Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bumi, Manusia, Sasak

Saya kini berada di atas perahu bercadik milik Kunduk, lalu bertolak dari Resor Bumbangku yang menghadap Teluk Bumbang, menuju Gerupuk. Di antara bukit-bukit karang, Gili Golo mengapung sendirian. Sosoknya seperti kumparan benang, sesuai dengan namanya, “golo”, yang berarti kumparan dalam bahasa Sasak.

“Di sini, saya seperti berada di kampung halaman,” kata Glen Moriarty, seorang pembawa acara program perjalanan di sebuah stasiun televisi Australia. Wanita yang berasal dari Negara Bagian Victoria itu satu perahu dengan saya. “Lihat batu-batu itu,” ujarnya seraya menunjuk ke karang terjal di lepas Pantai Gerupuk. “Bentuknya sangat mirip dengan Twelve Apostles. Hanya saja di sini jumlahnya lebih sedikit.”

Kiri-kanan: Ombak menjulang di Gerupuk, Lombok yang menjadi incaran para peselancar; seorang turis lokal di Pantai Tangsi atau yang lebih dikenal sebagai Pantai Pink.

Glen hanyalah satu dari banyak peselancar yang terpikat oleh gelombang-gelombang di Gerupuk. Ombaknya, yang terdiri dari beberapa kategori, sangat cocok untuk semua jenis peselancar, baik pemula maupun kawakan. Tapi yang lebih istimewa dari Gerupuk adalah, para peselancar tidak perlu berebut ombak. Semua mendapat giliran masing-masing. “Di sini tidak ada kompetisi untuk mendapatkan ombak,” tegas Glen.

Di tepi sebuah pulau karang di Gerupuk, di musim tertentu, penyu-penyu berdatangan untuk bertelur di pantai. Pada musim yang lain, segerombolan rusa akan menyeberangi selat dangkal yang memisahkan pulau itu guna mencari padang rumput. Saya teringat gurauan seorang warga Sasak: “Tinggallah di sini beberapa bulan, maka kamu akan melihat bahwa semua makhluk di Lombok bisa berenang.”

Lombok berada di perbatasan biogeografis antara Indo-Melayu dan bagian timur Nusantara. Demarkasi itu disebut Garis Wallace, julukan yang diambil dari sang pencipta, Alfred Russel Wallace, seorang eksplorator yang mangkat persis 100 tahun silam. Ia dikenang dunia atas jasanya memetakan alam Indonesia sekaligus menginspirasi teori pamungkas Darwin. Satwa-satwa di Lombok menampakkan kekhasannya tersendiri yang memukau saya yang datang dari bagian barat Indonesia.

Wallace, Glen dari Australia, dan Bernie Ecclestone sang petinggi F1 mungkin akan sepakat, pesisir Lombok sebaiknya tidak diisi sirkuit balap.

Orang-orang Bugis punya peran penting di bandar-bandar pelelangan ikan di Nusa Tenggara Barat, termasuk di Lombok. Sebelum matahari muncul di ufuk timur, saat embun sedang bertengger di dedaunan, kaum yang menginspirasi istilah “Boogie Man” itu telah mengangkat pukat dan membawa beragam jenis ikan ke daratan.
Tanjung Luar merupakan semenanjung kecil di mana pelelangan ikan dikuasai perempuan. Laki-laki berprofesi sebagai nelayan, sementara pialang atau makelar ikan didominasi kaum Hawa. Mereka membentuk sebuah perserikatan dengan tugas yang jelas.

Nelayan hanya mengantar ikan hingga ke pinggir pantai, dan ketika perahu-perahu mereka belum benar-benar merapat, gerombolan perempuan menghampiri untuk merebut keranjang-keranjang ikan. Banyak dari mereka bahkan menyongsong perahu hingga beberapa meter ke dalam laut, hingga membuat seluruh pakaian mereka kuyup. Pantai di sini bagai sebuah tapal batas antara kekuasaan laki-laki dan serikat perempuan makelar ikan.

Kiri-kanan: Seorang penggembala di Tanjung Rait dengan pemandangan Sumbawa di kejauhan, di seberang Selat Alas; bemo, angkutan umum lokal.

