Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Rahasia Kota Melbourne

Memasuki toko, saya disambut poster Blondie dan Led Zeppelin yang bersanding di atas rak CD dan kaset. Entah siapa yang  masih membeli kaset di zaman digital. Basement Discs seperti tempat yang mengawetkan masa lalu. “Melbourne terkenal dengan budaya kopi dan brunch-nya, tapi memulai hari di Basement Discs bagi saya adalah alternatif yang tak kalah menarik,” bisik Fiona. Bagi saya, Melbourne bagaikan hasil kawin  silang antara Singapura yang tertib dan Bandung yang kreatif. Dengan status pusat finansial, Melbourne jelas memiliki aturan yang ketat dan standar keamanan yang prima. Tapi  metropolitan ini tidak lantas berubah kaku dengan mengharamkan ekspresi. Itu juga mungkin sebabnya Melbourne dijuluki “pusat  budaya” Australia. Bahkan aliran seni Australian impressionism lahir di sini.

Kiri-kanan: Lapangan luas di depan Federation Square; Federation square, area yang dihuni struktur berdesain kontemporer di pusat kota.

Saya datang saat Melbourne sedang berbunga-bunga. Akhir tahun silam, lembaga riset Economist Intelligence Unit menempatkannya di posisi wahid dalam daftar Global  Liveability Ranking. Ini pencapaian kelima Melbourne secara berturut-turut. Membanggakan tentunya, termasuk bagi Fiona, yang berulang kali mengungkapkan prestasi kotanya itu. Dan warga lebih bangga usai mendapati Sydney berada di peringkat ketujuh. Maklum, kedua kota ini sudah lama bersaing untuk menjadi yang terbaik di Australia. Economist Intelligence Unit menyusun peringkat “kota layak huni” berdasarkan evaluasi atas kualitas kesehatan, keamanan, infrastruktur, lingkungan, dan pendidikan.

Di semua aspek itu, Melbourne mencapai nilai nyaris sempurna, mengalahkan kota-kota dengan “peradaban” yang jauh lebih senior semacam Wina, Helsinki, dan Zurich. “Hal semacam ini yang merangsang warga  lokal percaya diri untuk membuka usaha,” ujar Maria Paoli, seorang pakar kopi saya temui di persimpangan Flinders Lane. Baginya, status “kota layak huni” berarti terbukanya kesempatan untuk berwiraswasta bagi warga. “Lihat saja kedai-kedai kopi yang kini bertebaran,” tambah Maria, “mereka berhasil memukul bisnis Starbucks.”

Area semi-terbuka di kedai kopi St. ALi.

Ngopi adalah bagian integral dari wisata  kuliner di Melbourne, tak ubahnya makan nasi  campur di Bali. Di kota ini, kopi diperlakukan serius, termasuk oleh Maria, wanita dengan tato “coffee scoop” di lengannya. Menekuni dunia “perkopian” selama 10 tahun, Maria sudah melatih banyak barista dan pernah mengadakan kompetisi barista pada 2006. Di Brunetti Cafe, dengan ditemani secangkir latte, saya mendengarkan ceramah Maria tentang third wave coffee movement, budaya ngopi yang mewabah di Melbourne (dan kini menular ke Indonesia).

“Warga rutin pergi ke kedai kopi yang memiliki mesin cold drip dan mesin sangrai, lalu memesan satu hingga dua cangkir cappuccino, kemudian memilih menu brunch favorit. Sungguh tipikal third wave coffee movement,” jelasnya. Dipandu Maria, saya melakoni tur kopi.  Kami melewati kedai-kedai beraliran third wave, menyaksikan orang-orang yang mengagungkan kopi layaknya oenophile memuja wine. Kami singgah di Patricia Coffee Brewers, kafe yang cuma menawarkan tiga opsi  kopi—black, white, dan filter—tapi dengan fleksibilitas racikan sesuai selera tamu.

“Ketika memesan, kita jarang hanya menyebut black atau white, tapi pasti menambahkan pesan-pesan seperti ‘sedikit gula’ atau ‘sedikit  creamer.’ Di sini, mereka benar-benar menyimak pesan-pesan tersebut dan menghasilkan gelas-gelas kopi dengan racikan yang persis sesuai permintaan kita,” jelas Maria. Dengan darah bercampur kafein, saya dan  Patricia menaiki trem sonder bayar menuju kawasan Southbank, lalu mampir di ST. ALi, kafe butik yang begitu dipuja hingga menyerupai sebuah sekte.