by Kurniadi Widodo 12 July, 2017
Di Pekalongan, Batik Adalah Motor Perubahan
Oleh Ayos Purwoaji
Foto oleh Kurniadi Widodo
Pekalongan, sebagaimana kota-kota lainnya di sepanjang pantai utara Jawa, adalah perlintasan yang tak mengenal kata perai. Sepanjang waktu, bus antarkota melesat ugal-ugalan, truk-truk penuh muatan hilir mudik, bergiliran mengikis lapisan aspal jalur Daendels dan mewariskan lubang-lubang seukuran kolam lele.
Namun, di luar jalan-jalan utamanya yang sibuk, Pekalongan sejatinya kota guyub yang mengantuk lebih awal. Pukul sembilan malam, kehidupan meredup. Kedai dan pertokoan tutup. Hanya warung-warung ketan dan kopi tahlil yang beroperasi selepas tengah malam. Tidak tampak kegiatan yang berarti dari anak muda kota. Maka sungguh mengherankan jika tiga tahun silam Pekalongan didaulat UNESCO sebagai Kota Kreatif. Ia kota pertama di Indonesia yang masuk jaringan elite itu, mendahului Bandung yang telah mengincarnya sejak lama.
“Saya orang yang merumuskan usulan Kota Kreatif ke UNESCO,” kata Zahir Widadi di teras rumahnya di Kampung Noyontaan yang teduh. Pernah memimpin Museum Batik Pekalongan, juga menggelar berbagai riset dan membawa batik ke forum-forum internasional, Zahir kini menjabat dekan Fakultas Batik di Universitas Pekalongan. “Di kampus kami, mahasiswa tidak hanya belajar teknik dan pengembangan motif, tetapi juga filsafat batik,” katanya lagi.
Bicara seputar batik, Zahir adalah figur yang disegani. Saat ini dia memusatkan energinya meriset pewarna alami batik. Dulu, sebelum bahan kimia tersedia, para perajin memakai piksa, mahoni, tingi, tegeran, secang, atau jalawe untuk memproduksi pewarna. Kini bahan-bahan natural tersebut mulai dilupakan karena pengerjaannya yang rumit dan pasokannya yang seret akibat perubahan ekosistem. Inilah problem yang coba dijawab Zahir. Dia mengembangkan dan mempromosikan kembali pewarna alami. Di halaman rumahnya, Zahir menanam beberapa pohon indigofera yang menghasilkan warna biru. “Selain membagi ilmunya, saya juga senang untuk memberikan tumbuhannya ke-pada tamu yang berminat,” ujarnya.
Gerimis turun dan obrolan kami kian menarik. Berbagai aspek perbatikan dikupas Zahir secara komprehensif, mulai dari persaingan bisnis, manajemen museum, hingga falsafah dan spiritualitas batik. Di tengah obrolan, saya mulai menyadari, meski memiliki pemahaman yang luas mengenai dunia perbatikan, Zahir masih kesulitan menjelaskan manfaat riil status Kota Kreatif bagi Pekalongan. “Ya mungkin belum terasa saat ini. Tapi kita perlu menanggapinya dengan positif, karena apa yang datang dari UNESCO pastilah baik…” pungkasnya.
Batik dan Pekalongan adalah dua kata yang tak bisa dipisahkan. Ada ratusan rumah produksi batik yang melibatkan ribuan manusia tersebar merata di hampir seluruh kampung di kota ini. Untuk memahami skala industri batik Pekalongan, saya menemui EH Kartanegara, mantan jurnalis sebuah majalah mingguan, yang saat ini lebih banyak menghabiskan waktunya sebagai budayawan.
Di sebuah warung, Eha, panggilan akrabnya, menunjukkan saya beberapa foto Desa Buaran, salah satu sentra batik cap dan cetak. Di salah satu foto tampak beberapa pria sedang menjemur kain-kain batik di atas batang bambu. Di foto lainnya, seorang pemuda menjemur kain di atas tanah lapang. Kata Eha, pengusaha batik di Buaran per harinya memproduksi kain batik sepanjang empat puluh kilometer—cukup untuk melapisi jalan dari Pekalongan ke Pemalang. “Di Desa Buaran,” lanjut Eha, “sawah-sawah berubah menjadi lapangan untuk menjemur batik.”
Dari desa-desa semacam Buaran, batik-batik Pekalongan dikirim ke banyak daerah. Sebuah perusahaan ekspedisi yang melayani pengiriman batik ke Tanah Abang saja mengangkut rata-rata 2.000 kodi kain batik saban malamnya. “Bisa dipastikan, 70 persen batik yang beredar di Tanah Abang, Thamrin City, bahkan Klewer dan Beringharjo, berasal dari Pekalongan,” simpul Eha. Berdasarkan skala produksinya saja, memang tak ada kota lain yang lebih layak menyandang predikat Kota Batik selain Pekalongan.