Ikan-ikan ditangkap di Samudra India dan Laut Flores. Jenisnya bervariasi, dari hiu hingga tuna. Kontroversi menyelimuti bisnis di sini. Sejumlah aktivis sudah lama memprotes penangkapan hewan yang berstatus dilindungi. Tapi teriakan mereka seolah tertelan angin yang meniup kapal-kapal nelayan.

Semua hasil tangkapan bermuara ke bandar di Tanjung Luar, tempat pelelangan ikan terbesar di Lombok, dan mungkin yang paling berisik di dunia. Para pialangnya adalah perempuan-perempuan yang mulutnya bagai mesin tempel pada kapal nelayan. Teriakan dan tawa mereka berkelindan memekakkan telinga.

“Mereka tidak pernah berkelahi sebagaimana laki-laki, walau tiap sebentar bertengkar karena permainan harga,” kata lelaki tua yang menyandarkan perahunya dan membiarkan perempuan-perempuan perkasa “merampok” tangkapannya, kemudian memberikan beberapa lembar rupiah seakan telah menyetujui harga. Dengan baskom warna-warni yang menampilkan nama pemiliknya dalam huruf patah-patah, infanteri perempuan itu mengangkut sumber hidup mereka ke balai pelelangan.

Dalam dua jam, pelabuhan yang tadi dipenuhi kaum ibu dan perempuan muda, berubah menjadi serakan jejak di pasir. Surya telah bertengger di atap, mengeluarkan semburat putih dan menyinari arakan awan yang berundak.

Nisan di kuburan Selaparang di kaki Gunung Rinjani.

Di kompleks makam Selaparang, saya beristirahat sejenak usai setengah jam perjalanan dari Labuan Lombok. Makam-makam di sini dibuat dari batu yang disusun. Pohon kamboja dan bunga sedap malam menaungi dan mengeluarkan wewangian. Ada sekelompok peziarah dari Narmada, daerah kecil di Pulau Lombok. Namanya mengingatkan saya pada Sungai Narmada, satu dari tujuh sungai suci di India.

Ada enam makam yang statusnya menonjol di kompleks ini. Mereka diyakini warga sebagai makam para penghulu kerajaan. Pusara Raja Selaparang hanya berbentuk nisan kecil. Ada juga makam Gajah Mada dari jajaran batu bundar. Benarkah patih pemersatu Nusantara itu dimakamkan di sini? Sulit dipastikan, tapi demikianlah anggapan penduduk.

Masuknya Hindu memunculkan beberapa imperium di Lombok. Yang paling terkenal adalah Kerajaan Selaparang. Kerajaan tersebut ditundukkan Majapahit melalui ekspedisi Gajah Mada pada abad ke-14. Lalu, secara silih-berganti, Bumi Sasak mengalami peralihan kekuasaan hingga era Islam yang gilang-gemilang melahirkan Kerajaan Islam Selaparang. Saya menebak-nebak makam Raja Selaparang di hadapan saya. Apakah dari era Hindu atau Islam? Sekali lagi, dokumentasi sejarah Lombok sulit dilacak.

Kiri-kanan: Kuburan Selaparang di Lombok Timur; Pohon kamboja di kuburan Selaparang.

Tak jauh dari makam Raja Selaparang dan pengawal-pengawalnya, juga makam Gajah Mada yang teduh, terdapat makam Dewi Anjani, sang putri raja, yang dikelilingi sawah. “Beberapa peziarah ada yang melihat Dewi Anjani dalam wujud perempuan tua berambut panjang,” kata Lalu Nurjani, seorang pengamat sejarah.

Tak berapa lama, para peziarah dari Narmada membakar kemenyan yang mengeluarkan aroma wangi yang purba. Asap mengepul ke sela-sela kuburan. Mereka membaca beberapa ayat dari kitab suci Alquran bersama-sama. Suara magisnya merayapi dinding makam.

