by Christina Jacobs 11 April, 2025

Menua Bersama Kota Tua Jakarta
Kota Tua Jakarta tak hanya memiliki keindahan arsitektur Eropa dan budayanya, namun kawasan ini juga menyimpan banyak cerita dan sejarah dari 400 tahun lalu.
Dalam lini masanya, area yang bernama Oud Batavia atau Batavia Lama ini menjadi saksi mata sejarah panjang, mulai dari penaklukan Sunda Kelapa sampai menjadi kota bisnis pada masanya. Oud Batavia menjadi sebuah pusat kota bisnis sukses untuk kaum-kaum pedagang Eropa. VOC Belanda sengaja membuat area ini menjadi kawasan industri dan perdagangan melalui jalur laut.
Kapal-kapal dagang melewati jembatan kayu besar Juliana brug atau yang kini dikenal sebagai Jembatan Kota Intan dan Kali Besar. Jembatan ini merupakan satu-satunya jembatan peninggalan Belanda yang menggunakan sistem buka-tutup untuk kapal dan masih ada sampai saat ini. Kanal dan jembatan ini menjadi jalur utama dari Pelabuhan Sunda Kelapa menuju Kastel Batavia. Namun, di 2019, jembatan ini mengalami revitalisasi karena kayunya yang sudah lapuk.
Kastel Batavia merupakan pusat pemerintahan dan bisnis, meski demikian awalnya kota Batavia adalah kota kecil. Lambat laun, kastel ini semakin berkembang dan besar. Saya berjalan menyusuri sejarah di Kota Tua bersama dengan Hans Huang, guide dari Kementerian Pariwisata dan Pemprov DKI Jakarta.
“Kastel Batavia pusat pemerintahan dan bisnis, kota Batavia itu kecil, kastelnya dekat pelabuhan Sunda Kelapa, melebar ke selatan sampai Waltervreden.” kata Hans.
“Waltervreden itu kota baru, saat ini ada di Menteng, Gambir, Monas, titik utamanyanya adalah Lapangan Banteng. Di 1920 bergeser ke Cikini, Pasar Senen, dan Tanah Abang untuk pelebaran wilayahnya.”
Baca Juga: 5 Things Must To Do di Kota Tua Jakarta
Banyak yang tak tahu bahwa Sunda kelapa sampai ke Stasiun Kota itu termasuk Kota Tua. Fakta ini sebenarnya cukup mengejutkan karena kebanyakan orang hanya paham Kota Tua adalah area museum dan sekelilingnya.
Kota Gagal
Di sana saya juga bertemu dengan Arkeolog dan Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, Candrian Attahiyat.
Candrian yang akrab disapa Pak Can mulai bercerita bahwa pada masanya, Kota Tua sempat dianggap sebagai kota gagal. Kegagalan ini disebabkan karena kota yang dibangun sekitar 1650 ini terkena banjir. Banjir ini bahkan makin memburuk di 1700-an sehingga dinyatakan sebagai kota yang tak sehat.
Bukan cuma banjir, kanal-kanal tersebut akan tertutup dengan lumpur akibat letusan Gunung Salak di 1699. Nampaknya, kata dia, pemerintah VOC saat itu tak sanggup untuk membereskan lumpur yang memenuhi kanal.
“Banyak warga saat itu meninggal akibat penyakit yang ada di kota besar Batavia, makanya disebut sebagai kota gagal,” katanya.
Predikat kota gagal ini juga disebabkan karena kurangnya infrastruktur untuk transportasi di kanal. Jika di musim hujan, kanal ini akan banjir, tapi di musim panas, kanalnya akan kering sehingga perahu tak mungkin berlayar.
“Yang menyatakan kota gagal karena tidak sehat adalah pemerintahan Prancis yang berkuasa saat itu. Tetapi pada tahun 1809 ini berusaha dipindahkan ke tempat yang lebih sehat lagi yang namanya Welterbreden. Itu disebut daerah yang lebih sehat dan lebih rapih.”
Baca Juga: Dine In: Lulu Bistrot, Canggu
Warisan Budaya Tak Benda UNESCO
Melihat sejarah dan juga nilai historisnya, Pemerintah Indonesia sempat mengajukan Kota Tua Jakarta untuk menjadi warisan budaya tak benda ke UNESCO. Sayangnya pada 2018 lalu, UNESCO menolak pengajuan tersebut.
Pak Can berharap pemerintah masih mau mengajukan Kota Tua Jakarta dalam daftar UNESCO tersebut. Hanya saja, katanya, butuh riset, bukti, dan fakta baru untuk memperkuat posisinya.
“Pihak UNESCO kan sudah bilang bahwa kota tua Batavia ini adalah kotanya ternyata sudah tidak utuh lagi. Tapi ketidakutuhan ini bukan karena vandalisme, tetapi perubahan ini akibat daripada perjalanan sejarah itu sendiri.”
“Ketika ini kota jaya dan cukup ramai ternyata dihantam dengan malapetaka bencana alam seperti gunung meletus dan juga banjir bahkan juga terjadi dua kali gempa bumi paling dahsyat di Batavia.”
Sesungguhnya, Kota Tua Jakarta memiliki keunikannya tersendiri dibanding Kota Tua lainnya di belahan dunia lain. Bencana alam yang mengubah kondisi bangunan, kehadiran Prancis yang mengubah legasi VOC menjadi legasi Prancis, sampai adanya sentimen antikolonial usai Kemerdekaan Indonesia. Sentimen ini membuat barang atau bangunan bergaya kolonial dihancurkan.
“Tapi ini yang jadi keunikan. Sebuah negara tropis yang juga masih ada bangunan-bangunan bergaya Eropa. Tapi gaya Eropanya juga sebenarnya tidak mencerminkan abad 18, tetapi abad 20. Tetapi struktur kotanya abad 17.”
Pak Can menyebut, sebagian besar bangunan ini dibangun oleh arsitek Belanda yang terkenal di negaranya. Salah satunya adalah Museum Fatahillah yang didesain menyerupai Istana Dam di Amsterdam oleh W.J. van de Velde.
Perjalanan menyusuri Kota Tua Jakarta siang itu masih berlanjut ke berbagai museum di area tersebut. Dari Museum Fatahillah, Museum Keramik dan Seni Rupa, sampai Museum Wayang yang baru direvitalisasi dan viral di kalangan anak muda.
Di usianya yang sudah mencapai 375 tahun ini, Kota Tua semakin menua namun semangatnya untuk berjiwa muda dengan berbagai revitalisasi dan ‘make up’ meremajakan diharapkan bisa mengundang wisatawan untuk hadir. Bukan sekadar berfoto namun belajar dari sejarah Indonesia di masa kelamnya dan membantu mengubah Indonesia lebih gemilang.