Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nongsa, Destinasi yang Mengubah Citra Batam

Salah satu fasilitas di Nongsa Point Marina & Resort adalah terminal untuk kapal-kapal pribadi.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Zulkifli

Minggu pertama Juli, satu pekan pasca-serangan asap dari kebakaran hutan di Sumatera, saya duduk di speedboat bertubuh ramping yang meluncur di sungai berair hijau. Di kedua sisi sungai, hutan bakau membentuk gorden tebal yang menyaring terik matahari. Nakhoda menurunkan kecepatan perahu saat kami mendekati kebun pembibitan bakau, tujuannya agar jejak gelombang baling-baling tidak menenggelamkan tunas-tunas muda. “Kebun bibit ini dikelola oleh Kawasan Pembangunan Nongsa,” ujar staf Turi Beach Resort. “Hutan bakau dirawat untuk mencegah abrasi, juga untuk wisata.”

Hidup selama 10 tahun di kota pabrik Tangerang, saya telah menyaksikan bagaimana sungai beralih fungsi menjadi selokan, dan bagaimana selokan berganti peran menjadi tempat sampah. Nongsa, yang juga berlokasi di sentra industri, menampilkan kondisi yang kontras. Sungai di sini minim sampah dan steril dari aroma limbah kimia.

Kawasan liburan ini tengah bersinar di Batam. Lokasinya di tonjolan pulau sisi timur laut. Dibandingkan area populer semacam Nagoya dan Batam Center, Nongsa sangatlah sepi. Tidak ada mal. Tidak ada panti pijat. Tidak ada keramaian. Jalan-jalannya yang mulus hanya dilewati satu-dua mobil tiap menitnya.

Kiri-kanan:Emerald Pool di kawasan Turi Beach Resort yang berada di pinggir pantai; bermain golf di Tamarin Santana Golf Club, Nongsa Resort.

Jarak Nongsa ke pusat kota Batam hanya 30 menit, tapi kedua area ini seperti berada di dua pulau yang berbeda. Area pusat kota lebih terkenal akan pabrik-pabriknya, juga kehidupan malamnya. Sementara Nongsa lebih menyerupai destinasi pelesir semacam Nusa Dua di Bali atau Lagoi di Bintan. Selain hutan bakau, tempat ini memiliki empat resor premium dan sebuah marina yacht. Dari tujuh lapangan golf di Batam, tiga berada di Nongsa.

Perahu saya terus merayap. Panorama laut di belakang punggung telah sepenuhnya menghilang. Sungai menyempit. Hutan bakau kian dekat. Nakhoda menambatkan perahu di sebuah dermaga kayu reyot. Fondasinya miring seperti tak kuat menahan arus. Sepi. Tak ada satu pun manusia. Dua tahun lalu, tempat yang agak horor ini sempat dijadikan lokasi syuting film Dead Mine. Kami berjalan-jalan sejenak, meniti rute setapak yang becek, melihat-melihat beberapa burung yang hidup di ekosistem bakau.

Tur sungai sudah rampung. Nakhoda kembali ke Turi Beach, lalu menambatkan perahu di pesisir berpasir putih kecokelatan. Di lereng dekat pantai, rumah-rumah beratap gable khas Melayu bertaburan di lereng. Di hadapannya terdapat sebuah kolam renang luas yang dikelilingi taman. Saya beristirahat di sebuah gazebo beratap jerami. Tak pernah terbayang semua kemewahan ini bisa tersaji di Batam, destinasi yang telah dicoret dari agenda traveling banyak pelancong usai penghapusan biaya fiskal di jalur penerbangan. Nongsa sepertinya berhasil meruntuhkan stigma: kawasan industri ternyata bisa menjadi destinasi wisata.

Replika gedung kuno di Movie Town Infinite Studios yang jadi lokasi syuting serial Serangoon Road.

“Selamat datang di Malaysia.” SMS dari negeri seberang muncul di layar telepon genggam ketika saya berjalan-jalan di lapangan golf Tamarin Santana. Beberapa detik kemudian, muncul SMS tentang paket internet dari SingTel. “Koneksi jaringan sebaiknya disetel manual. Nanti bisa berpindah sendiri ke jaringan Malaysia atau Singapura. Biaya pulsa bakal membengkak,” kata penjaga golf club.