Di ujung sana, Gunung Rinjani hanya bisa dilihat sampai pinggangnya. Puncaknya lancip dan tertutup awan hitam yang menggumpal. Saya keluar dari kompleks makam, meninggalkan Lalu Nurjani di berugak, pondok kecil yang tak terpisahkan dari arsitektur tradisional masyarakat Sasak. Hujan deras mengantarkan saya ke dusun-dusun terpencil di kaki gunung.

Di ketinggian 1.400 meter, di antara kayu-kayu hutan yang ditumbuhi lumut, saya menyeruput kopi untuk menghalau dingin. Angin kering yang menusuk tulang, berembus dari balik bukit menuju Lembah Sembalun. “Rinjani tidak boleh didaki untuk tiga bulan ini,” seorang lelaki berkata tegas di depan warungnya. Akhirnya saya hanya berjalan mengitari Desa Sembalun. Rumah-rumah tersebar menghadap Rinjani.

Rinjani tak boleh didaki, saya mengulang dalam hati. Padahal saya telah memilihnya sebagai penutup trip usai berpindah-pindah dari tanjung ke tanjung. Di kaki gunung, hutan-hutan yang dibalut kabut mengurung saya dalam alam khayal tentang nirwana yang dipercikkan ke bumi Sasak.

PANDUAN
Rute
Sejak akhir 2011, bandara di Lombok telah dipindahkan dari Mataram ke Lombok Tengah. Penerbangan ke sini dilayani antara lain oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dan Lion Air (lionair.co.id). Berhubung akses masih cukup terbatas, metode paling praktis untuk menjelajahi kawasan timur Lombok adalah menggunakan kendaraan sewaan. Tarif mobil sewaan mencakup sopir dan bahan bakar mulai dari Rp400.000 per hari. Kawasan timur Lombok sebetulnya bisa didatangi kapan saja, tapi waktu terbaik adalah musim kemarau, dari April hingga September. Di musim hujan, perjalanan ke kawasan pegunungan kemungkinan terhalang longsor, dan jalan tanah menuju Pantai Tangsi serta Tanjung Ringgit agak licin.

Penginapan
Karena industri pariwisata belum berkembang di kawasan timur dan selatan, pilihan penginapan sangat terbatas. Sekitar 20 menit dari bandara terdapat Novotel Lombok (Mandalika Resort, Pantai Putri Nyale, Pujut, Lombok Tengah; 0370/615-3333; novotel.com; doubles mulai dari Rp1.208.487), penginapan premium pertama dan satu-satunya di selatan Lombok, setidaknya sebelum kompleks Resor Mandalika rampung dibangun. Di sinilah para peselancar umumnya bermalam sebelum menjajal ombak-ombak yang dikirimkan Samudra India. Opsi lain adalah Bumbangku Lombok (Dusun Bumbang; 0370/620-833; 0819/0787-1311; bumbangkulombok.com; doubles mulai dari Rp350.000) di sisi tenggara pulau, persisnya di Teluk Bumbang—basis yang ideal untuk menjelajahi kawasan tenggara dan timur.

Aktivitas
Senantiasa diterjang gelombang, kawasan selatan merupakan destinasi selancar yang paling populer di Lombok. Kuta, Tanjung Aan, Gerupuk, dan Selong Belanak adalah beberapa pantai yang lazim didatangi kaum pemburu ombak internasional. Salah satu tempat di selatan Lombok yang menyediakan peralatan dan kelas selancar adalah KimenSurf (Jl. Raya Kuta-Mawun; 0370/655-064; kuta-lombok.net). Lombok juga memiliki sejumlah festival budaya. Dua yang terbesar adalah Bau Nyale di Februari dan Perang Topat di antara November dan Desember. Mereka yang berstamina prima bisa meneruskan petualangan dengan menyelam di perairan pulau-pulau kecil di timur, contohnya Gili Sulat dan Gili Pentangan, atau mendaki ikon langit Lombok, Gunung Rinjani, yang menjulang 3.726 meter. Jika ingin mendaki, hubungi Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (Jl. Arya Banjar Getas, Lingkar Selatan, Ampenan, Lombok Barat; 0370/660-8874; rinjaninationalpark.com).

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret-April 2013 (“Bumi, Sasak, Manusia”).