Seraya menyimak Eha, saya menyantap nasi megono yang ditemani tempe garit panas yang luar biasa gurih. Eha kini berpaling ke topik lain: kejayaan batik Pekalongan era 1960-an. Saat itu bermunculan orang kaya baru: para juragan yang bergaya hidup norak. Mereka membeli mobil-mobil mewah semacam Impala di saat jalan-jalan kota ini masih berupa makadam. Bahkan untuk merayakan pesta ulang tahun atau syukuran sunatan anak, para sosialita Pekalongan itu tak segan menanggap grup kondang sekaliber Dara Puspita atau The Rollies. “Mereka itu ongkah-ongkahan, tidak mau saling mengalah,” kata Eha mengingat masa lalu, sembari bersyukur karena berkat kelakuan para juragan batik itu pula dia bisa menonton gratis aksi Ucok AKA di Pekalongan.
Bisnis batik bukan cuma soal kain, tentu saja. Ada banyak usaha turunan yang turut andil dan turut untung di dalamnya. Melintasi Sungai Pekalongan, saya seperti menyaksikan saksi pertumbuhan industri batik sepanjang sejarah. Menurut anekdot satir yang sering saya dengar dari warga lokal, saking kreatifnya warga Pekalongan, bahkan sungai pun ikut-ikutan dibatik. Airnya bisa berwarna marun, hijau, biru, atau hitam, tergantung pranggok mana yang membuang limbahnya saat itu.
Di ujung sebuah jembatan tipis yang melintasi sungai, Muhammad Rochim menanti saya dengan senyum hangat. Kami belum pernah bertemu, hanya saja beberapa menit sebelumnya saya tersasar ke bengkel canting cap milik kakaknya, lalu disarankan berkunjung ke bengkel milik Rochim yang lebih besar.
Rochim mengundang saya ke rumahnya yang sederhana di Kampung Yosorejo. Setandan pisang dan beberapa gelas teh kemasan terhidang di meja tamu. Di seberang saya, tiga orang membuat canting cap dengan iringan tembang campursari. Rochim menunjukkan saya beberapa canting buatannya. Bahannya lembaran tembaga yang disusun terampil, penuh detail yang mengagumkan laksana kerja-kerja artisan dari dapur seni rupa. “Sekarang kami sedang mengerjakan pesanan dari Cirebon,” kata Rochim.
Seorang perajin menghabiskan waktu seminggu atau lebih untuk menghasilkan sebuah canting cap, tergantung kerumitannya. Sebuah canting cap berukuran kecil, 18 x 18 sentimeter, dihargai Rp700.000, relatif murah mengingat daya tahannya melintasi dua generasi. Keahlian membuat canting cap galibnya dipelajari sejak kecil, turun-temurun dari buyut ke embah ke pak’e. “Saya sendiri belajar dari SD, awalnya hanya menonton bapak bekerja, kemudian belajar memotong pelat tembaga, hingga akhirnya boleh belajar merangkai,” kenang Rochim yang mengaku sejak SMA telah mendapatkan uang jajan bermodalkan keahlian membuat canting cap.
Kawasan Landungsari dan sekitarnya, termasuk Kampung Yosorejo, merupakan penghasil canting cap yang tersohor di Jawa. Para perajinnya menyuplai kebutuhan para pengusaha batik cap yang bertaburan di sepanjang wilayah pesisir, mulai dari Cirebon, Indramayu, Batang, Lasem, Tuban, Sidoarjo, hingga Madura. “Bahkan saya sempat dapat pesanan cukup banyak dari Bengkulu dan Papua,” tambah Rochim.
Sebetulnya Pekalongan tidak hanya me masok canting cap. Kota ini juga memproduk- si hampir semua kebutuhan perbatikan. Seorang kawan memberi tahu sebuah toko kecil bercat biru di dekat alun-alun Kota Pekalongan yang menjadi semacam Glodok bagi pengusaha batik dari penjuru Indonesia. Semua alat dan bahan batik tersedia. Tinggal sebut namanya dan—ini yang keren—kita boleh membayar dengan sistem kredit.