Saya berdiri di persimpangan tiga negara. Singapura berjarak sekitar 25 kilometer, Malaysia 50 kilometer. Dari pesisir utara Nongsa, saat langit terbebas dari asap, kita bisa menyaksikan gedung berbentuk papan setrika di Marina Bay dan bukit-bukit yang menjulang di Johor. Di antara kawasan-kawasan itu, terhampar Selat Singapura, salah satu jalur perdagangan maritim tersibuk di dunia. Tongkang, kapal pesiar, kapal kargo, hingga sampan nelayan, berlalu lalang hampir sepanjang hari. Laut di selat ini lebih padat dibandingkan jalan-jalan di Nongsa. Di malam hari, laut itu terlihat begitu benderang berkat lampu-lampu aneka warna dari kapal-kapal yang berbaris tanpa putus, bagaikan antrean mobil di pintu-pintu tol Jakarta.

Batam adalah pulau yang dihidupi oleh lokasinya—atau lebih tepatnya, oleh tetangganya. Tiga dekade silam, Singapura, negara yang ukurannya hanya 20 persen lebih luas dari Batam, mulai kewalahan menampung mesin-mesin industri. Batam kemudian dilirik sebagai opsi relokasi yang ideal, dan pemerintah kita dengan gembira menangkap peluang tersebut. Batam pun disulap menjadi kawasan industri di bawah manajemen Badan Otorita Batam, kemudian pada 2006 dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus.

Sejumlah privilese pun diterapkan. Pemerintah dilarang terlalu banyak mencampuri urusan bisnis. Tubuh birokrasi dirampingkan. Pajak-pajak yang membebani pengusaha disunat. Pulau seluas 415 kilometer persegi ini disulap menjadi zona kapitalis murni, yang mendedikasikan setiap embusan napasnya untuk memproduksi dan mengekspor barang. Merujuk data Badan Pengusahaan Batam, hampir 60 persen perekonomian pulau ini digerakkan oleh sektor industri, dan sekitar 80 persen produknya dikirim ke Singapura.

Ruang kerja para animator Infinite Studios.

Batam memang dilahirkan atas dasar motif ekonomi. Orang tuanya bernama Singapura. Dokternya bernama Badan Otorita. Anak-anaknya beragam, mulai dari speaker televisi hingga pipa besi. Semuanya dirakit di area khusus yang disebut industrial park. Menurut situs Batam Trade Zone, “taman pabrik” ini jumlahnya mencapai 26 unit. Dan ini statistik di 2012. “Batam adalah daerah yang dibuka untuk industri,” ujar seorang teman kelahiran Batam. “Warga aslinya sulit ditemukan. Lebih mudah menemukan buruh pabrik.”

Terlepas dari keluhan tersebut, industri telah berhasil menyulap pulau berpopulasi 1,2 juta jiwa ini menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia, sekaligus sandaran hidup bagi ribuan pekerja dari pelosok bumi. Kehadiran kaum pendatang inilah yang membuat Batam sangat kosmopolit. Kita bisa menemukan buruh asal Medan, PSK asal Indramayu, pelayan restoran asal Kupang, pemandu wisata asal Jakarta, koki asal Singapura, dan hotelier asal Spanyol. Fasilitas urbannya juga tak kalah dibandingkan kota-kota di Jawa. Ada tiga bioskop 21, satu bioskop Blitzmegaplex, gerai McDonald’s, toko donut J.CO, pusat belanja Carrefour, dan pastinya, banyak mal.

Posisi strategis Batam juga menghadirkan peluang bisnis yang sebelumnya tak terlintas di benak para pengusaha nasional. Pada 2005, Mike Wiluan, putra Kris Wiluan (orang terkaya di Indonesia nomor 40 versi Forbes 2009), mendirikan rumah produksi animasi di Nongsa. “Mike memilih Batam karena lokasinya strategis. Klien internasional bisa mendarat di Singapura, lalu menaiki feri selama 40 menit,” jelas Daniel Harjanto, Technical Director Infinite Studios. “Harga tanah di Batam juga lebih murah dibandingkan di Singapura.”

Proyek perdana Infinite Studios, Sing to the Dawn, juga didapat dari klien di Singapura. Film animasi ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Minfong Ho. Ia berkisah tentang perjuangan seorang gadis dalam meraih pendidikan. Versi Indonesianya tayang dengan judul Meraih Mimpi.

