Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menelusuri Sejarah Sandek, Perahu Tercepat Indonesia

Perahu sandek di perairan Balanipa.

Oleh Fatris MF
Foto oleh Yusuf Ahmad

Malam telah larut ketika bus meninggalkan saya di Balanipa. Di pesisir barat Sulawesi ini, dusun-dusun sunyi tapi padat. Rumah-rumah panggung, yang sebagian telah lapuk, berjejal mendesak Teluk Mandar. Di kejauhan, perahu-perahu nelayan bersandar, berkelap-kelip bak kunang-kunang yang mengejek gelap.

Saya berada di sudut pulau yang tidak dilirik mata turis. Sebuah tempat yang raib dari peta wisata karena memang bukan destinasi wisata. Akan tetapi, di dusun-dusun yang terserak di sepanjang Teluk Mandar inilah legiun pelaut tangguh berasal. Mereka berlayar jauh sebelum bangsa Dravida menggapai selatan India, sebelum pelaut Yunani dan Romawi mengenal Samudra Hindia.

“Mereka datang dari sebuah semenanjung kecil di barat daya Sulawesi. Merekalah yang berhasil menemukan sistem cadik yang berguna sebagai penyeimbang kiri dan kanan perahu, untuk mengatasi ganasnya ombak lautan, serta menerapkan bermacam cara memancing,” demikian catat Robert Dick-Read dalam bukunya yang kontroversial, The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times. Dan semua itu terjadi sejak 1.000-an tahun sebelum Masehi.

Di salah satu dusun, saya menemui Muhammad Ridwan Alimuddin. Dia baru pulang dari pelayaran panjang ke Bone di sisi selatan Sulawesi. Kami berbincang di sebuah rumah kayu yang ditaburi perabotan “aneh”: tumpukan buku, layar, baju selam, jaring, lukah, temali, dayung, kamera rusak, cadik, bangkai perahu. Ridwan menyebut rumah ini Nusa Pustaka. Saban sore, anak-anak datang meringkuk dan membaca, sementara pemuda-pemuda lokal berbincang dalam bahasa yang tidak saya pahami.

Kiri-kanan: Pamor sandek telah ditelan perahu mesin, tapi nelayan di Polewali Mandar masih setia menggunakannya untuk mencari ikan; nelayan menjalin cadik sandek menggunakan tali.

Bersama Ridwan, saya meniti tepian Teluk Mandar, di mana perahu-perahu bercadik digoyang riak di laut lepas. “Ini sandek,” Ridwan menunjuk sebuah perahu kecil. “Mulanya sandek digunakan untuk berdagang dan berburu tuna. Ada jenis burung yang bergerombol di tengah laut. Nelayan biasanya mengejar gerombolan burung tersebut, sebab di bawahnya ada tuna. Bila terlambat, tuna akan lenyap. Sangat butuh kecepatan.”

Ridwan berbeda dari mayoritas pelaut yang pernah saya temui. Kata-katanya teratur. Intonasinya tenang dan datar, tidak keras menghempas sebagaimana lazimnya orang pesisir. “Dalam lomba perahu layar di Prancis, orang-orang terkejut dengan kecepatan perahu ini,” kata Ridwan lagi sembari melirik ke beberapa perahu yang tersadai di rumah.

Malam kian larut. Ridwan berlalu dan meninggalkan saya yang dipagut kantuk. Saya kini tidur bersama bangkai-bangkai kejayaan pelaut Mandar. Sandek, kadang ditulis sandeq, adalah nama yang tertutupi oleh bayang-bayang pinisi. Dalam catatan-catatan pelayaran masa lampau, semua pelaut Sulawesi kerap dirangkum sebagai “Bugis penunggang pinisi.” Padahal, di daerah pesisir yang mengelilingi Sulawesi, kita bisa menemukan beragam suku selain Bugis, sebut saja Konjo, Makassar, dan Mandar. Dan tak semuanya mengendarai pinisi.