Layaknya Kota Batik, Pekalongan disatroni banyak turis yang ingin berbelanja batik. Dua tempat belanja yang populer di sini adalah Pasar Grosir Setono dan International Batik Center (IBC). Berhubung saya mengamini adagium kuno “when in Rome, do as the Romans do,” saya pun mencoret kedua tempat itu. Kata beberapa orang, warga Pekalongan pergi ke Pasar Kedungwuni jika ingin membeli batik.
Awalnya saya membayangkan Kedungwuni sebagai pasar eksotis seperti yang terpampang pada foto-foto sepia: berkarung-karung batik dari kampung diangkut dengan dokar; ibu-ibu pedagang mengenakan jarik 85 dan mengunyah sirih. Sayangnya, begitu saya menyusuri lapak-lapak Kedungwuni, yang hadir di benak saya justru perasaan kehilangan. Dari puluhan kios, hanya satu yang menjajakan batik. Kios-kios lainnya justru menjual sandang impor dari Tiongkok, mukena buatan Tasikmalaya, serta celana jin asal Bandung. Batik telah tergusur dari Kedungwuni. Adagium saya meleset.
Kios satu-satunya yang masih berjualan batik itu dikelola oleh Haji Muhammad Fauzi. Dia mulai berdagang sejak 1967. Posisi kiosnya cukup hoki: di ujung persimpangan yang dilewati banyak orang. “Dulunya ini kios bapak saya. Nanti kalau saya meninggal, akan saya wariskan ke anak bungsu,” kata Haji Fauzi. Dari keenam anaknya, belum ada yang mengikuti jejaknya. Di pundak anak terakhirnya Haji Fauzi kini menyandarkan masa depan bisnis keluarga.
Haji Fauzi bergerak cekatan di kiosnya. Usianya sudah kepala tujuh, tapi staminanya belum mengendur. Haji Fauzi awalnya berjualan kain mori, canting, dan malam. Tapi berhubung margin keuntungannya terlalu tipis, dia mengembangkan usaha dengan menawarkan jasa mencelup kain mori serta berdagang batik halus dan batik cap. “Jika dibandingkan dengan Setono dan IBC tentu harganya jauh berbeda,” akunya. Di kedua tempat populer itu, harga selembar kain batik memang disesuaikan dengan kantong turis.
Di tengah obrolan, seorang perempuan muda berjilbab datang menghampiri kios. Dia tertarik dengan selembar daster batik berwarna kuning yang digantung di muka kios. Haji Fauzi menyebut harganya dan dahi si perempuan langsung berkerut. ”Minggu lalu harganya tidak segitu kok?” sergahnya. Dengan senyum mengembang di wajah, seakan pa-ham trik klasik para calon pembeli, Haji Fauzi menimpalinya dengan trik yang sama klasiknya: “Itu kan minggu lalu, sekarang ini semua harga sedang bergejolak.”
Saya mengulum senyum melihat tawar-menawar yang akrab antara pedagang dan pembeli. Hingga akhirnya, setelah sekian jurus negosiasi yang alot, perempuan itu menyerah dan pulang dengan tangan hampa. “Banyak kawan saya, pedagang batik di pasar ini, gulung tikar karena perang harga menuruti kemauan pelanggan,” kata Haji Fauzi, yang mengaku tidak sudi menurunkan standar harga. Prinsip yang dianutnya: biar kata untung sedikit, asalkan tidak merugi. “Kalau harganya belum cocok, ya berarti belum berjodoh. Saya percaya batik akan menemukan pembelinya sendiri.”
Saya bertanya kepada Haji Fauzi alasan harga batik bergejolak? “Menuruti hati,” jawabnya enteng. Artinya, di hari yang sama, sehelai kain yang serupa bisa saja dibanderol dengan harga yang berbeda. “Kalau hati sedang senang, ya harganya bisa murah…” kata Haji Fauzi lagi sembari menata dagangannya. Saya tertegun. Ini model transaksi yang luput dari perhatian Adam Smith saat merumuskan seperangkat teorema ekonomi modern.
Pada 2006, sebuah gudang gulden peninggalan VOC diubah menjadi Museum Batik. Koleksinya cukup lengkap, mulai dari batik klasik, lawasan, hingga kontemporer. Koleksi yang dipamerkan juga direvisi dua kali per tahun, sehingga menghindarkan pengunjung dari rasa jenuh sekaligus membuktikan kurator museum ini tidak makan gaji buta.
Museum Batik Pekalongan pernah diganjar penghargaan UNESCO berkat program-program edukatifnya yang mengajak siswa sekolah mengenal dan merasakan proses membatik. Di gedung bergaya Palladian ini, batik diwariskan sebagai budaya yang hidup, bukan sebagai artefak yang membeku dalam sejarah. Terinspirasi inisiatif itu pula, Pemkot Pekalongan menetapkan batik sebagai muatan lokal yang diajarkan di tiap tingkatan sekolah.