Kiri-kanan: Kolam renang Aqua Pool Nongsa Resort; kolam renang Emerald Pool di Turi Beach yang menghadap ke laut.

Sejak didirikan pada 2005, Infinite Studios sudah menerbitkan 10 karya, contohnya The Garfield Show dan Lucky Luke. “Karya paling fenomenal adalah Tatsumi. Pernah disertakan dalam seleksi film untuk Oscar dan menembus 25 besar di kategori film asing,” kenang Daniel, alumni Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan. Kami berbincang di kafetaria di lantai dua, di antara remaja usia 20-an yang berpakaian kasual layaknya orang yang hendak menonton konser.

Infinite Studios menempati gedung dua lantai bekas golf club. Di belakangnya terdapat teater, studio soundstage terluas di Asia Tenggara, dan area syuting film yang disewakan ke rumah-rumah produksi. Di kompleks mercusuar ini, di sebidang lahan di tepi Batam, sekitar 200 remaja Indonesia berjuang menembus dominasi industri animasi yang dikuasai Pixar dan DreamWorks. “Keunggulan studio-studio besar terletak pada visinya,” ujar Daniel. “Pixar bermimpi menghibur dunia. Kami ingin menjadi yang terbaik di Asia Tenggara. Nilai bisnis animasi di Indonesia tidak sampai satu persen dari nilai bisnis dunia.”

Saya meluncur ke pusat kota Batam. Senja telah berlalu, tapi Batam belum hendak tertidur. Siang di sini disibukkan oleh aktivitas buruh, sementara malam diramaikan oleh aneka kelab malam dan ruang karaoke. SMS liar dari negeri orang masih bermunculan di telepon genggam. Tapi sejatinya bukan cuma pesan pendek yang menginvasi Batam. Warga setempat juga bisa dengan mudah menangkap siaran radio dan televisi milik negara tetangga. Kendaraan dari luar perbatasan juga masih berkelana di jalan-jalan. Dan di pusat-pusat hangout, tren berpakaian ala Singapura diaplikasikan oleh banyak orang.

Dari semua infiltrasi asing itu, turis disambut dengan senyum paling lebar. Batam merupakan destinasi wisata dengan jumlah turis asing terbanyak ketiga di Indonesia. Sebagian besar dipasok oleh feeder terdekat. Dari 1,2 juta pelancong mancanegara di 2012, sekitar 700 ribu orang berasal dari Singapura. Sebuah simbiosis pun terjalin di antara Batam dan Singapura. Batam mengekspor barang; Singapura mengirim turis. Klop.

Bermain di pantai di belakang Turi Beach Resort.

Warga Singapura melihat Batam sebagai lokasi liburan pantai yang menawarkan jarak terdekat—dan tentu saja, biaya termurah! “Semua yang kami sajikan, mulai dari kamar, pantai, spa, hingga aktivitas watersport, bisa dinikmati dengan biaya yang sulit ditemukan tandingannya di Singapura,” jelas Antonio Hernandez Canovas, General Manager Turi Beach.

Batam adalah juga satu-satunya destinasi di Indonesia di mana hampir semua turis asingnya datang melalui jalur laut. Waktu tempuh Singapura-Batam hanya 40 menit, walau dari segi zona waktu keduanya terpisah satu jam. Saban harinya, ada lebih dari 40 trip feri di jalur gemuk ini. Guna mewadahi gelombang pelancong, pemerintah mendirikan lima pelabuhan. “Pelabuhan kami memiliki sistem imigrasi smart card,” jelas Lucky Hendrati, General Manager Terminal Feri Nongsapura. Penggunaan smart card mirip kartu subway di Tokyo. Pengguna cukup memasukkannya ke slot mesin di gerbang keberangkatan atau kedatangan. “Banyak turis dari Singapura rutin bolak-balik tiap akhir pekan. Dengan sistem smart card, halaman di paspor mereka tidak cepat habis.”

