Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pesona Magis Bhutan

Pemandangan kota Bhutan yang memukau.
Pemandangan kota Bhutan yang memukau.

Oleh Christopher P. Hill
Foto oleh Martin Westlake

Tekstur jalanan ini menghasilkan efek pijat. Anda menyukainya?” tanya pemandu saya yang bijak sekaligus kocak, Sangay Dorji. Dengan perut mual dan tubuh yang menciut di kursi belakang, saya kesulitan mencerna lelucon tersebut. Minivan Hyundai yang kami tumpangi melompat-lompat di tikungan yang dikawal jurang, meluncur ke kaki gunung dari Dochula Pass. Sangay memutar tubuhnya, lalu dengan mata berbinar melontarkan lelucon berikutnya: “tak perlu berterimakasih, pijat ini gratis, ha ha ha!”

Sangay terlihat sudah kebal terhadap vertigo yang disuntik-kan oleh dataran tinggi Bhutan. Pria yang mengenakan busana nasional gho bermotif kotak-kotak ini menjemput kami di bandara di Paro sehari silam, dan sejak itu dia tak berhenti berkelakar. Suatu kali, dia bertanya: “definisi pernikahan yang sempurna di Bhutan? Suaminya tuli, istrinya buta, ha ha ha!

Kendati bergaya pelawak, pria berusia 28 tahun ini lebih cocok disebut pusat informasi turis. Bibirnya terus membeberkan aneka data dan fakta tentang Bhutan, hingga saya merasa sedang membaca halaman Wikipedia. Dalam mobil yang bermanuver zigzag di pinggang gunung berselimutkan alder, cypress, bambu, dan kayu putih, kami belajar banyak hal tentang Bhutan. Bahwa negeri seukuran Swiss ini memiliki luas 38.394 kilometer persegi. Bahwa 72 persen wilayahnya dilapisi hutan. Bahwa hampir setengah pendapatannya bersumber dari bisnis hidroelektrik, proyek yang memproduksi 1.500 megawatt listrik, yang sebagian besar diekspor ke negara tetangga—India. Bahwa alamnya dihuni 620 spesies burung, 46 jenis tanaman rhododendron, 2.674 danau gletser, serta (menurut sensus terakhir) 716.896 manusia. Fakta lain yang tak kalah penting, jalan yang sedang kami susuri ini berbelok tiap sembilan detik.

Kiri-kanan: Biara Taktsang dengan konstruksinya yang mengagumkan; Seorang gadis lokal dengan busana khas.
Kiri-kanan: Biara Taktsang dengan konstruksinya yang mengagumkan; Seorang gadis lokal dengan busana khas.

Ketika saya merenungkan semua data tersebut, sebuah truk penuh dekorasi yang jelas-jelas kelebihan muatan, melewati kami di sebuah tikungan tajam dan meninggalkan suara gemuruh. Di samping pintunya tertulis, “Good Luck”. Saya lalu bertanya kepada Sangay, seberapa banyak “luck” yang dibutuhkan untuk selamat di rute uji nyali ini.

“Tak perlu khawatir, Chris,” jawabnya sembari melirik ke sang sopir yang bertampang serius. “Teman saya, Lekey, sangatlah berbakat. Seorang profesional sejati. Bagaikan Michael Schumacher versi Bhutan!”

Bhutan adalah negeri yang penuh senyum. Walau alam mengurungnya. Meski budaya mistik mengisi raganya. Di kerajaan ini, metode keluar-masuk paling praktis adalah menaiki Drukair, satu dari hanya dua maskapai nasional Bhutan. Armadanya cuma tiga unit Airbus dan sebuah turboprop berkapasitas 48 kursi. Tiap pilotnya mesti mengikuti latihan intensif sebelum mengangkasa di atas pegunungan menuju Lembah Paro.

Di Bhutan, tidak ada lampu lalu lintas. Tidak ada pencakar langit. Tidak ada papan reklame. Dan tidak ada gerai Starbucks maupun KFC. Kesejahteraan tidak diukur memakai parameter Produk Domestik Bruto (PDB), melainkan indeks misterius yang disebut Kebahagiaan Domestik Bruto. Prioritas negara ini bukan uang, tapi pembangunan yang berkelanjutan, serta pelestarian budaya dan lingkungan.

Pariwisata baru dirintis pada 1974. Sejalan dengan semangat untuk memproteksi alam dan budaya, pemerintah setempat memberlakukan aturan ketat di sektor turisme. Pelancong tidak bisa datang semaunya. Tiap orang diwajibkan memesan paket tur. Regulasi ini bertujuan menangkal infiltrasi backpacker, agar negeri ini tidak bernasib seperti Nepal. Kondisi tersebut sebenarnya menguntungkan bagi pengunjung, terutama jika kita telah mampu beradaptasi dengan jalan-jalan berbahaya dan tradisi memasak lokal yang ekstrem.