Interior museum menampung tiga ruang pamer utama. Ruang pertama menatap masa lalu: mengulas sejarah dan serba-serbi batik di Pekalongan. Ruang kedua memperlihatkan kemajemukan: memajang batik-batik Nusantara. Sementara ruang terakhir membayangkan masa depan: menampilkan batik hasil eksperimen, salah satunya dalam wujud lukisan batik karya Abbas Alibasjah.
Berkelana di ruang “masa depan,” mata saya tertuju pada sebidang papan yang dipasang pihak museum guna menampung aspi-rasi tentang batik dari pengunjung. Saya menyusuri tulisan-tulisan mereka, satu demi satu, lalu menemukan sebait tulisan karya seorang anak yang berbunyi “Cintailah Batik Seperti Engkau Mencintai Pacarmu!!!”
Jaringan Kota Kreatif diciptakan oleh UNESCO pada 2004. Hingga kini sudah 116 kota dari 54 negara yang tergabung di dalamnya. Pekalongan masuk daftar ini di kategori “kriya dan seni rakyat.” Alasannya apa lagi kalau bukan batik. Tim UNESCO menilai, di Pekalongan, batik merupakan pilar ekonomi, bagian integral dari budaya, juga unsur vital dalam identitas kota.
Tapi Kota Kreatif bukanlah gelar yang berhenti usai upacara penobatan. Dengan menyandangnya, Pekalongan mesti memper-lihatkan ikhtiar yang sungguh-sungguh dalam merawat dan mengembangkan batik sebagai motor pertumbuhan kota. Dan Pekalongan melakukannya tak cuma lewat museum dan sekolah, tapi juga melalui tangan-tangan telaten para senimannya. Salah satunya saya temukan di Pekajangan.
Kelurahan Pekajangan, sekitar 10 kilometer dari pusat kota, pernah menikmati kemakmuran berkat industri kain mori. Bekas-bekas kekayaan para juragan masa silam masih melekat pada peninggalan arsitekturnya yang beragam, mulai dari rumah-rumah bergaya vernakular, kolonial, art deco, hingga jengki. Saya mampir di salah satu rumah yang berdesain eklektik. Pada bagian muka tertancap joglo sepuh yang bersanding dengan beberapa struktur bangunan khas Tionghoa. Sementara di sisi belakangnya terdapat rumah tinggal dan pranggok, sebuah bengkel batik yang menampung belasan pegawai.
Sang empunya rumah, Dudung Alie Sjahbana, adalah seniman batik yang cukup berpengaruh. Saya pertama kali mengenalnya dua tahun silam melalui sebuah pameran di Bromo. Karya-karya Dudung saat itu menyita perhatian. Dia menggunakan sebidang wastra sebagai medium ekspresi yang jujur, bukan hanya komoditas yang bernilai ekonomis. Lembar-lembar batik karyanya menyuarakan amarah dan pemberontakan. Menurut sang seniman, eksplorasinya itu dipicu rasa geram saat melihat kain bermotif sakral parang rusak dipakai sebagai taplak meja makan oleh Presiden Yudhoyono tatkala menjamu Barack Obama di Istana Negara. “Akhirnya saya bikin batik parang rusak banget. Kalau ini mau dipakai keset sekalipun ya monggo, asal jangan merendahkan motifnya Ngarso Dalem,” ujarnya.
Kritik semacam itu bukanlah sesuatu yang janggal. Bagi masyarakat Jawa, kain batik memang tak berfungsi sebagai sandang belaka, tapi juga simbol yang mewakili kehidupan itu sendiri. Perancang busana Edward Hutabarat menyebutnya “kain peradaban.” Ada tata makna yang mesti dijaga, sebab batik adalah elemen penting dalam banyak tahapan hidup manusia Jawa sejak dalam kandungan hingga liang lahad.
Di tempat-tempat di Jawa di mana budaya masih dipandang adiluhung, usia kehamilan tujuh bulan dirayakan lewat upacara mitoni yang melibatkan 10 jenis kain batik. Dalam ritual menyambut kedewasaan, seorang remaja mengenakan batik halus yang melambangkan harapan akan watak yang baik. Saat seorang pria melamar kekasihnya, keluarganya mengenakan batik parang yang mewakili ketajaman olah pikir dan rasa. Dan akhirnya, ketika ajal datang, orang Jawa sebelum dikuburkan akan dibalut batik kawung yang bermakna “kesunyian.”
