Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Wilayah dengan Sejuta Keindahan Alam di Selandia Baru

Menatap perbatasan utara Pelabuhan Akaroa.

Oleh Christopher P. Hill
Foto oleh Stephen Goodenough

Perjalanan saya selama seminggu di Canterbury dimulai di Christchurch, jantung kehidupan di pesisir timur South Island. Tapi bukan tempat ini yang akan membuka kisah saya. Sebuah kota yang sedang pulih dari gempa bukan obyek yang ideal di awal sebuah artikel travel.

Apakah saya harus memulai dengan cerita penampakan lumba-lumba Hector dalam mangkuk vulkanis Pelabuhan Akaroa? Atau mungkin pendaratan pesawat di Gletser Tasman, lapisan beku nan sepuh yang menjulang di Alpen Selatan? Hemat saya, artikel ini sebaiknya dimulai dari kisah di akhir trip: berkelana di atas Lake Tekapo dan memandangi langit malam, cakrawala tebal bertabur bintang yang bersinar terang seperti bros perak dengan latar gelap.

Area ini bertengger di atap Gunung John, nama hambar yang tidak terkait secuil pun dengan fakta bahwa gunung ini menyimpan fasilitas utama pengamatan planet di Selandia Baru, sebuah observatorium jagat raya yang dikelola oleh University of Canterbury. Di sini pula terdapat satu dari empat “langit gelap”, julukan bagi kawasan di mana awan minim dan polusi cahaya nyaris absen sepenuhnya, prakondisi yang ideal bagi atraksi pengamatan bintang yang spektakuler. (Bus yang membawa kami ke Gunung John bahkan diwajibkan memadamkan lampu depan sebelum menggapai puncak agar tidak mengganggu peralatan penelitian yang sensitif di observatorium—aturan yang membuat jantung kami kadang berdebar lebih kencang).

Berlokasi di dekat Taman Nasional Aoraki Mount Cook, The Hermitage menawarkan panorama lembah es dan puncak-puncak Alpen Selatan yang bertopi salju.

Andaikan saya tahu semua tawaran Lake Tekapo sebelum membeli paket Earth and Sky Stargazing Tour, saya mungkin tak akan terkejut saat menemukan serakan bintang di angkasa. Kala pemandu menggunakan laser pointer untuk menuntun kami menyusuri nirwana tersebut, paduan suara berisi ungkapan takjub terus terlontar dari bibir saya. Kami tak bisa menemukan awan, karena, mengutip kata-kata pujangga Lewis Carroll, “no cloud was in the sky.” Selaput yang terlihat di langit hanyalah Magellan Clouds—dua galaksi yang mengorbit galaksi Bima Sakti dan berjarak puluhan ribu tahun cahaya—serta seluruh lingkaran busur Bima Sakti (disebut Te Ikaroa oleh Suku Maori), yang oleh legenda digambarkan sebagai ikan raksasa yang berenang melintasi langit. Ada Orion di barat, Scorpius yang terbit di timur, Southern Cross, juga gugusan bintang yang dijuluki Jewel Box; ditambah gas cloud dan nebula; serta Venus dan Mars yang bertengger di suatu tempat dan mudah tertang-kap oleh mata telanjang, asalkan Anda tahu apa yang dicari.

Saya mencoba menyeruput secangkir cokelat panas, tapi leher saya seolah menderita “salah bantal” akibat terlalu lama mendongak, sama parahnya dengan pengalaman di Sistine Chapel. Dan pertunjukan belum usai. Meski kami tak punya akses ke observatorium, kami berhasil memasuki kubah pengamatan yang dihuni teleskop mungil yang ampuh. Saya mengintip Saturnus beserta cincin dan segala aksesorinya; sebuah bola pucat yang dibingkai oleh kegelapan angkasa. Termenung kagum di hadapan panorama tersebut, kibasan sehelai bulu kiwi sepertinya cukup untuk merobohkan saya.

Kiri-kanan: Hanggar perahu di Akaroa; Berkendara melewati mercusuar dari abad ke-19 di Akaroa.

Keagungan kosmos membuat manusia merasa kerdil dan tak berarti. Sama halnya dengan bencana alam. Februari 2011, gempa 6,3 skala Richter mengguncang Christchurch, kota paling padat penduduk setelah Auckland di Selandia Baru, sekaligus gerbang menuju South Island. Bencana itu memakan 185 nyawa dan menyebabkan kerugian miliaran dolar. Ini hanya sebagian catatan hitam yang saya ketahui, dan informasi singkat tersebut tak membuat saya siap untuk menyaksikan kehancuran yang tersisa. Sementara kehidupan bergulir normal di dua mal pinggiran kota, Merivale dan Riccarton, daerah yang berada lebih dari 10 blok di luar pusat kota—kawasan yang dikategorikan “zona merah”—dikepung pagar besi. Jalan-jalan di sisi luarnya terbengkalai bagaikan lokasi syuting film fiksi ilmiah bertema dunia pascakiamat. Namun, bukan berarti kehidupan nihil total: para pekerja membereskan puing-puing; crane dan ekskavator meruntuhkan puluhan bangunan rapuh. Di antara mereka, ada satu obyek yang mengundang kontroversi: Christchurch Cathedral, gereja Anglikan dari abad ke-19. Menaranya runtuh dihajar bencana.