Dominannya turis Singapura memengaruhi hampir semua lini bisnis. Semua hotel di Batam memasang tarif kamar dalam dolar Singapura. Begitu pula menu di restoran dan kelab malam. Kadang, pengaruh Singapura itu juga merasuk ke ranah sosial. Pernikahan wanita lokal dan ekspat yang berbasis di Singapura adalah kasus jamak. Begitu pula penggunaan bahasa Inggris gaya Singapura. Saya sempat bertemu dengan staf hotel yang asli Yogya yang mampu bertutur fasih dalam bahasa “Singlish”. Sama anehnya dengan mendengar orang Flores berbahasa Mandarin. Melihat semua itu, satu pertanyaan muncul di benak saya: seperti apa Batam sebelum babak industri dimulai?

Kiri-kanan: Kompleks pemakaman keluarga Nong Isa di Kampung Pantai Nongsa, Kelurahan Sambau; pengunjung berdoa di dalam Vihara Budhi Bhakti, Tua Pek Kong Bio.

Raja Isa datang ke Batam di awal abad ke-19, ketika pulau ini masih diselimuti belantara. Tidak ada pabrik. Tidak ada kelab malam. Raja Isa diutus ke sini sebagai perwakilan Kesultanan Lingga. Batam punya posisi penting secara geopolitik, walau tidak begitu vital secara ekonomi. Itu mungkin sebabnya di sini tidak terdapat bangunan sisa-sisa kerajaan. Pulau ini dulu hanyalah lokasi transit para pelaut yang berlayar dari Selat Malaka menuju Laut Cina Selatan. Mereka umumnya singgah untuk mengisi air dan perbekalan.

Raja Isa bukanlah seorang raja dalam arti sebenarnya. Nama “Raja” lazim digunakan untuk anak bangsawan yang lahir dari pasangan Melayu dan Bugis. Akulturasi di antara kedua suku ini telah berlangsung lama. Di Batam saat ini, Melayu dan Bugis bahkan kerap dikelompokkan dalam satu kategori ras. Dalam adat lokal pula, anak kerap dipanggil dengan sapaan “Nong”, mungkin mirip “Otong” dalam budaya Betawi. Lambat laun, Raja Isa pun lebih populer dengan nama Nong Isa.

Seperti apa Batam sebelum periode itu, sulit dijawab. Dokumentasi tertulis tentang masa silam pulau ini sangat minim. Riwayatnya simpang siur. Kisah-kisah lawas tersimpan di benak para sesepuh yang kini sulit dilacak rimbanya. Hikayat Batam umumnya merujuk pada Traktat London 1824 yang mengatur pembagian tanah jajahan antara Belanda dan Inggris di Asia Tenggara. Sumber lain menyebutkan, Batam sudah dihuni sejak tahun 231, ketika Singapura masih bernama Pulau Ujung.

Muhamad Zen, mantan pegawai Dinas Pariwisata Batam yang mendalami sejarah pulau, mengatakan Batam berasal dari kata “Batang”. Masa lalu pulau ini sangat dipengaruhi oleh kesultanan-kesultanan Islam di tanah Melayu. Konon, Batam adalah bagian dari trio simbolik Batang-Bulan-Bintang, tiga ikon religi yang lazim dirangkai menjadi aksesori di atap-atap masjid. Menurut Muhamad Zen, cara pelafalannya kemudian berubah karena warga Bugis sulit melafalkan “ng”. Batang-Bulan-Bintang berganti menjadi Batam-Bulan-Bintan—nama tiga pulau besar yang menyusun Provinsi Kepulauan Riau.

Dua orang turis berjemur di pantai Nongsa.

Usai Kesultanan Lingga dianeksasi dan dilumpuhkan penjajah, Batam kehilangan pamornya. Inggris sibuk membangun Singapura dan Penang. Belanda lebih menyukai lahan-lahan perkebunan subur di Sumatera. Batam dilupakan, lalu meredup dalam waktu, dan kembali menjadi pulau terbengkalai di mulut Semenanjung Malaysia. Rumah-rumah panggung peninggalan pelaut Bugis nyaris tak tersisa. Mereka runtuh digerus zaman. Sang penguasa pulau, Nong Isa, juga tak jelas rimbanya. Namanya kini diabadikan sebagai nama daerah di timur laut pulau—Nongsa—tempat dia dulu bermarkas.