Mandar, menurut antropolog Horst Liebner, adalah suku yang paling berani di Sulawesi. Mereka pelaut ulung yang menetap di bagian barat daya pulau, mengendarai sampan gesit bernama sandek. Sandek, kata Ridwan lagi, adalah perahu layar tercepat di Nusantara. Catatan lain mengklaimnya sebagai perahu layar tercepat sejagat raya.

Sandek diklaim sanggup melesat hingga 100 kilometer per jam.

Tentu saja, “cepat” adalah satuan yang terikat zaman. Di masa ketika mesin telah merobek layar dan solar menggeser dayung, sandek pun tenggelam sebagai kebanggaan dalam riwayat tua. Masihkah sandek berarti bagi pelaut Mandar saat ini? Angin dingin bergaram bertiup dari Teluk Mandar. Kantuk menenggelamkan saya jauh ke samudra tidur maha luas.

Masa depan, menurut sutradara Kevin Reynolds dalam film Waterworld, adalah ketika es di kutub mencair dan air menggenangi nyaris seluruh permukaan bumi. Yang mengejutkan dalam film itu, sebuah perahu bercadik ganda dengan satu tiang layar justru menjadi moda yang sulit dikalahkan kecepatannya, bahkan oleh mesin sekalipun. Perahu dengan lambung dan palka tertutup—yang berasal dari masa ketika mesin belum diciptakan—malah berjaya di masa depan.

Tetapi bumi kita kini masihlah planet dengan daratan yang terbentang. Setidaknya ramalan tentang tenggelamnya bumi belum kita jumpai, walau dari abad ke abad teknologi maritim terus dikembangkan guna menaklukkan lautan dan mengarungi samudra.

Negara-negara berlomba menciptakan armada laut. Siapa yang menguasai lautan akan menguasai bumi, begitu idiom lama yang dianggap masih relevan hingga kini. Dan “kini” bagi saya adalah ketika pagi datang dengan cepat. Dusun-dusun yang sunyi di waktu malam, sekarang berangsur riuh. Di luar rumah, gang-gang sempit diramaikan canda para siswa yang berangkat ke sekolah. Para ibu menenteng ember dari tempat penimbaan, sementara kaum pria menyesaki warung-warung yang tersebar di dusun. Dusun yang membelakangi tebing karang tapi mengangkang ke laut lapang.

Tanah Mandar adalah daratan yang dikurung lembah curam, dibentengi pegunungan terjal, dibelah-belah oleh jalan kecil yang berliku. Jalan raya telah terbentang di barat Sulawesi, tapi bukit dan tebing batu seakan mengunci akses ke Polewali dan Majene—wilayah pesisir yang dihuni Suku Mandar. Tapi tanah ini setidaknya memiliki gerbang lapang untuk menjangkau dunia luar: Teluk Mandar. Dan warganya mempunyai transportasi yang telah digunakan selama ribuan tahun: perahu kecil bernama sandek.

Suatu sore, Muhammad Qureisy tengah bekerja di kantornya: pekarangan rumah yang berbagi tempat dengan kandang ayam. Dia menggenggam nyala api dari obor, lalu mengoleskan api ke badan perahu yang melintang di depannya. Seperti ritual mengusir amuk bala, lelaki paruh baya itu mengasapi perahu. “Bukan! Sandek ini diasapi supaya kayu tidak mudah lapuk,” kata Qureisy membuka obrolan.

Qureisy sehari-harinya bekerja sebagai pembuat sandek. Kadang, katanya, dia diterbangkan ke Lombok untuk membuat perahu wisata. Untuk satu sandek sepanjang 12 meter, Qureisy mematok harga 70 juta rupiah. Dibutuhkan setengah kubik kayu untuk membuat perahu sepanjang itu. Bagian alasnya saja menghabiskan kayu besar yang ditebang dengan proses ritual. Sedangkan badan perahu ditutupi palka dan dikawal cadik di kedua sisinya. Susah membedakan haluan dan buritan sandek. Muka dan buntutnya sama-sama ramping, lancip dan tajam seperti mata badik. Kelar diasapi dan dicat, barulah layarnya dibuat, tidak jarang memakai tenunan benang sutra.

