Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Distrik Kuliner Baru di Hong Kong

Kennedy Town yang juga memiliki zona hijau.

Teks oleh Nick Walton
Foto oleh Callaghan Walsh

Diiringi denting bel dan derit gerbongnya, sebuah trem bertolak dari Kennedy Town dan meluncur ke arah timur. Ini ritual yang tak berubah sejak moda dua tingkat yang bising itu diluncurkan di Hong Kong pada 1912. Suaranya menenangkan, melantunkan nostalgia, setidaknya bagi saya yang pernah menetap di atas halte trem Kennedy Town selama tiga tahun.

Tapi saya datang bukan untuk mengenang wajah lama Kennedy Town. Di luar ornamen tua seperti “ding ding” (julukan trem) yang setia membelah jalan-jalan kota selama lebih dari seabad, tempat ini sebenarnya tengah mengalami transformasi besar. Kennedy Town, akhirnya, diuntungkan oleh posisinya.

Dulu, kawasan yang menyematkan nama Gubernur Hong Kong Arthur Edward Kennedy ini dicap miring sebagai “ujung jalan”—julukan yang akurat secara metaforis maupun harfiah. Banyak ekspatriat dan turis mengabaikannya. Banyak pengusaha malas meliriknya. Sekarang, kondisi itu berbalik 180 derajat: Kennedy Town sedang menjadi pujaan. Banyak warga kaya lokal dan ekspat bermukim di sini. Seiring itu, restoran, kafe, dan bar bermunculan guna memastikan para pendatang tetap betah. Saat ini, Kennedy Town bagaikan sinar terang di ujung jalan.

Kiri-kanan: Akar beringin yang menggerayangi dinding lapuk di Forbes Street; Gerbang Lo Pan Temple, kuil kuno yang terletak di Kennedy Town.

Setidaknya dua faktor melatarbelakangi perubahan itu. Pertama, faktor pendorong: meroketnya tarif sewa hunian di daerah Central. Kedua, faktor penarik: ekspansi jalur MTR Island Line pada 2014 ke Western District. Kedua faktor tersebut membuat daerah-daerah di barat Pulau Hong Kong, terutama kantong-kantong kelas pekerja seperti Kennedy Town dan Sai Ying Pun, lebih mumpuni dalam hal akses dan lebih menggiurkan secara finansial.

Masih basah dalam ingatan hari pertama saya memutuskan pindah ke Kennedy Town. Saat saya mengutarakan niat berburu apartemen di sana kepada para kolega di South China Morning Post, tempat saya bekerja dulu, teman-teman menanggapinya dengan ekspresi heran bercampur kaget. “Kenapa mau tinggal di sana?” tanya salah seorang rekan.

Bergeming, saya tetap mewujudkan kehendak itu. Saya menaiki trem, menembus jam sibuk kawasan Central, meluncur menuju area tepi laut yang gelap dan sunyi di ujung rel. Dan kenekatan saya berbalas manis. Kennedy Town sesuai dengan semua ekspektasi saya. Atmosfernya tenang, jaraknya cukup dekat ke pusat kota, dan tarif sewanya bersahabat.

Kiri-kanan: Zona hijau di Kennedy Town dengan latar gedung-gedung apartemen menjulang; lukisan di bodi trem tua yang masih setia melenggang di Kennedy Town.

Keuntungan lain dari menetap di Kennedy Town, saya bisa melatih bahasa Kanton dan bersantap seperti orang lokal. Di sini pula, saya tak perlu mengantre lama demi secangkir espresso, sebab dulu espresso praktis hanya dijajakan oleh McCafe. Saya ingat, waktu itu saya menetap di gedung enam lantai buatan 1950 yang tak dilengkapi lift. Di atapnya, saya pernah menggelar pesta barbeku bersama teman-teman, sembari menatap keluarga-keluarga yang menikmati makan malam di apartemen-apartemen semampai di atas kami. Kelar bersantap, saat malam kian larut, kami bisa menguping sirene kapal saling bersahutan di pelabuhan.

Banyak pesona lawas itu masih bertahan meski Kennedy Town kini kian trendi. Ketika banyak restoran, kafe, bar, dan pencakar langit bermunculan untuk menggoda DINKs (double income, no kids) berpaling ke Western District, kawasan yang dijuluki K-Town ini masih sungkan beranjak dari karakter dan karisma aslinya. Memang benar, banyak gedung tua, termasuk apartemen lawas saya, telah dimangsa oleh bola besi penghancur, namun setidaknya banyak situs sepuh tetap lestari. Kennedy Town saat ini adalah jukstaposisi yang memikat antara gedung tua dan muda, bisnis usang dan kontemporer.

Salah satu hidangan di Catch, restoran yang khusus menyajikan menu seafood.

“Saya pernah bekerja di daerah Central, Wan Chai, Soho, dan Admiralty,” jelas Alex Malouf, pemilik restoran seafood Catch di Catchick Street, “tapi tak satu pun dari tempat tempat itu yang memiliki suasana rukun dan komunal seperti Kennedy Town.” Catch, salah satu perintis restoran bergaya kontemporer di Kennedy Town, dilansir pada 2014. Awalnya, Alex Malouf mengaku mesti memeras keringat lebih banyak untuk membuat warga setempat sudi berpaling dari pujasera, tapi ikhtiarnya akhirnya berbuah. Seiring menanjaknya popularitas, Catch direlokasi ke ruangan yang lebih besar di sebelahnya dua tahun silam.

“Selain terpikat oleh atmosfernya yang tenang dan panorama pelabuhannya yang elok, kami memutuskan pindah ke Kennedy Town karena mengetahui jalur MTR segera hadir di sini,” kenang Alex Malouf. “Sekarang, restoran dan bar bermunculan di mana-mana. Persaingan kian sengit. Tren ini awalnya menakutkan, tapi kemudian saya menyadari, lebih ramai justru lebih baik. Lebih banyak tawaran berarti akan lebih banyak orang yang datang. Semua pihak diuntungkan.” >>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5