by Yohanes Sandy 13 April, 2013
Bumi, Manusia, Sasak
Oleh Fatris M.F.
Foto oleh Muhammad Fadli
Tujuh puluh kilometer di timur Kota Mataram, segaris pantai membentang dalam warna jambon layaknya spanduk di Hari Valentine. Di dasar lautnya, karang beraneka warna tumbuh dan menyediakan rumah bagi banyak satwa. Jauh di interior pulau, Rinjani bagai perempuan yang menopang dagu dengan kabut tipis melingkari lehernya.
Masyarakat di sini menyebutnya Pantai Pink, meski sejatinya ia bernama Pantai Tangsi. Untuk menjangkaunya, saya menghabiskan dua jam berkendara menyusuri jalan kecil yang kedua sisinya kerap rusak. Jalan ke surga memang tidak mudah. Di bagian barat Lombok, jalan-jalan jauh lebih mulus. Kehadiran resor-resor premium dan limpahan turis di sana telah memaksa lahirnya infrastruktur yang mumpuni. Kondisinya sangat kontras dibandingkan kawasan timur yang hanya dilirik segelintir pelancong dan pengusaha.
Perahu kecil melintas ke arah ujung tanjung yang hijau untuk menurunkan penumpang, lalu berputar dan ditambatkan kembali di pasir Tangsi. Sebenarnya hanya sebagian partikel pasir di sini yang berwarna merah muda. Namun, saat mentari membuka matanya dan hendak tertidur, warna itu terlihat dominan membalut pantai.
Gerimis turun tergesa dan sore pun menjemput malam. Para pemburu karang menyembul dari laut. Para pengunjung pantai beranjak. Tangsi mulai sepi, dan memang selalu sepi, layaknya tempat-tempat eksotis lainnya di belahan selatan dan timur Lombok. Tapi kondisi ini mungkin akan berubah dalam beberapa tahun lagi. Sejumlah investor berencana menyulap kawasan selatan dan timur menjadi destinasi luks yang diisi kompleks resor, taman rekreasi, bahkan sirkuit Formula 1—agenda yang dicanangkan usai kehadiran bandara internasional baru di Lombok Tengah.
Saya datang sebelum semua proyek mercusuar tersebut direalisasikan; sebelum pantai-pantai ajaib semacam Tangsi dibanjiri turis dari penjuru bumi. Eksplorasi saya di hari-hari berikutnya menjelaskan mengapa beberapa tempat indah sebaiknya dibiarkan minim struktur beton.
Kerbau-kerbau memenuhi sabana, padang rumput hijau kekuningan yang terbentang luas sejauh mata memandang. Kerbau-kerbau adalah pusaka Suku Sasak yang diwariskan dari generasi ke generasi, sebagaimana tradisi penggembala yang bertahan berabad-abad lamanya di sini. Tiap senja, ribuan kerbau merumput di padang Kaliantan. Kerbau-kerbau dengan genta yang terbuat dari kayu dan selalu berbunyi ketika pemakainya bergerak. Bunyinya khas, menyerupai nada rendah angklung di Jawa sana.
“Nyale sebentar lagi akan muncul,” kata Mardian, seorang penggembala. Kepalanya dibalut kain tenun khas Lombok. Garis-garis warna pada motif kain merefleksikan kelembutan lanskap sabana. “Apa itu nyale?” tanya saya menyalip diskusi. Mardian terdiam, menghela napas, lalu tersenyum ringan. “Di balik ujung bukit kecil itu, ada satu rumah persis di kelokan. Jangan sungkan datang ke sana,” ia memaksa kami untuk berkunjung ke rumahnya.
“Kapan pastinya nyale akan muncul?” saya mendesak minta kepastian. “Jika perhitungannya lengkap, bulan dan bintang tak berseteru dalam kalender kami, nyale akan keluar,” kata lelaki paruh baya itu sembari menukikkan pandangan ke ujung tanjung, di mana ombak selatan menghantam bebatuan dan mengirimkan gemuruh ke udara.
Dalam mitologi Sasak, nyale merupakan jelmaan Putri Mandalika, wanita yang cantiknya bukan alang kepalang. Di ujung usia remajanya, demikian kata si empunya cerita, Putri Mandalika meminta dipersunting. Tak peduli siapa orangnya asalkan gagah dan perkasa. Sang ayah, Sekar Kuning, penguasa tanah Lombok, kemudian mengadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putrinya. Singkat cerita, panitia berhasil menjaring tiga lelaki yang memenuhi kriteria.
Dihadapkan opsi sulit, sang putri cantik ragu. Ia tak sanggup memilih. Di tengah kebingungan, Mandalika lenyap, atau mungkin melenyapkan diri, dengan meninggalkan sebuah janji yang telanjur diucapkan: “Saya akan menjumpai kalian di pantai ini, dalam wujud lain.”
