Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buku Travel Kuno Indonesia

Kiri-kanan: Membedah pertumbuhan beberapa kota di timur Sumatera; deskripsi kota Padang menurut Albert Smith Bickmore.

Travels in the East Indian Archipelago adalah salah satu buku perjalanan yang cukup kompleks. Pengarangnya seorang naturalis kelahiran Amerika yang awalnya singgah di Indonesia untuk sekadar mempelajari botani di Ambon. Menulis sebuah volume cerita perjalanan bukan ide yang dicanangkannya dengan serius. Smith paham, rezim Belanda tak sudi pelancong asing leluasa berkeliaran di luar Jawa. Untungnya, dia mendapat pengecualian dari otoritas Belanda. Barangkali untuk membalas budi itu, bukunya didedikasikan salah satunya bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Di bagian awal buku, Smith menuturkan kunjungannya ke Bandung dan Batavia. Pelbagai topik diangkat, termasuk sejarah, komposisi etnis, hingga lanskap alam. Di bagian berikutnya, dia berpaling ke Semarang dan Surabaya. Kali ini dia secara lebih gamblang membedah pengaruh Hindu di kalangan muslim, jalan raya dan jalur telegraf yang sudah menghubungkan Jawa, serta tebu yang menjadi komoditas unggulan.

Smith lalu menyeberang ke Celebes dan Timor. Fauna dan flora menuai atensinya. Sang pelimbang lalu melangkah ke Ambon dan Seram untuk mendokumentasikan pantainya yang indah, juga ke pulau-pulau sekitar semacam Banda, Buru, Ternate, dan Tidore. Di utara Sulawesi, Smith terpikat oleh artefak purba di Minahasa.

Smith lalu melompat ke Sumatera. Di Pulau Andalas ini, dia pertama-tama mengunjungi kota di pesisir Barat, lalu naik ke dataran tinggi menyambangi Danau Maninjau dan Gunung Ophir yang dijuluki “Gunung Emas.” Selanjutnya, dia melewati Lembah Bonjol, Lubuk Sikapiang, dan Lembah Rao yang subur—daerah-daerah yang setengah abad sebelumnya ternodai pergolakan agama.

Dia terus mendaki jalan berkelok di punggung Bukit Barisan, menuju kawasan orang Batak yang dijulukinya “tanah para kanibal.” Dari sana, dia memutar ke Padang lewat Tapanuli, Air Bangis, dan Natal. Tujuan Smith berikutnya adalah kota kuno Minangkabau di Pagaruyung yang telah dilenyapkan pengikut Padri, lalu dibangun kembali oleh pemerintah kolonial.

Dan Smith tertumbuk di Kerinci. Dari sini, dia ke selatan, mengunjungi Bengkulu, Tebing Tinggi, lalu Bungamas guna melihat gajah dan harimau. Setelah berbelok ke timur dan menyeberang ke Bangka, Smith menutup ekspedisinya.

Padang kini tak lagi seapik seperti yang diriwayatkan Smith dan Wilson. Padang kembali menjadi kota semrawut di abad ke-21. Kota-kota di barat Sumatera hari ini memang masih banyak tertinggal dibandingkan koleganya di timur. Kota Pekanbaru, Palembang, atau Jambi misalnya, berlari kencang dipacu bisnis minyak, karet, dan sawit.

Seorang pengelana Amerika pernah menyatroni Palembang dan Jambi pada pertengahan abad ke-19. Bukunya yang kaya deskripsi, The Prison of Weltevreden, yang terbit dalam bahasa Inggris pada 1855, membedah pertumbuhan beberapa kota di timur Sumatera. Penulisnya, Walter Murray Gibson, lahir di Inggris tapi tumbuh di South Carolina. Dia berlayar ke Sumatera dan tiba di Palembang pada awal 1852.Gibson ditangkap Belanda di Palembang ketika mencoba berkomunikasi dengan pemerintah Jambi yang dicap pemberontak oleh pemerintah kolonial. Dia dipenjarakan di Weltevreden, tapi berhasil kabur.

Bukunya merekam apa saja dari daerah yang dikunjunginya. Bahkan ada banyak bumbu di sana-sini. Salah satu tempat yang mendapat perhatiannya adalah Palembang. Gibson melukiskannya sebagai negeri para pemberani, di mana orang-orang berjuang melawan cengkeraman penjajah. Satu setengah abad kemudian, citra pemberani masih melekat pada masyarakat Palembang.

Gibson juga ke Jambi ketika komoditas karet sedang jaya, kendati 75 tahun kemudian bisnis karet runtuh akibat krisis dunia, hingga kesultanan makmur yang dulu memukau Gibson berubah melarat. Jambi kini masih berstatus sentra karet, sementara Palembang menjadi salah satu kota terpenting di Sumatera.

 

Dibiayai salah satunya oleh Ringo Starr, penjelajahan kakak beradik Lawrence dan Lorne Blair dimulai pada 1972: dari Krakatau di Selat Sunda menuju pulau-pulau yang sulit dijangkau di Banda Neira, menemui suku pedalaman yang awalnya diduga sudah punah di Kalimantan, terpukau oleh tarian cenderawasih dan menyelidiki penyebab kematian Michael Rockefeller di Papua. Selain film, eksplorasi itu menelurkan satu judul buku, Ring of Fire, yang terbit pada 1988 dan diterjemahkan dengan gagap ke Bahasa Indonesia pada 2012.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5