web analytics
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tanah Kelahiran Silat

Kiri-kanan: Ari Pardi mewarisi darah silat dan seni dari buyutnya, Inyiak Upiak Palatiang. Kini dia menempuh pendidikan pascasarjana jurusan Musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang; murid-murid perguruan silat Satria Muda Indonesia sedang berlatih gerakan ‘sapuan buaya.’

Oleh Fatris MF
Foto oleh Yoppy Pieter

Alkisah, pada 1880, polisi Belanda akhirnya berhasil menangkap Si Rancak. Bandit licin yang dijuluki Satanische Ogen (Mata Setan) itu sudah berkali-kali coba diringkus, tapi selalu saja lolos. Berapa punjumlahnya, opsir tak sanggup meladeninya berkelahi. Si Rancak terkenal jago silat. Dalam pengepungan yang terakhir, dia dilumpuhkan dengan beberapa butir timah panas.

Tapi penerus-penerus Si Rancak, generasi “Robin Hood” seperti Si Baruak dan Si Patai, terus berkeliaran. Mereka memiliki catatan keonaran yang lebih tebal. Si Patai, misalnya, terlibat pemberontakan dalam kurun 1926-1927 di Pauh dan Koto Tangah. Selama bertahun-tahun, dia memicu rusuh, termasuk membunuh pegawai Belanda dan merampok orang-orang kaya. Dalam Padang Riwayatmu Dulu, Rusli Amran mengisahkan Si Patai sering masuk kampung dan membagikan uang kepada warga.

Si Patai juga pernah dibekuk. Seorang tentara menembaknya dari jarak dekat. Dalam keadaan luka parah, dia dikurung, tapi ajaibnya kesehatannya justru pulih di dalam bui. Ketika akhirnya berhasil dibunuh, mayat Si Patai diusung keliling kota, dipertontonkan kepada orang ramai. “Pentolan komunis Si Patai tewas,” begitu tajuk utama majalah Pandji Poestaka terbitan 1927. “Kalau pun diberi prediket penjahat, maka gelar yang paling tepat buatnya adalah penjahat jentelmen,” catat seorang wartawan Belanda, Hulsman, penuh kagum.

Para “social bandit” itu adalah legiun pendekar, pesilat yang menguasai ilmu bela diri tinggi. Kepiawaian mereka bersilat, sebagaimana digambarkan roman Sengsara Membawa Nikmat, “bagai terbang di udara.” Mereka dididik di perguruan-perguruan yang bertebaran di Minangkabau. Ilmu yang mereka pelajari bukan cuma silat, tapi juga kebatinan.

Padang, kota penting di Sumatera, di masa lalu pernah berstatus sentra silat. Dalam biografinya, Abdullah Injiak Basa Bandaro, yang pernah menjadi guru silat di Kampung Jawa, menuturkan di Padang pada “masa itu sudah banyak sasaran [padepokan] silat.” Kota ini menjadi tempat berkumpulnya “pendekar-pendekar dari segala daerah.” Di manakah para pendekar penerusnya kini?

Roby Taslim dan Apry Jeki bersiap bertarung di kawasan pesisir Pariaman.

Saya berkelana di Padang saat hujan sudah lama tak mengucur. Terik membakar. Sungai-sungai mengering dan jalan raya penuh debu. Gerah merambat ke sekujur badan. Persimpangan dimeriahkan klakson kendaraan yang menyalak, khas kota Dunia Ketiga yang bising dan runyam.

Sebuah pergelaran dengan nama yang nyentrik sedang bergulir—Silek Arts Festival. Berbagai jurus dari berbagai aliran diperagakan. Gubernur, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, dan pejabat-pejabat daerah hadir menontonnya. Banyak orang memuji Silek Arts Festival. “Ini event akbar tahun ini,” kata seseorang di sebuah warung. “Ini akan mampu mengangkat silat lebih maju lagi,” kata yang lain. “Ini akan mengundang wisatawan asing lebih banyak lagi,” entah kata siapa lagi.

Tak jauh dari lokasi festival, saya duduk di sebuah warung kopi di Bukit Karamuntiang, daerah paling utara dari Pauh, negeri kuno yang dulu memproduksi para bandit sekaliber Si Patai, Si Rancak, dan Si Baruak. Kata seorang pejabat kolonial, Pauh adalah negeri “penyamun” yang paling susah takluk. Dalam novel Hulubalang Raja, Nur Sutan Iskandar, sastrawan angkatan Balai Pustaka, juga menyebut Pauh sebagai sarang penyamun. Melihat asap dari tungku rumah-rumah penduduk saja membuat hati gentar untuk melewatinya, begitu dia menggambarkannya. Citra angker itu kian mencekam akibat auman harimau yang sering terdengar dari hutan lebat di tepi Pauh.

Baca juga: Rahasia Dapur Ranah Minang

Tapi itu mungkin hanyalah penilaian buruk yang dipengaruhi perspektif bias para penjajah. Pauh, desa di tepi Padang, memang telah lama merepotkan para meneer lantaran perlawanannya yang simultan, jauh sebelum kelahiran Si Patai dan pengikutnya. Negeri ini juga punya aliran silat yang melegenda: Silek Pauh.