Pekalongan mengamini semua mitologi tersebut, tapi di saat yang sama kota ini membuka celah bagi seniman untuk bereksperimen dengan batik. Kecuali untuk ritual-ritual sakral di mana aturan dikawal ketat oleh tradisi, batik tidaklah mengharamkan ekspresi dan modifikasi. Keterbukaan semacam inilah yang sebenarnya menyuntikkan elan kreatif dalam perjalanan batik Pekalongan.
Sejak ratusan tahun lalu, Pekalongan telah menjadi kuali yang mempertemukan dan melebur banyak kebudayaan. “Bahkan sejak kecil kami dikenalkan tradisi lisan berupa lagu yang menggambarkan keragaman kultural Pekalongan,” kenang Dudung. “Syairnya: encik cino londo tuan bombay singkek yapan.”
Dari proses silang budaya itulah lahir ragam hias dan pola warna batik yang kaya, terutama jika kita membandingkannya dengan batik Solo dan Yogyakarta. Batik jlamprang yang disebut asli Pekalongan misalnya, sangat dipengaruhi oleh motif patola asal India. Contoh lainnya, batik rifa’iyah, dikembangkan oleh sebuah tarekat Islam, karena itu tidak menampilkan citra makhluk hidup. Impak asing juga tampak pada batik buketan karya wanita blasteran yang membawa kultur Eropa; serta batik peranakan yang dihiasi simbol mitologis seperti liong dan phoenix.
Menurut Dudung, dengan atau tanpa pengakuan dari UNESCO, Pekalongan tetaplah kota kreatif. Pengakuan tersebut, baginya, hanyalah sebuah “legitimasi atas sejarah pan-jang kreativitas yang dimiliki Pekalongan.” Dan sejarah itu belum berhenti. Hingga hari ini, setiap perajin masih mengembangkan motifnya sendiri. Tidak ada pakem yang mengikat. Kain batik bagaikan kanvas yang terbuka bagi beragam ekspresi dari beragam kutub, persis seperti yang diperlihatkan Dudung, yang ketika saya datang tengah mengembangkan batik besurek yang ditaburi kaligrafi Arab Melayu. “Dua bulan lalu saya berpameran tunggal batik besurek di Bentara Budaya Jakarta,” kenangnya.
Dengan referensi visual yang kaya, Dudung kini bergerak luwes melebur batas antara Timur dan Barat, antara yang sakral dan profan. Di sudut rumahnya, dia menunjukkan beberapa ragam hias batik pada materi kulit dan kayu. Ada gunungan wayang bermotif kawung yang dikombinasikan dengan isen ala Starry Night-nya Van Gogh. Ada pula motif megamendung yang bersanding unik dengan ikonografi ombak ala Hokusai.
Upaya Dudung untuk memberi tafsir segar atas batik itu sempat menuai kritik dan cibiran, termasuk dari seniornya, Iwan Tirta, yang pernah mengatakan, “Kamu ini bikin apa sih, Dung?” Hari ini, di Pekalongan, sebuah kota yang bertekad menjadikan kreativitas mesin perubahan, pertanyaan yang lebih tepat diajukan barangkali: “Bikin apa lagi, Dung?”
PANDUAN
Rute
Pekalongan terletak di pesisir utara Jawa Tengah. Kota ini belum memiliki bandara. Untuk menjangkaunya, kita bisa terbang dulu ke Yogyakarta, lalu berkendara selama lima jam via Magelang. Opsi lain yang lebih singkat adalah
dari Semarang dengan menaiki Kereta Argo (kai.id) selama 90 menit.
Informasi
Berkat batik, Pekalongan ditetapkan oleh UNESCO sebagai anggota Jaringan Kota Kreatif (en.unesco.org/creative-cities). Untuk memahami batik di kota ini, kunjungi Museum Batik Pekalongan (Jl. Jatayu 3; 0285/431-698; museumbatikpekalongan.info). Jika ingin melihat proses produksi batik, datangi Desa Buaran dan Kampung
Yosorejo. untuk berbelanja batik, dua opsi yang populer adalah Pasar Grosir Setono (Jl. Dr. Sutomo 01-02; 0285/421-321; batik-setono.com) dan International Batik Center (Jl. Ahmad Yani 573; 0285/4416-958; cintapekalongan.com). Jika ingin melihat karya para seniman batik, datangi Workshop Batik Dudung Alie Sjahbana (Pekajangan 19 No. 11; 0816-650-103) dan Batik Art Oey Soe Tjoen (Jl. Raya Kedungwuni 104; 0285/785-268).
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei-Juni 2017 (“Kota Kriya”)