Negeri yang pernah menganut feodalisme ini memang tertutup, tapi tidak sepenuhnya terisolasi. Televisi dan Internet hadir 14 tahun silam. Kendati demikian, eksotismenya masih terawat. Bhutan adalah salah satu benteng terakhir bagi Buddha Tantrayana, ajaran yang merangsek pada abad ketujuh dari Tibet dan kini menjadi arteri spiritual yang menghubungkan komunitas-komunitas di lokasi yang berjauhan.

Negeri yang berada di tengah udara tipis Himalaya ini juga mengoleksi bangunan yang evokatif, seperti citadel megah yang disebut dzong (kombinasi biara dan balai kota), serta rumah-rumah berbahan lumpur dan kayu di desa-desa. Peraturan mengharuskan semua struktur mengaplikasikan gaya adat lokal, seperti atap pelana dan jendela berbingkai kayu. Inilah yang membuat kota-kota di Bhutan, termasuk ibu kotanya, Thimphu, terus memancarkan aura abad pertengahan.

Kiri-kanan: Selasar tengah Punakha Dzong, bangunan yang didirikan pada 1673; Biksu dan lonceng doa di Punakha Dzong.
Kiri-kanan: Selasar tengah Punakha Dzong, bangunan yang didirikan pada 1673; Biksu dan lonceng doa di Punakha Dzong.

Pemerintah juga menerapkan aturan berpakaian. Di ruang publik, sejak pagi hingga sore, warga diwajibkan mengenakkan pakaian tradisional. Pria memakai gho, kostum mirip tunik, ditambah kaus kaki sebatas lutut. Sedangkan wanita memakai gaun bersetagen yang disebut kira, dengan tambahan blus lengan panjang dan selendang di bahu. Berada di tengah-tengah mereka, saya merasa sedang menghadiri pesta kostum.

Warga umumnya sangat percaya diri, baik hati, dan rupawan. Figur ideal Bhutan adalah Jigme Khesar Namgyel Wangchuck, raja berusia 33 tahun lulusan Oxford; serta permaisuri cantik Jetsun Pema. Potret keduanya terpampang di mana-mana, layaknya bendera-bendera doa.

Raja sebelumnya, Jigme Singye, dikenal berjiwa progresif sekaligus penuh perhitungan. Pada 2005, dia menggegerkan dunia lewat keputusannya untuk turun takhta dan mentransformasi Bhutan menjadi negara demokrasi parlementer. Penerusnya, Khesar, tak kalah karismatik. Dia mengambil hati pengikutnya lewat aksi “sidak” ke desa-desa terpencil untuk menyapa warga dan menggelar dialog di tepi jalan. Penguasa yang kerap disebut King Five (penguasa kelima dalam garis keturunan ningrat dalam satu abad terakhir) ini bahkan memiliki akun Facebook.

Penginapan-penginapan mewah adalah magnet Bhutan lainnya. Dua perintisnya adalah Amankora dan Uma Paro. Yang terakhir ini dibuka di Paro pada 2004 dan kini telah memiliki properti kedua di Lembah Punakha, sekitar lima jam berkendara ke arah timur laut. Grup lainnya, Taj asal India, mengelola hotel elegan berisi 66 kamar di Thimphu.

Dari ketiganya, Aman adalah yang paling ekspansif. Grup ini mendirikan lima kompleks penginapan butik di lima lembah berbeda, walau semuanya menyandang nama yang sama: Amankora. Paket utamanya adalah menyelami kehidupan di Bhutan dengan menginap di kelima kompleks tersebut—berpindah dari satu pondokan ke pondokan lain, dari satu lembah ke lembah lain. Tur lintas-lembah ini tecermin dalam nama “kora” yang artinya “berziarah” dalam bahasa nasional Dzongkha.

Kiri-kanan: Sarapan di Amankora; Kamar di Amankora.
Kiri-kanan: Sarapan di Amankora; Kamar di Amankora.

Saya pun mencicipinya. Di hari pertama, saya bermukim di Amankora Thimphu yang hinggap di lereng rindang di atas ibu kota Bhutan. Di sini pula untuk pertama kalinya saya menyantap daging yak (disajikan dalam bentuk sandwich yang diikat cabai dan disebut Yak Attack), serta tidur di ruang berpanel kayu yang dilengkapi kompor bukhari.

Kembali ke jalan, saya dan rombongan kini meluncur ke Lembah Phobjikha, di mana delapan suite Amankora ditata rapi di atas bukit berbalut hutan pinus. Kami sempat berhenti dua kali di tengah jalan, untuk meluruskan kaki di antara stupa-stupa di Dochula Pass, lalu menggelar piknik makan siang di tepi sungai yang berarus deras. Jarak dari Thimphu ke Lembah Phobjikha sangat jauh, dan terasa kian menguras energi akibat proyek perbaikan jalan di etape terakhir.

