by Yohanes Sandy 31 December, 2014
Surga Laut di Kota Kinabalu
Tak lama setelah kami berenang, Mayback menyelam ke dasar laut dan membawa sepotong karang rusak. “Sepertinya patah akibat tertimpa jangkar,” katanya. “Kapal seharusnya tidak melego jangkar di taman nasional.” Setelah menyelam kembali untuk menempelkan karang, dia menunjuk patahan lainnya, lalu menyalahkan kaki katak penyelam atau siput drupella yang hobi mengunyah karang. Secara umum, karang di sini subur. Di suatu titik, hiu blacktip melewati kami, seolah bingung dengan kehadiran manusia.
Sore harinya, kami snorkeling di house reef resor. Warna-warna neon dari tubuh kawanan wrasse dan parrotfish terlihat semarak tersorot sinar ultraviolet. Ikan gobi berkeliaran di lubang yang digali oleh udang pistol. “Satwa-satwa ini melakukan aktivitas yang sama sepanjang hari, setiap hari,” ujar Mayback sembari menggelengkan kepala menyaksikan perilaku makhluk laut.
Barrel sponge menganga layaknya corong mutan; jari-jari lentik sabellidae menguncup setiap kali tersentuh. Ikan chromis biru-hijau bergoyang-goyang, sementara sepasang clownfish keluar-masuk anemone. Seekor kerapu bersembunyi di kolong karang meja. Belum pernah saya menyaksikan alam laut yang begitu rancak dan semarak di lokasi yang berjarak sangat dekat dari resor.
Malamnya, saya mengikuti sesi sunset cruise di atas Lumba-Lumba, yacht sepanjang 20 meter buatan Inggris yang dipercantik Louis Vuitton. Perahu merayap dari dermaga resor, lalu berputar setengah lingkaran di sekitar pulau, melewati Kota Kinabalu, hingga akhirnya kembali bersauh. Saat para penumpang mengagumi langit barat, kelasi menyajikan sauvignon blanc Selandia Baru yang memberi sensasi buah, serta cabernet sauvignon Chili yang beraroma kayu oak. Pulau Gaya dan Sapi di sisi kanan, sementara Mamutik dan Manukan di kiri. Perahu nelayan melenggang pelan ke batas cakrawala yang memudar. Laut nyaris tak beriak. Semuanya terlihat seperti lukisan.
Di luar semua pesonanya, Gaya tidak sepenuhnya bebas masalah. Kawasan yang dinobatkan sebagai hutan lindung pada 1923 ini menghadapi problem-problem klasik lingkungan yang terpaut dengan isu pembangunan dan kemiskinan. Di Kampung Pulau Gaya, sampah (kantong plastik, kaleng soda, sandal jepit, dan kemasan makanan) bertumpuk di segaris pantai. Desa berisi sekitar 500 keluarga ini tidak memiliki sistem air bersih dan pengolahan limbah. Toilet di sini hanyalah berupa lubang di bawah lantai rumah. Otoritas setempat pernah menyebar keranjang sampah, tapi sebagian justru raib dicuri warga. “Kacau,” ujar salah seorang warga ketika saya bertanya tentang kondisi tersebut. “Tapi orang-orang seolah tidak peduli.” >>>