Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buku Travel Kuno Indonesia

Kiri-kanan: Buku lain yang juga mengisahkan tentang beberapa kota di Sumatera Timur; Ring of Fire yang diangkat dari film.

Berbekal ilmu antropologi, Lawrence dengan luwes mengulas kebudayaan suku-suku terisolasi di Borneo dan Papua. Di Sumba, mereka menghadiri upacara pemakaman Raja Pau dan merekam tradisi perang Pasola. Empat puluh tahun setelah itu, saya mendatangi daerah yang sama. Tidak banyak yang berubah. Kultus terhadap kuda dan hari Pasola masih lestari, walau dengan gairah yang sedikit bergeser ke arah pariwisata.

Duet Blair juga mengagumi pinisi dan Suku Bugis. Lawrence mencatat: “Kaum Bugis adalah penjahat-penjahat berhiaskan permata dan berserban sutra yang mewarnai arketipe bajak laut dalam imajinasi Barat, mempertontonkan keahlian memakai badik dan melaut bagaikan iblis, serta mewariskan identitas yang mengisi mimpi buruk kami.”

Suatu kali, keduanya menumpang pinisi yang bertolak dari Bira menuju Kepulauan Aru. Tapi mereka kecewa. Katanya: “Sempat tergolong navigator paling ulung di lautan, yang dipandu oleh pola ombak dan petunjuk berupa rumput laut dan kotoran burung, kaum Bugis kini telah kehilangan demikian banyak kepercayaan terhadap pengetahuan lama.”

Mundur seabad, Alfred Russel Wallace juga mengembara dengan pinisi. Namun pria Inggris ini menorehkan catatan berbeda dari yang diukir Blair bersaudara. “Betapa menawan semua yang tersaji di kapal ini. Tak ada cat, tak ada tar, tak ada tambang, tanpa minyak dan pernis. Yang ada hanya bambu, rotan, tali serat, dan atap rumbia…  mengingatkan pada suasana tenang hutan yang hijau dan teduh,” kenangnya dalam The Malay Archipelago (diterjemahkan menjadi Kepulauan Nusantara pada 2009).

Wallace bukan seorang pengagum pinisi, walau dalam pengembaraannya di Nusantara lebih banyak menggunakan akses lautan. Nusantara yang kemudian dibubuhinya garis batas: antara Lombok dan Bali, juga antara Borneo dan Sulawesi. Sebuah demarkasi zooekologis yang memisahkan habitat satwa yang berkarakter Asia dengan satwa peralihan yang berkarakter Australia.

Ilustrasi flora dan fauna Indonesia.

Wallace seorang naturalis. Dia penggemar merak dan cenderawasih. Dia juga pengumpul siput, serangga, dan reptil. Di Borneo, dia menembak selusin orangutan untuk diawetkan dan diteliti. Wallace mengarungi Nusantara ketika flora dan faunanya nyaris tak terusik. Dia mendatangi Sumatera saat badak masih berstatus hama bagi petani, bahkan ketika orang-orang Melayu sibuk membuat perangkap macan di Singapura.

Nusantara ternyata berubah, tidak beku sebagaimana anggapan banyak pelancong. Teks-teks perjalanan telah menginspirasi kaum avonturir Eropa untuk melacak dunia baru. Di sisi yang berbeda, teks-teks itu juga tanpa sadar sejalan dengan kepentingan pariwisata: menstimulasi arus pelancong ke Nusantara. Bisa dibilang, karya-karya para penjelajah masa silam adalah bentuk promosi paling awal dalam sejarah pariwisata Indonesia, sekalipun terdapat kecurigaan gambaran mereka keliru atau berlebihan akibat terjebak pada sudut pandang sempit “Eropa.”

Dalam karyanya yang fenomenal, Orientalism, Edward Said melakukan penelusuran atas karya-karya asing (termasuk kisah perjalanan) seputar negeri-negeri Timur. Gambaran para penulis Eropa itu, menurut Said, tidak hanya berkutat pada kemolekan alam, tapi juga cenderung menitikberatkan pada perbedaan Timur dan Barat. Jika Barat mewakili rasionalitas, modernitas, dan peradaban, maka Timur adalah negasinya: malas, beringas, irasional.

Terkait itu, sejarawan Denys Lombard menarik sebuah kesimpulan dalam bukunya yang terkenal, Nusa Jawa: Silang Budaya: “Lebih dari satu abad kemudian, citra Kepulauan Indonesia pada kami masih sering merupakan citra eksotisme. Mooi Indie, Hindia yang molek, sebagaimana kepulauan itu disebutkan pada zaman penjajahan, masih ada. Seakan tidak ada perubahan berarti yang dialami masyarakat Indonesia selama berabad-abad itu.” Masyarakatnya, memakai bahasa Lombard lagi, “beku dalam keindahan yang berwarna-warni.”

Info buku:

Suma Oriental of Tomé Pires: An Account of the East, from the Red Sea to China; 1944, ditulis pada 1512-1515; Tomé Pires
The Malay Archipelago; 1869; Alfred Russel Wallace
The Prison of Weltevreden and a Glance at the East Indian Archipelago; 1855; Walter Murray Gibson
Brieven Over Bencoolen, Padang, Het Rijk Van Menang-Kabau, Rhiouw, Sincapoera En Poelo-Pinang; 1827; Hubert Gerard Nahuys Van Burgst
Ring of Fire: An Indonesia Odyssey; 1988; Lawrence Blair & Lorne Blair.
Travels in the East Indian Archipelago; 1869; Albert Smith Bickmore

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Jul/Ags 2014 (“Lain Dulu Lain Sekarang”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5