Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengulas Tren Bisnis Fotografi Liburan

Oleh Cristian Rahadiansyah

Permisi, boleh tolong bantu potret saya?” Kalimat itu sepertinya bakal kian jarang terdengar. Bukan karena orang kian malas membawa tongsis atau cemas kameranya dicolong, tapi lebih karena jasa fotografi liburan makin mudah ditemukan.

Salah satu perintis bisnis ini adalah Flytographer, perusahaan yang didirikan di Kanada pada 2013, tiga tahun selepas Instagram diluncurkan. Model bisnisnya simpel. Klien cukup memilih destinasi, menentukan durasi sesi foto, membayar tarif, bertemu fotografer di lokasi, lalu mengunduh hasil fotonya. Praktis.

Dua tahun berselang, perusahaan sejenis muncul di Miami dengan nama Shoot My Travel, disusul oleh beberapa nama baru  di belahan lain dunia. Di Indonesia, pemain besar di ceruk ini antara lain SweetEscape dan Frame A Trip.

Perusahaan-perusahaan itu lahir dari kebutuhan. Foto liburan merupakan salah satu komoditas terlaris di era digital. Di Instagram, setidaknya hingga Mei 2019,  ada 100 juta post untuk tagar vacation (3,8 juta untuk #liburan). Mungkin benar, meminjam jargon generasi milenial, “liburan baru benar nyata jika ada bukti fotonya.”

Guna memikat kaum pengelana yang haus foto, agensi foto liburan menjanjikan biaya yang lebih murah ketimbang membawa fotografer pribadi, serta kamera yang lebih bagus dibandingkan telepon genggam. Selain itu, agensi umumnya mengandalkan fotografer lokal, dengan begitu klien bisa mendapatkan rekomendasi tempat yang hanya diketahui oleh orang lokal. 

Akan tetapi, seiring maraknya agensi foto liburan, proses memilihnya pun kian pelik. Tawaran mereka sangat mirip, dengan tampilan web yang kerap juga mirip, kadang dengan konten yang nyaris identik. Konsumen mesti lebih jeli membuat perbandingan sebelum memilih.

Perbedaan paling kentara di antara para agensi foto terletak pada tarif. Shoot My Travel misalnya, mematok $195 untuk sesi foto sejam. Durasi serupa dibanderol $350  oleh Flytographer. Satu catatan di sini, disparitas tarif turut dipengaruhi oleh jumlah  foto yang didapat klien (15 foto untuk Shoot My Travel; dan 30 untuk Flytographer).

Perbedaan lainnya terlihat pada cakupan destinasi.  SweetEscape menaungi fotografer di 562 lokasi, dari Bali hingga Bora Bora. Pesaingnya, Frame A Trip, mengoleksi separuhnya. Ada kalanya, pilihan tempat itu disertai portofolio fotografernya, dengan begitu klien bisa menyeleksi gaya visual sesuai selera.

Agensi foto mesti dipesan jauh hari, biasanya dua minggu sebelum trip. Untuk kebutuhan foto yang muncul di tengah liburan, solusinya ialah “on-demand photography service.” Mirip Go-Jek khusus foto, layanan ini menyediakan juru kamera untuk kebutuhan dadakan, misalnya jika Anda tiba-tiba ingin melamar pasangan di kaki Menara Eiffel.

Jasa Instagram takeover dari jaringan hotel Ibis di Swiss. (Foto: Ibis)

Beberapa penyedia jasa “fotografer panggilan” ini ialah Perfocal, Snappr, serta PhotoSesh. Tarif mereka variatif. Sesi foto 60 menit dengan hasil foto sepuasnya dipatok £99 (sekitar $130) oleh Perfocal. Durasi serupa dibanderol $109 oleh Snappr dengan jumlah foto hanya enam buah.

Baca juga: Traveling Masa Kini; Tur Khusus Pelancong Milenial di Roma; Jasa Admin Instagram untuk Tamu Hotel

Alternatif lain untuk foto liburan ialah menginap di hotel yang menyediakan jasa fotografer. Tahun lalu, jaringan Ibis di Swiss menawarkan layanan Instagram takeover. Mereka menyewa sejumlah influencer yang ditugasi memotret sesuai ekspektasi tamu, mengunggah fotonya, bahkan meladeni komentar follower.

Tawaran sedikit berbeda dilansir oleh Conrad Maldives Dua tahun silam, resor ini meluncurkan profesi Instagram Butler yang bertugas merekomendasikan lokasi, sudut, dan momen paling fotogenik di sekitar resor. Setahun berselang, resor ini melansir layanan sesi foto selama sejam di restoran bawah laut miliknya.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/September 2019 (“Potret Pelesir”).