by Cristian Rahadiansyah 13 October, 2017
Magnet Unik Yokohama: Wisata Pelabuhan
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Fransisca Angela
Menaiki lift yang melesat 750 meter per menit, saya menggapai lantai 69 Landmark Tower dan langsung disambut panorama impresif kawasan pelabuhan. Di depan mata menjulang Hotel InterContinental dengan postur yang menyerupai layar. Di sampingnya terdapat permainan lampu Cosmo Clock 21, mantan bianglala tertinggi sejagat. Terpisah beberapa ratus meter, samar-samar terlihat Bay Bridge, titian yang menandingi kemegahan Golden Gate.
Yokohama berjarak sekitar 20 kilometer di selatan Haneda. Awalnya, saya mengenalnya sebagai merek ban. (Asosiasi yang tidak sepenuhnya keliru, sebab Yokohama Rubber memang menempatkan pabrik pertamanya di sini.) Tak pernah terbayangkan betapa Yokohama sejatinya sebuah kota pelabuhan yang tak kalah menarik dari Rotterdam atau Hong Kong.
Menaiki sepeda sewaan yang banyak terparkir di area pelabuhan, saya meniti bantaran laut dan melewati bangunan-bangunan atraktif yang bertaburan di lahan reklamasi—sebuah kata yang sensitif di Jakarta tapi sesungguhnya telah lama menjadi modus pembangunan di kota-kota maritim dunia. Mula-mulanya saya mengunjungi terminal kapal pesiar Osanbashi yang dicetak menyerupai bahtera kayu. Selanjutnya, saya mampir di Marine & Walk, kompleks kongko yang populer di kalangan hipster. Meneruskan perjalanan ke sisi timur, Orbi Yokohama menyajikan aneka pertunjukan canggih yang mengombinasikan teknologi SEGA dan dokumentasi BBC Earth. Di sini, saya menonton film pendek 4D bertema gorila Afrika, lalu menciptakan swafoto ilusi dalam posisi sedang mengendarai komodo.
Di Yokohama, pelabuhan merupakan wadah yang mendedahkan wajah tercantik kota. Nyaris semua aset andalannya, mulai dari bangunan yang paling mentereng hingga kehidupan malam yang paling bernyawa, bersemayam di tepi laut. Tentu saja, yang lebih menarik dicerna dari Yokohama bukan cuma keindahan pelabuhannya, melainkan bagaimana semua itu terlahir.
Pembangunan di Yokohama dimulai di laut dan berorientasi ke laut. Inilah yang membuat sisi interior kota hambar, sementara area pesisirnya fotogenik. Kota di bibir Teluk Tokyo ini menulis bab pertama sejarah modernnya sebagai gerbang perdagangan laut. Melalui pelabuhannya yang diresmikan pada 1859, Jepang menjalin hubungan niaga dengan dunia Barat.
Kebijakan Tokugawa Shogunate itu tak cuma berdampak ekonomis. Lambat laun, Yokohama menikmati pula buah hasil pertukaran teknologi dan budaya. Es krim pertama di Jepang diciptakan di sini, begitu pula koran lokal berbahasa Inggris pertama. Saat banyak kota masih diterangi lentera, jalan-jalan di Yokohama sudah berpendar oleh bohlam bertenaga gas. Dan seiring hadirnya kantong ekspat, gaya busana Barat pun menular ke warga lokal.
Pada abad ke-19, Yokohama merupakan kota pertama di Jepang yang memiliki reputasi internasional. Tak heran novelis Jules Verne menyinggungnya dalam Around the World in Eighty Days, walau sejatinya dia tak pernah melawat ke sini. Berbeda dari Jules, dua tokoh yang pernah benar-benar singgah adalah Charlie Chaplin dan Babe Ruth. Kisah mereka saya baca di Port Museum, bangunan yang mengulas riwayat Yokohama sebagai kota bandar.
Kita tahu, Yokohama pernah hancur akibat gempa dan hujan bom di masa Perang Dunia II. Banyak gedung modern yang sekarang menghuni pelabuhan merupakan kreasi baru yang lahir dari mega proyek Minato Mirai 21. Pada 1983, Pemkot memutuskan mentransformasi kawasan pelabuhan. Terminal peti kemas digeser. Hotel dan perkantoran dikerek. Fasilitas publik dipugar. Hasilnya, kota ini tak cuma menampung pelabuhan raksasa yang melayani kapal kargo dan pesiar, tapi juga kawasan tepi laut yang memikat.
Di akhir trip, saya mengayuh sepeda menuju Red Brick Warehouse. Tempat ini awalnya berstatus kawasan pergudangan bea cukai. Pada 1989, seluruh gudang dipensiunkan, direnovasi, lalu dialihfungsikan menjadi sentra kuliner dan hajatan. Setahun sekali, Red Brick menggelar Oktoberfest, ajang yang tak cuma merayakan tradisi minum bir, tapi juga mengingatkan publik akan status Yokohama sebagai tanah kelahiran bir Jepang.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2017(“Pada Mulanya Bandar”).