Semusim setelah janji diikrarkan, pada cuaca yang ganjil, ketika bulan berpendar merah dan angin berkesiur tak tenang, Kaliantan dipenuhi cacing yang menyembul begitu saja dari bawah pasir. Cacing, yang dalam bahasa setempat disebut nyale, dipercaya warga sebagai inkarnasi sang putri. Barangkali untuk merayakan mitologi itu, kaum lelaki dan perempuan Sasak berkerumun di Kaliantan tiap tanggal 10 bulan 10 dalam kalender Sasak. Hari itu akan tiba tiga minggu lagi. Hari yang akan menagih janji sang putri.
Di hari mistis itu, masyarakat datang untuk berebut nyale yang berserakan di sepanjang Kaliantan. Mereka yakin, cacing-cacing itu dapat membawa berkah bagi yang memakannya. Pasangan-pasangan akan langgeng dalam kasih dan cinta. Rezeki bakal berlimpah dan nasib baik terus menyertai. “Kau akan melihat gadis-gadis Lombok yang jarang tersengat matahari keluar dari dusun-dusun,” tutur Mardian.
Awalnya putri ultracantik yang labil dalam menentukan sandaran hati, Mandalika berubah menjadi simbol harapan. Mitos kerap tak lahir begitu saja dari kehampaan, melainkan sengaja diciptakan sebagai solusi atas problem kehidupan. Tak ada catatan sejarah yang valid atas Mandalika. Tapi warga tidak membutuhkannya. Mereka memelihara sang putri dalam tradisi yang dihidupkan tiap satu hari per tahun. Lombok, pulau yang didominasi penganut Islam, memiliki dimensi spiritual yang tidak bersumber semata dari langit ataupun kitab suci.
Mardian menghalau kawanan kerbau yang hendak menuju pantai. Kerbau-kerbau itu bergerombol dengan lenguhan yang bersahut-sahutan. Saya meninggalkan mereka, lalu melintasi karang terjal yang menjorok ke laut bagai untaian renda selendang gadis-gadis Sasak. Bagian atas karang ditutupi rerumputan hijau bergelombang, di mana puluhan kerbau merumput di bawah komando penggembala jemawa yang bersenjatakan tongkat dan cemeti.
Jauh di bawah jurang terjal yang berlapis-lapis, ombak selatan yang ganas menampar karang tanpa ampun. Suara hantamannya saling bersahutan dengan cericip burung di dahan-dahan pohon. Berada di tanjung paling ujung di selatan Lombok Timur, berhadapan langsung dengan Samudra India, saya seakan masuk ke dalam bait-bait puisi Huesca yang ditulis John Cornford pada 1940-an, ketika perang saudara berkobar di Spanyol. “Di batu penghabisan ke Huesca, pagar terakhir dari kebanggaan kita, kenanglah sayang, kau kubayangkan di sisiku ada.” Setelah itu, ia gugur diterjang peluru.
Di tubir Tanjung Ringgit, meriam tua mengarahkan moncong besarnya ke laut lepas. Meriam itu dari zaman Kolonial, mungkin peninggalan Jepang, atau kompeni dagang Hindia Belanda. Sebuah meriam berkarat yang diwariskan masa lalu.
Meriam besar sisa Perang Dunia II itu dikelilingi bunker-bunker yang terkubur tanah. Drama penjajahan tidak kalah semarak dalam hikayat Lombok. Patih Gajah Mada dengan pasukan perangnya yang kolosal lebih dulu menginvasi pulau ini. Lalu berturut-turut datang armada laut Portugis yang memburu rempah, kompeni Belanda yang bercokol berabad-abad lamanya, hingga serdadu Nippon yang menganeksasi dan memorak-porandakan pulau ini semasa Perang Pasifik.
Saya terus menelusuri bagian ujung Tanjung Ringgit. Batu-batu apung memenuhi ujung tanjung yang runcing menjorok ke laut ini. Barangkali batu-batu tersebut dikirim dari letusan Gunung Tambora berabad-abad silam—letusan yang menyemburkan jutaan ton abu vulkanis ke angkasa hingga menutupi mentari. Abu itu tidak hanya menggelapkan langit Nusantara, tapi juga langit Eropa—periode yang disebut “masa ketiadaan matahari” oleh para sejarawan. Gunung Tambora, yang siang ini tampak samar, hanya dipisahkan oleh Selat Alas dari tempat saya duduk.
“Ctessz….” Cemeti dipecut ke udara guna mengusir kerbau dari rerumputan di pinggir tebing terjal. Seorang penggembala tua yang baru saja tiba mendekati saya, lalu bercerita tentang riwayat puaknya sebagai penggembala. “Saya, ayah saya, kakek saya, bapak kakek saya, semuanya penggembala,” katanya dengan setengah tersenyum.
Dari ujung tanjung, jalan setapak terbentang menuju sebuah gua. Di mulutnya, stalaktit menjumbai bagai dekorasi pada atap panggung teater. Inilah gua yang dalam mitologi Sasak telah mengubah hidup masyarakat di Lombok Timur. Di perutnya bersemayam tujuh raksasa bengis berwarna hitam, yang ditumbangkan oleh seorang lelaki penggembala setengah dewa—Dayan Medaran. Berkatnya, para penggembala tak perlu cemas kerbau-kerbau mereka akan dimangsa monster yang konon hampir tiap purnama menuntut tumbal.