Kami melewati puncak lembah dalam kondisi gelap. Lampu mobil menangkap siluet kawanan yak di pinggir jalan. Akhirnya, kami mendarat di depan pondokan, lalu melangkah di atas jalan berlapiskan jarum-jarum pinus kenyal menuju meja berisi makanan dan wiski. Usai perjalanan yang melelahkan, mendarat di hotel terasa begitu menyenangkan. Mungkin inilah Kebahagiaan Domestik Bruto ala Bhutan.

Déjà vu. Inilah kesan yang pertama muncul saat saya memasuki kamar. Amankora cabang Gangtey dan Thimphu menampilkan desain interior serupa. Hanyalah panorama di balik jendela yang membuat kedua properti tersebut terasa berbeda.

Desain Amankora menggabungkan gaya modern dan tradisional.
Desain Amankora menggabungkan gaya modern dan tradisional.

Di Gangtey, saya menatap Lembah Phobjikha, hamparan masif berisi lahan basah dan kebun kentang yang dihiasi rumah-rumah petani berparas putih di ketinggian 3.000 meter. Pada punggung bukit di kejauhan, ada Gangtey Goemba, biara dari abad ke-16. Kami mengunjunginya setelah sarapan, mengikuti Sangay yang berjalan searah jarum jam di ruang doa bagaikan ritual pradaksina di candi-candi Buddha.

Daya tarik utama lembah ini adalah crane berleher hitam. Tiap awal Oktober, ratusan ekor crane bermigrasi dari Tibet ke sini guna menghabiskan musim dingin. Sangay mengantar kami ke desa terdekat. Kami meniti rute yang dikawal barisan pinus dan bambu kerdil. Selama 40 menit menyusuri tepian lembah, kami hanya bertemu satu orang, yakni seorang wanita sepuh yang berjalan tertatih dengan tumpukan jarum pinus di kepalanya. Kata Sangay, jarum pinus itu akan dicampur dengan feses sapi untuk membuat pupuk kandang.

Tiba di sebuah bukit kecil, kami berjongkok untuk menonton kawanan crane. “Crane membawa berkah,” kata Jigme Tanzin, seorang asisten manajer di Amankora. “Berkat mereka, lembah ini terlindungi. Anda tidak akan melihat kabel telepon atau listrik.”

Kami menikmati makan malam berisi pangsit daging babi dan labu kari di gudang kentang dekat resor. Gudang sedang kosong, tak ada tumpukan kentang malam ini. Interiornya diterangi puluhan lilin. Udaranya dihangatkan oleh kompor portabel bukhari. Gudang ini agak menakutkan sekaligus magis. Layaknya ruang diskusi cerita-cerita hantu.

Untungnya, Jigme mengangkat tema budaya, persisnya tentang adat lokal yang kian memudar. Dia mengambil contoh ritual kencan yang lazim dijuluki “malam berburu.” Inti ritual ini adalah, atas dasar suka sama suka, seorang pemuda akan menyelinap ke rumah seorang gadis di malam hari untuk bercumbu. Jika sang pemuda berhasil keluar dari rumah sebelum tertangkap basah oleh orang tua si gadis, maka ia tak wajib menikahinya.

Rumah petani sepuh yang kini menampung ruang makan, perpustakaan, dan area meditasi di Amankora Punakha.
Rumah petani sepuh yang kini menampung ruang makan, perpustakaan, dan area meditasi di Amankora Punakha.

Bagaimana jika sang pemuda ingin menikahi sang gadis? tanya saya. “Dia akan sengaja berdiam di rumah itu untuk kemudian sarapan bersama.”

Usai sarapan, kami kembali ke minivan dan menuju Lembah Punakha, kembali melewati rute berat seperti di hari sebelumnya. Tapi kali ini kami tidak mengambil arah Dochula Pass, melainkan meniti meander Sungai Punatshang yang berwarna hijau giok ke arah utara. Di tengah jalan, mobil melewati reruntuhan Wangdue Phodrang Dzong yang terbakar pada musim panas tahun lalu. “Ini dzong tertua ketiga di Bhutan,” kenang Sangay dengan nada miris. “Sangat menyedihkan.”

Kami terus menelusuri rute yang menguras stamina sekaligus menyihir mata. Kendaraan melewati Punakha Dzong yang berdiri di depan pertemuan dua sungai, lalu ke Amankora Punakha. Pondokan ini berdiri di atap bukit kecil. Sawah dan kebun buah mengelilinginya. Di pusat resor ada sebuah rumah petani tua yang disewa dari keluarga kerajaan.

