Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Proyek Katedral Terlama di Dunia

Uskup Agung Angelo Scola saat misa.

Oleh Luigi Alfieri
Foto oleh Alessandro Gandolfi

Di jantung Milan terdapat sebuah gereja yang dirangkai dari kerang dan pasir.Sekitar 320.000 ton kalsium karbonat, komponen utama marmer, menyusun tubuh Duomo di Milano, rumah ibadah yang paling fotogenik di Italia. Sosoknya gigantik: menaungi 135 batang menara, 3.400 buah patung, 200 lembar relief, fasad setinggi 56 meter, lima aula, 52 pilar interior setinggi 24 meter. Marmer di sekujur tubuhnya memancarkan kilau yang unik, terutama selepas hujan, dan semua bahan ini dipasok dari Candoglia.

Tambang Candoglia adalah tempat yang vital untuk memahami riwayat Duomo. Syahdan, sekitar 800 juta tahun silam di wilayah yang kini bernama Val d’Ossola, laut mengering, meninggalkan berton-ton kerang, pasir, dan lempung yang kemudian tertimbun di bawah tanah selama berabad-abad. Limbah lautan itu ditekan permukaan bumi, dipanggang suhu 900 derajat celsius, lalu meleleh dan menghasilkan bahan bangunan dengan kecantikan yang melegenda: marmer Candoglia. Akan tetapi, marmer ini sebenarnya menyimpan bom waktu, dan inilah yang membuat Duomo menarik dibahas. Di luar kemegahannya, katedral agung ini menyandarkan hidupnya pada kemampuan para “penjinak bom” berpacu melawan waktu.

Alun-Alun Duomo, Milan dilihat dari udara.

Marmer Candoglia mengidap satu kelemahan janggal: setelah satu abad terpapar hujan dan angin, kandungan kalsium karbonatnya melempem, kehilangan kerapatan, kemudian marmer pun retak. Artinya, setiap bagian Duomo memiliki masa kedaluwarsa 100 tahun. Bagian-bagian itu mencakup patung, relief, menara, juga pilar. Semuanya digerinda waktu, dan semuanya, cepat atau lambat, mesti diganti, walau penggantiannya tidak dilakoni serentak berhubung gereja ini sejatinya dibangun bertahap. Duomo, seperti judul lakon karya pujangga Eduardo De Filippo, adalah “tugas yang tak pernah tuntas.”

Kenapa Duomo memakai marmer Candoglia? Untuk menjawabnya, kita mesti menengok sejenak riwayat pendiriannya. Alkisah, pada abad ke-14, Milan memiliki dua katedral. Keduanya bertetangga dengan bentuk yang nyaris kembar siam: Santa Tecla dan Santa Maria Maggiore. Pada suatu hari, salah satu menara katedral itu roboh. Didesak publik untuk memugarnya, Uskup Milan Antonio da Saluzzo memilih meruntuhkan kedua katedral dan mengerek rumah ibadah baru yang didedikasikan bagi Santa Maria Nascente.

Para pemuka gereja meninggalkan altar usai berdoa.

Kala itu, sang uskup mendambakan sesuatu yang lazim: sebuah katedral berbahan bata dengan desain gotik khas bangsa Lombard. Tapi iktikad tersebut tak sejalan dengan ambisi Gian Galeazzo Visconti, Conte di Virtu, Duke of Milan pertama yang memerintah sebagian wilayah Italia Utara. Sang penguasa berniat menjadikan pembangunan katedral momentum untuk melambungkan nama besar keluarganya.

Singkat kata, Gian Galeazzo mengambil alih proyek. Langkah pertama yang ditempuhnya: mengubah konsep desain katedral. Berniat meroketkan pamor Milan sebagai kekuatan politik yang sejajar dengan imperium-imperium Eropa di sisi utara, Gian Galeazzo mengadopsi gaya arsitektural yang asing di Italia, tapi lumrah di Prancis, Belanda, dan Inggris: gotik flamboyan. Tak cuma desainnya, bahkan bahan konstruksinya pun harus berbeda dari katedral lain di Italia: marmer, materi yang lebih mahal dari bata.

Proses pengecekan marmer di Duomo kerjakan setiap hari secara terus menerus.

Proyek religius-politik itu mulai bergulir pada 1386. Pertama-tama, Gian Galeazzo mendirikan Veneranda Fabbrica del Duomo, sejenis kontraktor yang bertugas mengelola semua sumber daya untuk mendirikan katedral. Setelah itu, Gian Galeazzo memberikan Veneranda hak eksklusif penggunaan marmer hasil Tambang Candoglia. Marmer yang begitu menawan tapi ternyata ringkih. Saat memutuskan memakai marmer Candoglia, Gian Galeazzo tentu saja tidak mengetahui kerapuhan intrinsik pada tubuh marmer. Dan disebabkan keputusannya itu, pihak kontraktor belum bisa pensiun walau katedral sudah kelar dibangun. Hingga hari ini, Veneranda masih bertugas merawat Duomo.