Saya datang ketika Pauh bukan lagi desa angker, walau bulan kemarin warganya menangkap seekor harimau yang berkeliaran di sudut kampung. Pauh kini merupakan kota satelit yang tumbuh tak terbendung. Universitas Andalas, perguruan tinggi tertua di Sumatera, terpancang di sini sejak tiga dekade silam. Jalan-jalan menuju Pauh dicetak lebar. Pusat keramaian merekah di tiap perempatan dan macet adalah pemandangan jamak. Sawah-sawah luas yang dulu menjadikan Pauh pusat beras, semakin terjepit oleh perumahan yang terus melebar. Masih adakah pesilat di Pauh?

Kiri-kanan: Tabiang Takuruang, kawasan elok di Ngarai Sianok yang kerap dijadikan medan ujian perguruan silat; Razali, pendiri perguruan Bugih Lamo yang bermarkas di Padang Pariaman.

“Belajar silat itu rumit,” jelas Irwandi, salah seorang penerus Silek Pauh. “Dua tahun saya mengikuti seorang guru. Kalau dia capek, saya urutkan berjam-jam. Dia haus, saya buatkan kopi. Belajar silat sama dia, itu aih, dia tidak punya rasa kasihan kalau mengajar. Saya pernah 20 hari susah menelan makanan.”

Baca juga: Jejak Peradaban Minang di Solok Selatan

Di usia 33 tahun, Irwandi menyandang titel guru di sebuah perguruan di Lubuk Lintah, dulu bagian dari Pauh. Ketika silat kian popular usai Asian Games, saya membayangkan jabatannya kini tentu sangat dihormati. “Itu hanya bunga silat,” timpalnya tentang Asian Games. “Pertandingan diatur. Tidak boleh [menyerang] bagian ini dan itu. Silat yang dianggap gemulai dan seperti menari-nari itu namanya pencak.”

Di tengah obrolan, Irwandi memegang rahang, memperagakan kunci-kunci mematikan warisan gurunya. Baginya, setiap sendi tubuh begitu lunak, begitu mudah patah. “Selama dua tahun, saya hanya diajar sedikit saja,” katanya tersenyum. “Bertemulah dengannya,” kata Irwandi lagi dengan tenang, tanpa intonasi yang melonjak-lonjak sebagaimana umumnya masyarakat pesisir barat Sumatera.

Setelah dipanggang terik cukup lama, hujan mendadak turun deras. Air menggenangi kota. Usai melintasi jalan-jalan basah, saya menemui seorang lelaki uzur yang sudah malang melintang di jagat persilatan. Di rumahnya, dia duduk di sofa merah bungur yang busanya menyembul di banyak bagian. Pada dinding bata yang belum dilapisi semen, tergantung plakat-plakat penghargaan yang telah buram.

Inilah lelaki yang bagi murid-muridnya lebih banyak dimitoskan ketimbang hadir sebagai sosok yang rill. Dia pernah ditabrak motor, tapi masih hidup. Pada gempa 2009 silam, dia ketiban beton rumahnya, namun selamat tanpa bekas. Dulu pula, kakek ini pernah ditembak opsir Belanda, tapi lagi-lagi nyawanya bertahan.

Kiri-kanan: Foto usang Inyiak Upiak Palatiang, pendekar perempuan asal Tanah Datar yang meninggal pada 2010 di usia 110 tahun; ‘buka rumah gadang indak bapintu,’ istilah untuk pose siaga seorang pesilat sebelum bertarung.

Namanya Kasurin. Dia lahir pada 1927. Istrinya tak terhitung, tapi dia ingat 27 orang di antaranya. Bukan berarti ingatannya sudah pudar. Kasurin ingat ke mana saja dia pernah dikirim sebagai prajurit. Ketika Jepang datang, dia dilatih sebagai Heiho. Jenis-jenis senjata api dihafalnya di luar kepala. Di tubuhnya yang ceking, di lapis kulitnya yang kendur, tersimpan tujuh butir peluru!

“Seperti apakah filosofi silat yang sebetulnya?” tanya saya dengan nada agak congkak. “Silat itu membunuh secara cepat. Di gelanggang, itu tarian. Itu pencak. Silat bukan begitu, tidak indah. Walau silat pada hakikatnya hubungan dengan Tuhan, menyambung silaturahim,” jawab Kasurin datar.

Darinyalah kalimat Irwandi rupanya berasal, pikir saya. Kasurin lalu tertawa sambil memukulkan tongkat besi ke kepalanya. Bunyinya berdengkang panjang. Saya terperanjat. Tak mau lagi bertanya.

Konon, Silek Pauh merupakan keturunan dari aliran silat yang jauh lebih tua di jantung Minangkabau—Silek Tuo. Ibarat parfum, Silek Tuo dipercaya sebagai “biang” dari segala aliran di Ranah Minang, bahkan di Tanah Melayu. Benarkah?

“Semua seni pertunjukan di Minangkabau, gerak dasarnya dari silek. Randai, atau tari, semua berakar dari silek,” Dasrul, seorang akademisi dan penerus Silek Pauh, menjabarkan teorinya di sebuah warung.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5