Memasuki Amankora Punakha adalah sebuah atraksi yang menyenangkan. Kami menyeberangi jembatan gantung kayu yang terus berderit saat diinjak. Di bawah kaki mengalir Sungai Mo yang dihuni ikan trout. Di ujung jembatan, sebuah buggy telah menanti.

Sisa waktu sore saya habiskan dengan menikmati kombinasi menu barbeku dan wine asal Chili, lalu menjelajahi ruang ibadah di Punakha Dzong. Dindingnya yang dipercantik fresco memantulkan rapalan doa para biksu dan irama menghanyutkan dari alat musik jaling.

Momen favorit saya berlangsung pada sesi koktail. Di teras gelap resor, saya menyaksikan tradisi penyambutan pengunjung khas Bhutan. Para tamu berkerumun erat di tengah udara dingin. Tubuh mereka dibalut selimut wol dan dihangatkan oleh segelas arak beras bercampur mentega yak. Sebuah keluarga dari dusun tetangga kemudian menari dan menyanyi di sekeliling api unggun. Embusan angin berulang kali melemparkan percik-percik api ke arah si kakek, menantunya, serta bocah mungil yang dibungkus gho. Namun mereka tak peduli. Keluarga ini terus saja berputar-putar, bertepuk tangan, menari riang mengikuti irama dari masa silam.

Tentu saja, suguhan itu hanyalah atraksi yang dipersembahkan pihak resor kepada para tamu. Tapi, di lembah Bhutan yang magis ini, peristiwa yang sudah diatur pun bisa terasa autentik.

Saya menghabiskan hari terakhir di Paro, tempat Grup Aman mendirikan pondokan pertamanya. Untuk menjangkaunya, kami melewati Dochula Pass dan menembus Thimphu. Ekspedisi maraton ini berlangsung di jalan penuh keelokan. Hanya ada satu jalan aspal lurus, membentang pararel sepanjang dua kilometer di sebelah landasan udara Paro. Kata Sangay, ini jalan lurus satu-satunya di Bhutan.

Seperti pondok-pondok lainnya, Amankora Paro menawarkan gaya estetik yang menyeimbangkan antara bahan-bahan rustic dengan fitur-fitur mewah yang memanjakan tamu, contohnya bathtub berbahan terrazzo dan ranjang empuk megah. Semuanya teronggok di tengah hutan pinus di atas Desa Balakha.

Kiri-kanan: Pemandu di halaman tengah Paro Dzong; Pintu menuju ruang belajar di Gantey Goemba.
Kiri-kanan: Pemandu di halaman tengah Paro Dzong; Pintu menuju ruang belajar di Gantey Goemba.

Gunung Jhomolhari (7.300 meter) terlihat jelas dari jendela paviliun resepsionis. Meski begitu, obyek tontonan yang paling diincar kebanyakan tamu adalah Biara Taktsang (“Sarang Harimau”). Inilah bangunan yang paling banyak dipotret di Bhutan. Bertengger di tebing tinggi di atas Lembah Paro, Taktsang bisa dijangkau dengan mendaki selama dua jam—klimaks dari tur mayoritas wisatawan di Bhutan.

Hari ini, saya memutuskan untuk tidak menyambangi Sarang Harimau. Lelah usai berkendara dan pusing akibat menetap di ketinggian, saya memilih berendam di bak batu panas bergaya alfresco di spa milik resor. Senja terakhir saya di Bhutan tidak diisi dengan meniti rute di lereng gunung, melainkan duduk dalam balutan kabut beraroma ramuan di tepi sebuah rawa pakis. Diukur memakai parameter Kebahagiaan Domestik Bruto, jelas saya kini merasa sangat bahagia.

DETAIL
Bhutan

Rute
Bandara Paro, gerbang utama Bhutan, bertengger di ketinggian 2.200 meter. Drukair (drukair.com.bt) melayani penerbangan ke sini dari Delhi, Kathmandu, Kolkata, Bangkok, dan Singapura. Aplikasi visa mesti diurus sebelum mendarat. Tiap wisatawan diwajibkan datang dalam rombongan tur atau menggunakan paket yang ditawarkan pihak hotel.

Penginapan
Kamar tipe suite di kelima kompleks Amankora (amanresorts.com) dipatok mulai dari $775 per malam per orang, mencakup makanan, minuman, penatu, dan transfer bandara. Tamu yang menginap minimum tujuh malam akan mendapatkan bonus gratis sewa kendaraan, sopir, dan pemandu. Satu yang harus diingat, wisatawan asing tidak diizinkan mengemudikan kendaraan di Bhutan.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2013 (Feature: “Negeri di Atas Awan”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5