Menaiki Toyota Kijang 2002 yang diimpor dari Malaysia, saya meluncur ke satu-satunya artefak yang menyimpan sejarah Batam. Sekitar lima menit berkendara dari Turi Beach, sebuah kompleks kuburan teronggok di lereng bukit yang sepi. Nisan-nisan yang sebagian besar anonim bertaburan di dalamnya. Dinding dan gerbang makam dipulas dalam warna kuning dengan sentuhan hijau, dua warna khas kesultanan Melayu.

Penjaga makam tidak ada. Sumber keterangan satu-satunya adalah sebidang dinding di dekat gerbang yang membeberkan silsilah penguasa Batam. Sayang, sebagian besar tulisan telah terkelupas dimakan cuaca, walau dinding ini sepertinya belum lama didirikan. Saya hanya bisa menangkap beberapa patah kata. Salah satunya menyebutkan, Raja Isa merupakan keturunan Arong Luwuk Raja Bugis. Tidak jelas apakah almarhum dimakamkan di kompleks pusara ini. “Tidak ada yang tahu di mana jenazah Raja Isa sebenarnya,” jelas Muhamad Zen.

Sejarah pulau ini terlalu samar untuk ditelusuri. Tapi sepertinya tak banyak yang peduli. Batam sudah terlampau sibuk dengan aktivitas ekonomi. Kompleks makam sakral yang saya kunjungi juga tak terurus. Tangganya dikotori serakan daun dan ranting. Nisan-nisannya kusam. Peziarahnya per bulan bisa dihitung dengan jari tangan. Andi Chen, pemandu saya, mengaku sudah sembilan tahun bekerja di Batam, tapi baru kali ini mengantar klien ke kompleks makam.

Kiri-kanan: Seorang pelayan mengantarkan makanan untuk tamu Turi Beach Resort; seorang turis bersantai di pantai privat Turi Beach Resort.

Warga Batam mungkin telah melupakan sejarahnya. Mereka menatap kompak hanya ke satu arah: hari esok. Andi pun hijrah ke pulau ini untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Gagal dengan bisnis penyalur TKI di Jakarta, dia beralih menjadi pemandu wisata sekaligus operator tur. Karirnya dimulai dari bisnis penyewaan mobil. “Waktu saya datang pertama kali ke Batam, tidak banyak sopir yang bisa berbahasa Inggris. Yang memiliki website juga hanya sedikit,” kenangnya. “Saya kini memiliki empat website, salah satunya khusus membahas golf di Batam.”

Andi berhasil menggapai mimpinya. Dimulai dari Kijang sepuh, alumni Teknik Mesin Universitas Indonesia ini sekarang mengoperasikan tiga mobil. Dia juga mengasuh satu anak kandung dan dua anak angkat. Dalam satu bulan, Andi rata-rata memandu 20 hingga 40 grup tur, 80 persennya berasal dari Singapura. Dan dia kini tak cuma menyewakan kendaraan, tapi juga mencarikan tiket pesawat, penginapan, serta restoran.

Kami terus meluncur di dalam mobil tuanya. Saluran radio disetel sesuai dengan profil klien. Saluran nomor satu berisi lagu-lagu dari musisi kontemporer seperti Kanye West dan Fall Out Boy. Saluran nomor dua berisi lagu-lagu Mandarin. Nomor tiga berisi lagu-lagu Barat nostalgia. Semuanya disiarkan dari Singapura. “Favorit saya nomor dua,” katanya. Hari ini, mungkin karena melihat wajah saya yang “boros”, Andi memilih saluran nomor tiga.

Dengan iringan tembang-tembang kenangan dari The Police dan ABBA, Andi bercerita tentang pergeseran perilaku turis di Batam. Katanya, sisi abu-abu Batam masih menjadi magnet turis, tapi kini tidak sekuat dulu. “Judi sudah lama dihapus. Striptease juga sudah. Turis dari Johor dan Singapura kini datang murni untuk liburan. Mereka bermain golf, ke mal, ke spa, lalu ke pantai. Semuanya bisa didapat dalam satu hari. Batam relatif bebas macet, dan kini makin maju. Kotanya ditata dengan konsep Singapura. Sekolah dasar swasta saja mengajarkan bahasa Mandarin.”

