya. Atapnya berbentuk limas kerucut tumpang tiga yang dilapisi seng merah dan ditopang oleh empat pilar bermotif flora. Masjid yang berdiri sejak abad ke-18 ini dulu bernama Surau Gedang. Usai direnovasi, namanya direvisi jadi Masjid Jamik (Jl. Letjen Suprapto, Tengah Padang) oleh Presiden Sukarno saat beliau diasingkan di Bengkulu.
12:00 Pendap Cik Timah
Lebih dari 20 tahun Cik Timah meracik pendap, penganan berisi ikan, kelapa muda parut, kunyit, cabai, dan rempah. Sekilas mirip pepes memang. Bedanya, pendap Bengkulu dibebat 30 helai daun keladi yang direbus selama delapan jam. Pendap Cik Timah (Jl. Enggano 25, Pasar Bengkulu) memproduksi hanya 150 pendap setiap sepekan sekali dan menjajakannya Rp15 ribu per porsi. Untuk mencicipinya, Anda kerap harus bersabar menunggu antrean. Jika rela sedikit “curang,” mampir saja ke rumah Cik Timah yang terkoneksi dengan kedainya. Pintunya selalu terbuka dengan segala keramahannya.
14:00 Fajri Craft
Dulu, berkat tubuhnya yang lentur dan teksturnya yang lembut, kulit kayu lantung lazim dipakai sebagai bahan pakaian. Kini, kulit kayu berwarna kecokelatan ini diracik menjadi beragam produk kriya, seperti yang terlihat di Fajri Craft (Jl. Soekarno-Hatta, Ratu Samban). Bengkel kreatif ini menjajakan antara lain tas, kotak tisu, pigura, hingga lembaran lantung untuk dimodifikasi dengan harga Rp35 ribu untuk ukuran 1 x 1 meter. Dagangan yang terakhir ini biasanya digemari orang Papua sebagai bahan pembuat noken.
16:00 Perajin Dol
Dol, alat musik pukul yang terbuat dari bonggol kelapa, rutin dimainkan dalam Festival Tabot atau pentas tarian tradisional. Beduk versi Bengkulu ini konon diciptakan oleh orang-orang Madras yang dibawa Inggris untuk membangun Benteng Marlborough. Tak mudah membuatnya, mungkin karena itu perajinnya hanya segelintir, salah satunya Aswin (Jl. KH Ahmad Dahlan 12, Teluk Segara). Selama belasan tahun berkarya, Aswin sudah memproduksi ribuan dol, beberapa tersimpan di luar negeri. Dol buatannya juga bisa dibeli sebagai suvenir di galerinya. Versi kecilnya, sekitar 250.000 per buah, dirangkai dari plastik yang dibalut kulit hewan.
18:00 Pondok Durian Bengkulu
Dalam peta produsen durian, Bengkulu punya tempat yang dihormati. Durian dari sini sukses menembus pasar yang luas. Tahun lalu, namanya kembali melambung usai sebuah pesawat ketahuan mengangkut dua ton durian Bengkulu ke Jakarta, hingga diprotes penumpang yang tak tahan dengan baunya. Di Pondok Durian Bengkulu (Jl. Meranti Raya 03 A-B, Ratu Agung), durian khas lokal dihidangkan dengan cara yang meriah dan menggiurkan: bersama es krim puter, ketan putih, potongan avokad, serta agar-agar merah. Pondok Durian melayani tamu dari pukul 10:00 hingga 20:00