Tambang Candoglia terletak di sebuah bukit di Val d’Ossola, sebuah tempat magis di mana kita bisa menikmati panorama elok Danau Mergozzo. Kendati demikian, di sini pula kita bisa melihat “sisi gelap” Duomo: lubang sedalam 150 meter, setinggi 55 meter, selebar 30 meter. Dari kegelapan inilah, sekali per tahun, marmer-marmer berkilap dipanen, digergaji, dan dipotong kotak.

Bongkahan marmer yang tengah diangkut truk dari Ossola valley ke Milan.

Per tahunnya, Veneranda membutuhkan 100 meter kubik marmer guna memulihkan bagian-bagian tubuh Duomo. Sejak masa kekuasaan Gian Galeazzo hingga abad mesin melahirkan truk, balok-balok marmer dikirim menggunakan perahu yang disebut piatte. Dari Lembah Candoglia, bongkahan-bongkahan batu dikapalkan melalui Sungai Toce, Danau Mergozzo, Sungai Ticino, kemudian menyusuri kanal Naviglio Grande hingga akhirnya mendarat di Dermaga Sant’Eustorgio di Milan. Dari sini, memanfaatkan sistem pintu air cerdik garapan Veneranda, marmer bisa dengan mudah dibawa ke seutas jalan yang sekarang bernama Laghetto, hanya beberapa ratus meter dari Duomo.

Ada satu kisah menarik tentang proses ekspedisi marmer itu. Berdasarkan titah Gian Galeazzo, perahu piatte yang mengangkut marmer dan materi konstruksi mendapatkan fasilitas bebas bea. Mereka bisa bergerak leluasa ke mana saja tanpa membayar retribusi. Guna membedakannya dari perahu lain, piatte menyematkan pelang bertuliskan Ad Usum Fabricae Operis (“untuk digunakan pabrik Duomo”). Kalimat ini, yang kemudian disingkat Ad UFO, melahirkan ekspresi populer yang hingga kini masih terdengar di utara Italia. Banyak orang memakainya untuk menandai segala hal yang gratis atau diperoleh dengan cara culas, sebab dulu banyak orang menyalahgunakan piatte untuk memasuki Milan tanpa membayar ongkos perahu. Satu hal yang berbeda dari proses pengiriman marmer hari ini, balok-balok besar tidak langsung memasuki Duomo, melainkan terlebih dulu diangkut truk menuju Certosa, laboratorium modern yang diasuh oleh Veneranda.

Para anggota koor Corale Giuseppe Verdi of Parma tengah bersiap untuk pertunjukan di teras gereja.

Perawatan Duomo amat menguras kesabaran. Hampir setiap hari, teknisi memukul-mukulkan palu ke seluruh sudut katedral. Mereka menguji kekuatan marmer, dekorasi, lengkungan, patung. Beberapa tukang menggerayangi menara dengan tubuh terikat tali. Tugas ini biasanya diberikan kepada mereka yang memiliki pengalaman mendaki gunung.

Untuk mendeteksi kerapuhan marmer, caranya relatif simpel. Jika saat dipukul marmer mengeluarkan suara nyaring yang tajam, berarti tidak ada masalah. Tapi jika suaranya sayu, berarti bagian itu sedang sekarat dan mesti segera diganti, tak peduli meski wujudnya arca renta yang tak ternilai.

Dua turis melihat sebuah patung kuno yang sebelumnya dipasang di Duomo.

Di katedral, semua bagian yang rapuh didata dan digambar. Di tahap berikutnya, giliran laboratorium Certosa mengambil alih pekerjaan. Laboratorium ini dihuni oleh para perajin yang piawai dalam memangkas, memahat, dan menghaluskan marmer. Merujuk gambar kiriman teknisi, mereka memotong-motong marmer memakai bantuan pantograph dan kabel berlian.

Mesin memudahkan tugas yang menuntut akurasi dan presisi itu. Tapi mesin tak sanggup menuntaskan semua pekerjaan. Beberapa elemen gereja harus dibuat mengandalkan jiwa seni manusia, misalnya daun-daun acanthus, helai sayap malaikat, karangan bunga, gumpalan awan nimbus, dan ekspresi murka iblis. “Hanya tangan manusia yang bisa menyuntikkan kehidupan ke marmer, juga mencipta-ulang letupan emosi para pematung di masa lampau,” jelas Gino Giacomelli, manajer laboratorium Certosa.

Pekerja Veneranda yang bersiap untuk memoles marmer baru di tubuh Duomo.

Yang menarik disaksikan dari perawatan Duomo bukan hanya proses perbaikannya, tapi juga residunya. Di halaman Certosa, kita bisa menemukan salah satu keajaiban Milan yang begitu menyihir mata: kuburan massal berisi patung-patung usang koleksi Duomo. Bagaikan komposisi metafisik yang sureal, tempat ini menyuguhkan ratusan figur malaikat dan iblis, kesatria dan santo, martir dan monster, pahlawan dan nabi, serta penguasa, pendosa, dan aulia.