Kiri-kanan: Mengangkut enam ribu buku, perahu Pustaka Pattingalloang siap bertolak dengan sejumlah titik di kaki Sulawesi, antara lain Pulau Sagori, Tanjung Bira, Makassar, dan Tanjung Lero; seorang nelayan yang siap melaut menggunakan sandek.

Sandek buatan Qureisy tidak diperuntukkan bagi nelayan pemburu tuna, melainkan pembalap. “Sandek Race namanya. [Balapan perahu ini] digelar tiap tahun, rutenya dari pesisir ibu kota provinsi Sulawesi Barat hingga berakhir nantinya di Makassar, Sulawesi Selatan,” kata Qureisy. “Saya tidak sanggup naik sandek, lebih baik naik mobil. Itu mi sandek kencang sekali di!” kata Azwar, lelaki muda yang membantu Qureisy membuat paku-paku dari kayu dan bilah bambu. “Seberapa kencang?” tanya saya. “Aa, lebih mi dari seratus kilometer per jam. Pokoknya, kencang sekali,” jawabnya.

Lebar sandek tak lebih dari satu meter dan tingginya satu meter, jauh lebih tinggi dari rata-rata perahu kayu mana pun. Kedua ujungnya dicetak tajam untuk memecah gelombang. Barangkali, desain ini yang memungkinkannya melesat kencang. Apalagi sandek memiliki lambung dan palka yang kedap air, membuatnya terlihat seperti kapal Nautilus milik Kapten Nemo.

“[Perahu] ini hanya untuk lomba perahu layar, bukan untuk perang,” kata Qureisy meyakinkan saya sembari tertawa. Mungkin saya berlebihan membandingkan perahunya dengan kapal dalam film, sebab sandek tak lebih dari perahu layar bercadik memang.

Kejayaan sandek sudah berlalu. Kejayaannya tersimpan di masa silam. Dulu, sebelum Perang Dunia II, bahkan berabad-abad sebelum Perang Salib, begitu kata antropolog Horst Liebner, Sulawesi telah mengembangkan sistem pelayaran canggih untuk mengarungi samudra: sandek. Sampan kayu dengan layar segitiga ini, kata Liebner lagi, mampu melesat dengan kecepatan 40 kilometer per jam, kira-kira separuh kecepatan renang maksimum ikan tuna.

Sandek adalah sprinter tua dengan banyak prestasi di masa mudanya. Kini, ia telah tergeser dari lintasan. Abad mesin telah menggantikan layar. Semua akan berganti pada masanya, begitu petuah bijak Melayu berujar. Kebanggaan mengadu nasib dengan menangkap ikan di tengah gelombang, juga perniagaan ke pulau-pulau jauh dengan melintasi lautan dalam, semuanya telah digantikan oleh ajang balap yang ditepuktangani.

Sandek memiliki haluan dan buritan yang didesain tajam guna memecah gelombang.

Sandek Race digelar tiap tahun, bagian dari agenda pariwisata pemerintah daerah. Para pemenangnya dipuja-sanjung di koran-koran lokal sebagai pelanjut tradisi laut Mandar yang melegenda. Sandek memang belum pensiun, tapi semata berganti peran. Tapi, akankah sistem navigasi yang telah dibangun ribuan tahun itu hanya dipakai untuk sebuah lomba?

Urwa tidak suka melaut. Tidak semua orang Mandar melaut, tentu saja. Urwa lebih memilih bergerilya menggerakkan minat baca masyarakat. Dengan penuh dedikasi, dia berkeliaran mengantarkan buku untuk dibaca siapa saja. Sore ini, Urwa mengajak saya berkeliling seraya menjelaskan betapa kampung-kampung yang terserak di barat daya Sulawesi ini begitu menarik. Dengan nada setengah nyinyir, dia menjelaskan tentang pasar kampung yang dibangun pada 1989, tentang makam raja yang dikubur bersama dayangnya, juga tentang Sandek Race.

