by Fatris MF 15 August, 2014
Buku Travel Kuno Indonesia
Oleh Fatris MF
Gambaran pulau-pulau di Indonesia yang gemah ripah loh jinawi begitu kentara dalam catatan petualangan Tomé Pires, Suma Oriental. Di bagian tengah Sumatera, pelancong kelahiran Portugis itu mengisahkan danau kembar yang berair manis dan dilayari perahu-perahu ramping. Di rahim kedua danau itu, hidup ikan-ikan yang tidak terdapat pada danau lain.
Di Jawa, Pires mencatat Kerajaan Sunda yang diperintah orang-orang yang jujur, serta penduduk yang menetap di rumah-rumah beratap nyiur. Sunda menjalin hubungan niaga dengan Malaka, bahkan Maladewa. Produksi lada melimpah. Hasil alam cukup untuk mengisi seribu kapal dalam setahun. Pelabuhan disibukkan aktivitas perdagangan, mulai dari beras hingga budak.
Selain lebih banyak membicarakan kota-kota maritim di Jawa, Pires banyak menyinggung sisi timur Sumatera, termasuk tentang Siak dan Singapura. Dibanding pantai timurnya, pantai barat Sumatera ketika itu terabaikan. Pires berkelana pada 1512-1515, tahun-tahun awal Portugis berkuasa di Malaka. Itu barangkali sebabnya dia lebih banyak berbicara tentang pesisir timur yang memang lebih vital secara politis.
Kira-kira tiga abad setelahnya, fokus pelancong asing beralih. Seorang Belanda menggelar tur di Sumatera pada 1822-1824.Mayor Jenderal Nahuys Van Burgst melintasi sisi tengah pulau, dari tepi barat ke timur. Tiga tahun kemudian, jurnal sang mayjen diterbitkan dengan judul panjang: Brieven Over Bencoolen, Padang, Het Rijk Van Menang-Kabau, Rhiouw, Sincapoera En Poelo-Pinang.
Pantai barat Sumatera menerima lebih banyak perhatian. Mula-mula Van Burgst menceritakan kunjungannya ke Bengkulu, saat kota ini masih berada di bawah kekuasaan Inggris. Benteng Inggris, dalam pandangannya, adalah bangunan kokoh dan indah yang sulit ditembus. Setelah itu, dia mengupas banyak aspek lain, misalnya metode cocok tanam yang unik dan sulaman tradisional yang eksotik.
Dari Bengkulu, Van Burgst ke utara menyusuri pesisir barat dan mendarat di Padang. Ulasan Padang cukup panjang, walau kota ini dianggap tak penting olehnya. “Padang adalah kota yang berantakan,” tulisnya. Padang, dalam perspektifnya yang Eropa-sentris, hanyalah sebuah hunian kecil bangsa Eropa yang paling daif dan berantakan di antara hunian Eropa lain yang pernah dikunjunginya di Hindia. “Dan saya bisa mengatakannya kepada Anda bahwa saya belum pernah melihat tiga buah rumah yang terawat baik di seluruh Padang.”
Potret itu barangkali benar. Di awal-awal kehadirannya kembali di Padang, Belanda disibukkan oleh Perang Padri di pedalaman Minangkabau. Tapi hampir seperempat abad kemudian, gambaran yang kontras kita temukan dalam diari F.C. Wilson. “Lain dulu lain sekarang,” kata petualang Belanda itu tentang Nusantara. Dia mengutip sebuah idiom Melayu untuk menggambarkan dunia yang sudah berubah.
Wilson menyusun sebuah antologi cerita perjalanan yang diberinya judul Lain Dooeloe, Lain Sakarang of Voorheen En Thans.Buku berbahasa Belanda ini memuat belasan kisah, hampir seluruhnya tentang Sumatera. Dalam pandangan penulis, Padang bersama kota-kota di tengah Sumatera sibuk bersolek pasca-Perang Padri. Jalan raya membentang rapi dengan barisan pohon di sisinya. Bangunan publik seperti kantor residen dan penjara berdiri megah.
Deskripsi Padang juga tertera dalam Travels in the East Indian Archipelago yang terbit dalam bahasa Inggris pada 1868. Albert Smith Bickmore menguraikan jalan-jalan yang lapang, kota yang tertata dan indah. Tapi Padang hanya mendapat porsi secuil, sebab buku ini berniat menyoroti Nusantara.