Kami melewati alun-alun kota, di mana kantor wali kota bersanding dengan mal dan pelataran masjid kerap dijadikan ajang balap motor. Andi masih terus bercerita. Tentang oleh-oleh kue buah naga. Tentang Jembatan Barelang dan pulau penampungan pengungsi Vietnam. Tentang pria-pria Singapura yang gemar mencari istri simpanan. Juga tentang mimpinya menjual paket tur ke Cina. Dia mengenal nyaris semua sudut kota. Tahu betul mana daerah yang aman dan mana yang harus dihindari selepas tengah malam. Saya lalu bertanya tentang bisnis prostitusi yang membuat Batam begitu tersohor di kalangan kaum nokturnal. Andi tersenyum, lalu sambil bercanda menuturkan masa mudanya di Jakarta. “Saya pernah melihat wanita-wanita di Stadium dan Alexis,” katanya. “Rasanya tak ada alasan untuk orang Jakarta mencicipi prostitusi di Batam. Ha ha ha.” Nongsa, bagi Andi, bisa menjadi alasan yang lebih baik untuk menyambangi Batam.

Chef Rino menyiapkan makanan khas di Island Bar, Satay Sunset.

Tempat ini punya cukup modal, bahkan untuk menyaingi Maladewa sekalipun.” Chris De Silva berbicara penuh semangat. Kami berbincang di Taming Sari, salah satu restoran di Turi Beach. Dindingnya semi-terbuka. Angin sejuk dari Laut Cina Selatan merangsek ke setiap sudut restoran. “Untuk mencapai ambisi itu, banyak yang harus kami benahi. Saya kini fokus memperbaiki kualitas makanan.”

Rambutnya beruban. Mimiknya serius. Chris kini menjabat Director of Food & Beverage Turi Beach. Pria asal Singapura ini punya jejak rekam 36 tahun di bisnis hotel. Tahun lalu, saat bekerja untuk St. Regis Singapore, dia menyabet penghargaan F&B Manager of the Year dalam ajang World Gourmet Series.

Koh, koki di Taming Sari, juga berasal dari Singapura. Dia lebih lancar berbicara dalam bahasa Indonesia dan Mandarin ketimbang Singlish. Bersama Chris, Koh menciptakan menu-menu baru hampir setiap bulannya. Banyak tamu resor berstatus pelanggan. Agar mereka tidak bosan, kreasi anyar wajib terus lahir dari dapur restoran. Eksperimen-eksperimen ini juga ditunjang oleh posisi strategis Batam. “Kebanyakan bahan kami datangkan dari Singapura. Apa yang tersaji di sana bisa ditemukan di sini,” ujar Chris.

Pariwisata di Nongsa dirintis sekitar dua dekade silam, dan Turi Beach adalah properti perdananya. Resor berisi 141 kamar ini menempati lahan yang dibingkai pesisir berbatu. Pantai di depannya, menurut beberapa warga, merupakan yang terbaik di Batam. Di sekitar resor, pohon-pohon rindang berkelindan dan membentuk kanopi hijau. Di tepi jalan menuju lobi, sejumlah pelang memuat larangan memberi makan monyet. “Properti ini awalnya dikelola oleh Fairmont. Setelah dua tahun, pemilik memutuskan untuk mengelolanya sendiri,” kata Antonio Hernandez, GM Turi Beach.

Penginapan lain di Nongsa ditawarkan dengan sistem sewa. (Sesuai aturan Kawasan Ekonomi Khusus, sebenarnya hampir semua lahan di Batam tidak bisa dimiliki individu). Nongsa Village dan Nongsa Point Marina & Resort misalnya, menyewakan vila-vila mewah di pesisir dengan durasi 20 tahun. Akomodasi terbaru, Montigo Resorts, mengadopsi konsep serupa. Penginapan yang dikelola KOP Hospitality ini menyuguhkan vila berbentuk gula kubus yang bertaburan di lereng dan dilengkapi kolam renang privat.

Golf adalah magnet Nongsa lainnya. Berhubung targetnya turis Singapura yang terkenal hobi mengeluh, pemilik properti royal berinvestasi dalam merancang lapangannya. Tamarin Santana misalnya, didesain oleh Jack Nicklaus. Sedangkan Tering Bay oleh Greg Norman. Saban tahunnya, Nongsa menggelar Nongsa Cup, turnamen yang menyulap tonjolan pulau di timur laut Batam ini menjadi destinasi golf di Asia Tenggara.