Urwa juga mengantarkan saya menemui para juara Sandek Race. “Sandek Race itu cuma lomba siapa yang paling cepat. Menjadi pelaut bukan semata soal kecepatan,” Sadar Cadang menampik sikap saya yang berlebihan mengkritisi Sandek Race. Sadar, lelaki yang mungkin berumur 40-an tahun (ia tidak tahu pada tahun berapa ia lahir), pernah berlayar hingga ke Okinawa. Dengan sandek yang melaju kencang, tentu tidak butuh waktu lama untuk sampai ke Jepang. “Tidak! Kami menggunakan jomon,” Gusman Harun, teman Sadar, meningkahi. “Kamu tahu secepat apa jomon? Bayi saja berenang lebih cepat dari itu perahu.”

Pada 2008, enam pria Mandar melaut bersama antropolog Jepang. Mereka menaiki jomon, perahu pakur yang telah dimodifikasi. Agenda mereka: napak tilas penyebaran leluhur bangsa Jepang. Pelayaran itu membutuhkan waktu tiga kali pergantian kalender. The Great Journey, begitu mereka menamai pelayaran nekat tersebut.

“Kami melintasi Taiwan. Banyak pulau yang tidak ada dalam peta kami temui. Kami juga melintasi Laut Sulu yang dipenuhi orang-orang bersenjata dan kami begitu dekat dengan Abu Sayyaf,” kenang Gusman. “Saya sendiri tidak yakin akan sampai di Jepang.”

Kiri-kanan: Ambo, pemburu telur ikan terbang, yang pernah terlibat dalam proyek film dokumenter garapan sebuah rumah produksi asal Jepang; seorang nelayan di Polewali Mandar sedang memperbaiki tiang sebelum melaut.

Tiga tahun tentu waktu yang panjang untuk sebuah pelayaran, dan pastinya lebih menyulitkan untuk pelayaran tanpa bekal ilmu navigasi yang memadai. “Tidak satu pun di antara kami yang bisa membaca kompas dan peta. Kami hanya melihat arah ombak, angin, dan bintang-bintang,” kata Sadar. Berbeda dari pelaut Bugis yang bercerita penuh penekanan layaknya aktor teater, orang Mandar adalah penutur yang datar. Pelayaran dramatis berdurasi tiga tahun itu diceritakan tanpa ekspresi yang menyala.

Pada sore yang lain, saya teronggok di kursi panjang sebuah warung di pinggir Teluk Mandar. Saya menyeruput kopi seraya menguping laki-laki Mandar membahas musim perburuan telur ikan terbang yang akan segera datang. Telur-telur itu dihargai 200.000 rupiah per kilogram. Masa perburuan setidaknya berlangsung selama seminggu, kadang bisa lebih. Jika nasib berpihak, mereka bisa mengangkut pulang 70 kilogram telur ikan terbang. Dan sandek menjadi bagian penting dari pesta perburuan tersebut.

“Tapi kini sandek tengah melihat masa kepunahannya sendiri,” Ridwan bergumam setengah berbisik. Matanya menerawang. Di depan kami, mesin pengeruk, lori, dan ekskavator, berdengung. Puluhan pekerja tengah membangun parit besar di tepi Teluk Mandar. “Bila pantai ini direklamasi, di mana sandek-sandek akan bersandar?”

Suara Ridwan mengepul ke langit-langit warung, berbaur dengan asap dari ujung sigaret. Saya membeku tak dapat menjawab.

PANDUAN
Rute
Di pesisir Sulawesi Barat, Anda bisa menemukan banyak sandek. Tapi jika ingin mempelajari perahu tradisional ini, pergilah ke Teluk Mandar, persisnya ke Kabupaten Polewali Mandar dan Majene. Untuk menjangkau Teluk Mandar, Anda bisa terbang ke Makassar, lalu meneruskan perjalanan dengan bus atau mobil sewaan. Penerbangan ke Makassar dilayani semua maskapai nasional.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2017 (“Sprinter Sulawesi”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5