Patung-patung itu menyiratkan kehidupan, tapi tubuh mereka telah keropos dikikis hujan, digerus angin dan polusi. Ajal mereka datang saat palu para pekerja mendapati tubuh mereka bersuara sumbang. Setelah itu, patung-patung direlokasi, diganti, walau tak selamanya dilupakan. Bus-bus turis rutin datang ke “kompleks makam” Certosa. Orang-orang singgah sejenak, memotret, lalu hengkang, mungkin tanpa menyadari mereka tengah menatap jejak iman dan waktu dari sebuah kota.

Para ahli dari Veneranda memeriksa kondisi marmer di tubuh Duomo.

Banyak orang memang tak sadar jika Duomo sejatinya masih berproses. Sekitar 100.000 orang menziarahi katedral ini per pekannya, tapi mungkin hanya segelintir yang benar-benar memahami pekerjaan besar yang bergulir di sekitar, di dalam, dan di balik bangunan. Lihat misalnya lantai bawah Duomo yang menyimpan sebuah pabrik berisi mesin-mesin besar, toilet, gudang, klinik, dan kantin. Sekitar 40 orang yang bekerja di sini menganut moto “rumah Tuhan harus lebih baik dari semua rumah.”

Ketika di dalam katedral jemaah melayangkan doa, di bawah kaki mereka orang-orang bekerja keras menata batu, memotong marmer, menghaluskan kayu, dan menyambung kabel. Ketika di dalam katedral para turis sibuk memotret mahakarya seni religius, di atas kepala mereka para teknisi bergerak gesit layaknya tupai yang melacak marmer yang rapuh, menyeka patina pada relief-relief yang terpahat tinggi, memastikan Madonnina terus bersinar di langit Milan.

Fasad megah Duomo di Milano, salah satu objek wisata populer di Milan.

Seperti kota Milan yang ditempatinya, Duomo terus berevolusi. Ia tak ubahnya organisme berbahan marmer yang dialiri darah rawan penyakit di pembuluhnya. Para pekerjalah yang memastikan makhluk renta ini tetap hidup. Saban hari sepanjang tahun, mereka melacak boroknya, menyembuhkannya, memastikannya tak menyerah pada usia.

Sudah lebih dari 600 tahun Duomo menyalurkan doa jemaah. Sejak peletakan batu pertamanya, rumah ibadah ini dirangkai secara bertahap dan lambat selama berabad-abad. Duomo adalah katedral gotik flamboyan yang sempat akan diganti ke gaya klasik oleh Kardinal Carlo Borromeo selepas periode Counter-Reformation. Duomo adalah juga gereja yang hingga abad ke-17 belum tuntas dikerek sampai-sampai bagian sayapnya sempat dijadikan jalur kereta kuda. Dan Duomo adalah rumah ibadah yang bagian fasadnya mulai dirampungkan pada 1807 atas perintah Napoleon. Akan tetapi, hingga kini, Duomo belumlah selesai.

Raul Manini, salah seorang staf tambang yang berpose di depan bongkahan marmer raksasa.

Berjalan-jalan di Duomo kita bisa melihat kreativitas seni abad ke-20. Ada patung petinju Primo Carnera, Mussolini, juga Santo Benedetto Menni. Mungkin kelak kita akan melihat wajah Paus Francis, sebab Duomo memang masih membuka diri pada perbaikan, pada perubahan, layaknya kota Milan yang terbuka pada dunia.

Dan “terbuka” adalah kata yang pas untuk menggambarkan Duomo. Keputusan Gian Galeazzo memakai marmer Candoglia ketimbang bata memicu revolusi teknik rekayasa bangunan di Milan, sekaligus memaksa pihak kontraktor menyewa insinyur, arsitek, pematung, dan lapidaries (ahli potong batu mulia) dari banyak kawasan di Eropa. Sejak itu, Duomo terus menjadi persinggahan bagi banyak orang dengan latar budaya yang berbeda. Ia adalah ruang berbagai pengalaman, gagasan, juga keahlian. Duomo merupakan katedral gotik yang “paling Eropa,” sebagaimana Milan merupakan kota Italia yang “paling Eropa.”

Seorang staf di bengkel pemotongan batu Veneranda Fabbrica del Duomo.

Jika kelak berkunjung ke Duomo, luangkan waktu untuk bersantai di alun-alunnya. Selepas hujan, marmer di sekujur bangunan akan menembakkan rona jambon. Pancarannya mungkin sejenak membingungkan nalar, sebab marmer Duomo mewakili kalkulasi yang tak tepermanai: enam abad, tapi aslinya 800 ratus juta tahun. Rumah ibadah ini dirangkai dari kerang dan pasir yang berasal dari masa ketika tahun belum dihitung.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2017 (“Gedung Tak Berujung”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5