Luhu Winarno, General Manager Tamarin Santana, mengundang saya untuk bermain golf. Undangan yang terpaksa saya tampik. Terakhir kali mencoba, di Perth, saya mempermalukan tim jurnalis asal Indonesia. Tak satu pun bola masuk lubang. Prestasi tertinggi waktu itu adalah membuat marah seekor ibu kanguru karena salah satu bola saya nyaris menghantam bayinya. Saya memilih kembali ke Turi Beach dan menikmati paket Sunset Satay di dermaga resor. Di atas dek kayu, bartender meracik minuman dengan iringan musik hip hop. Senja di Nongsa hampir berakhir. Matahari telah beringsut di balik Marina Bay Sands. Lampu-lampu di bibir Johor mulai dinyalakan.

Di hadapan saya, ada satu kapal yang seolah tak pernah beranjak dari tempatnya, rutin bolak-balik sepanjang hari di perairan sempit antara Batam dan Singapura. Kata staf hotel, kapal itu berisi meja-meja judi. Tamu-tamunya didatangkan dengan speedboat. Orang Indonesia bisa ikut bermain, namun berhubung judi diharamkan di negeri ini, mereka harus menaiki speedboat dari pelabuhan di Singapura. Di Kawasan Ekonomi Khusus yang diciptakan oleh kongsi Batam dan Singapura, sebuah bisnis merekah subur di antara keduanya.

Hukum Indonesia tidak bisa menyentuh kasino terapung itu. Di perairan internasional, kawasan luas yang tak bertuan, semua aturan dan fatwa otoma-is kehilangan yurisdiksinya. Sisi abu-abu Batam memang masih menjadi magnet pariwisata terkuat, tapi Nongsa kini menawarkan alasan alternatif bagi kita untuk mengunjungi pulau ini. Alasan yang jelas lebih menyenangkan.

PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Batam dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari Medan dan Jakarta; serta oleh Lion Air (lionair.co.id) dari Medan, Jakarta, Padang, Jambi, Yogyakarta, dan Surabaya. Taksi Blue Bird sudah beroperasi di Batam, tapi armadanya sangat minim. Menyewa kendaraan adalah opsi ideal untuk menavigasi sudut-sudut pulau. Nongsa berlokasi di sisi timur laut pulau. Jaraknya sekitar 10 menit dari bandara.

Penginapan
Di Nongsa, ada dua opsi ideal hotel yang layak dicoba. Berdiri 24 tahun silam sebagai properti liburan pribadi, Turi Beach Resort (Jalan Hang Lekiu, Nongsa; 0778/761-080; turibeach.com; doubles mulai dari  Rp1.250.000, termasuk transfer dari Pelabuhan Nongsapura) kini menampung 141 kamar, dua kolam renang, dan dua restoran. Di pantai depan resor terdapat Cabana Club yang menawarkan aneka watersport, contohnya jet skiing, parasailing, dan canoeing. Lima menit berjalan kaki dari Turi Beach terdapat Nongsa Point Marina & Resort (Jalan Hang Lekiu, Nongsa; 0778/761-333; nongsapointmarina.com; doubles mulai dari Rp2.200.000), kompleks berisi hotel dan chalet bergaya Mediterania. Marina di depannya menjadi salah satu titik persinggahan dalam ajang Singapore Straits Regatta.

Aktivitas
Golf adalah salah satu magnet wisata Batam. Dari tujuh lapangan yang dikoleksi pulau ini, tiga di antaranya berbasis di Nongsa. Dua yang terkenal adalah Tamarin Santana (nongsaresorts.com) yang didesain Jack Nicklaus, serta Tering Bay (teringbay.com.sg) yang dirancang Greg Norman. Aktivitas yang jauh lebih menantang juga ada, contohnya trekking dan kamping di lokasi syuting film Dead Mine. Dua kegiatan ini ditawarkan oleh Turi Beach. Di luar Nongsa, ada banyak obyek yang menarik dikunjungi, misalnya Jembatan Barelang yang menghubungkan enam pulau, serta Pulau Galang yang dulu menampung pengungsi asal Vietnam. Mal-mal di Batam menawarkan sejumlah barang elektronik dengan harga miring. Tapi jika Anda mencari sesuatu yang lebih autentik, cicipi kue buah naga atau otak-otak.

Pertama kali diterbitkan di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2013 (Feature: “Reinkarnasi Nongsa”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5