post

Majalah travel premium berbahasa Indonesia pertama

DestinAsian Indonesia

<figure id="attachment_60441" aria-describedby="caption-attachment-60441" style="width: 800px" class="wp-caption aligncenter"><img loading="lazy" decoding="async" class="size-full wp-image-60441" src="wp-content/uploads/1-Rahung-Nasution-1.jpg" alt="" width="800" height="449" srcset="https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/1-Rahung-Nasution-1.jpg 800w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/1-Rahung-Nasution-1-300x168.jpg 300w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/1-Rahung-Nasution-1-768x431.jpg 768w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/1-Rahung-Nasution-1-360x202.jpg 360w" sizes="auto, (max-width: 800px) 100vw, 800px" /><figcaption id="caption-attachment-60441" class="wp-caption-text">Rahung Nasution, koki dan aktivis kuliner. (Foto: Rahung Nasution)</figcaption></figure>
Wawancara oleh <a href="https://destinasian.co.id/?s=yohanes+sandy" target="_blank" rel="noopener noreferrer">Yohanes Sandy</a>
Sungai Utik Deforestasi menggerogoti belantara Kalimantan. Untungnya, masih ada beberapa desa yang gigih menjaga pohon-pohon dari kepunahan, salah satunya Sungai Utik di Kalimantan Barat. “Di Sungai Utik, tempat peradaban suku Dayak Iban, hutan masih dijaga aturan adat yang sangat ketat,” kata Rahung. “Bagi mereka, hutan bukan sekadar paru-paru bumi, namun juga ibu di mana mereka menyusu dan mendapatkan penghidupan.”  
<figure id="attachment_60440" aria-describedby="caption-attachment-60440" style="width: 800px" class="wp-caption aligncenter"><img loading="lazy" decoding="async" class="size-full wp-image-60440" src="wp-content/uploads/1-Mentawai_Travel_MFPS_0026.jpg" alt="" width="800" height="533" srcset="https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/1-Mentawai_Travel_MFPS_0026.jpg 800w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/1-Mentawai_Travel_MFPS_0026-300x200.jpg 300w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/1-Mentawai_Travel_MFPS_0026-768x512.jpg 768w" sizes="auto, (max-width: 800px) 100vw, 800px" /><figcaption id="caption-attachment-60440" class="wp-caption-text">Pria suku Mentawai sedang berburu di hutan. (Foto: Muhammad Fadli)</figcaption></figure>
Siberut Selatan Kegigihan warga asli Mentawai merawat <a href="https://destinasian.co.id/menyelamatkan-tradisi-kuno-mentawai/" target="_blank" rel="noopener noreferrer">tradisi purba</a>, dari tato hingga berburu, telah memikat para peneliti dunia. Rahung sempat menemui kaum penjaga hutan ini di Kecamatan Siberut Selatan. “Di hulu-hulu sungai Siberut Selatan, kita masih bisa menemukan satu generasi yang kemungkinan merupakan generasi terakhir masyarakat Mentawai yang mempraktikkan tradisi,” ujarnya.
<figure id="attachment_60447" aria-describedby="caption-attachment-60447" style="width: 730px" class="wp-caption aligncenter"><img loading="lazy" decoding="async" class="size-full wp-image-60447" src="wp-content/uploads/2-Banda.jpg" alt="" width="730" height="470" srcset="https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/2-Banda.jpg 730w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/2-Banda-300x193.jpg 300w" sizes="auto, (max-width: 730px) 100vw, 730px" /><figcaption id="caption-attachment-60447" class="wp-caption-text">Kerapu tangkapan nelayan Banda Neira dengan latar Gunung Api. (Foto: Yoppy Pieter)</figcaption></figure>
Banda Neira Pada abad ke-16, Rempah membuat Kepulauan Banda diperebutkan dunia. Sementara di era perjuangan kemerdekaan, tempat ini dijadikan lokasi pengasingan tokoh politik. Warisan sejarah dari dua babak itulah yang menjadi <a href="https://destinasian.co.id/menyelami-sejarah-di-banda-neira/" target="_blank" rel="noopener noreferrer">magnet wisata Banda</a>, dan basis ideal untuk menjelajahinya tentu saja Banda Neira. “Ada benteng, bangunan zaman kolonial, serta rumah pengasingan tokoh-tokoh nasional seperti Sjahrir dan Hatta,” kata Rahung.
<figure id="attachment_60443" aria-describedby="caption-attachment-60443" style="width: 800px" class="wp-caption aligncenter"><img loading="lazy" decoding="async" class="size-full wp-image-60443" src="wp-content/uploads/3-SW20150604_0159.jpg" alt="" width="800" height="533" srcset="https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/3-SW20150604_0159.jpg 800w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/3-SW20150604_0159-300x200.jpg 300w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/3-SW20150604_0159-768x512.jpg 768w" sizes="auto, (max-width: 800px) 100vw, 800px" /><figcaption id="caption-attachment-60443" class="wp-caption-text">Interior makam gua Londa, situs ziarah terkenal di Toraja. (Foto: Suryo Wibowo)</figcaption></figure>
Tana Toraja Melawat Tana Toraja serasa berziarah ke zaman purba. Setidaknya itulah yang dirasakan Rahung. “Tradisi yang masih kental dan alamnya yang memikat seperti membawa saya kembali ke tanah leluhur saya, Tano Batak, seratus tahun yang lalu,” ujarnya. Merujuk cerita sesepuh dan literatur kuno Batak, Toraja dan Batak memang berbagi sejumlah kesamaan, contohnya dalam desain rumah, sistem kekerabatan, serta <a href="https://destinasian.co.id/transformasi-toraja/" target="_blank" rel="noopener noreferrer">upacara pemakaman</a>. 
<figure id="attachment_60444" aria-describedby="caption-attachment-60444" style="width: 800px" class="wp-caption aligncenter"><img loading="lazy" decoding="async" class="size-full wp-image-60444" src="wp-content/uploads/4-atet_dwi_pramadia_togian_0006.jpg" alt="" width="800" height="533" srcset="https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/4-atet_dwi_pramadia_togian_0006.jpg 800w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/4-atet_dwi_pramadia_togian_0006-300x200.jpg 300w, https://backend.destinasian.co.id/id/wp/wp-content/uploads/4-atet_dwi_pramadia_togian_0006-768x512.jpg 768w" sizes="auto, (max-width: 800px) 100vw, 800px" /><figcaption id="caption-attachment-60444" class="wp-caption-text">Panorama perairan Kampung Papan di Malenge, Togean. (Foto: Atet Dwi Pramadia)</figcaption></figure>
Kepulauan Togean Lanskap dan alam bawah laut Togean <a href="https://destinasian.co.id/pesona-keindahan-alam-dan-laut-togean/" target="_blank" rel="noopener noreferrer">memukau mata</a>. Tapi, lantaran cukup sukar dijangkau, kepulauan ini relatif sepi turis—dan inilah yang membuatnya menarik. Saat berlibur di sini, satu pengalaman yang paling dikenang Rahung ialah bertamu ke kampung-kampung Bajo, suku nomaden di Asia Tenggara. Di Togean, mereka mendiami rumah-rumah panggung di tepi pulau.

5 Destinasi Favorit Rahung Nasution