by Cristian Rahadiansyah 02 October, 2020
Investigasi Visual: Kehidupan Riil di Dubai
Teks & Foto oleh Nick Hannes
Melongok lewat jendela kamar, saya menangkap sosok kota yang berdenyut cepat. Porter menarik gerobak, orang India mengayuh sepeda, orang Afrika melesat dengan jubah sarat warna, orang Rusia seliweran memperlihatkan kakinya, orang Islam salat di trotoar, pedagang jalanan merapal mantra: “Arloji, mister? iPhone? Harga bagus!”
Malam harinya, saya kembali menghampiri jendela dan menyaksikan pemandangan yang lebih profan: para pekerja seks komersial berkeliaran. Di jalan-jalan sekitar hotel, kartu nama panti pijat diselipkan di gagang-gagang pintu mobil yang terparkir, dengan menampilkan nomor telepon dan foto wanita.
Saya sedang berada di Deira, jantung kawasan tua Dubai, sebuah tempat yang menyimpan kisah masa lalu kota ini sebagai permukiman nelayan dan petani mutiara. Hotel saya berada persis di bawah jalur penerbangan pesawat, dekat sebuah minaret. Kamarnya agak pengap, tapi dibandingkan kamar hotel lainnya, tarifnya cukup murah.
Menaiki Metro dari Baniyas Square, saya meluncur ke kolong sungai, lalu mendarat di Dubai versi muda. Dalam pandangan pertama, panorama cakrawala kota ini menakjubkan. Menatap dari gerbong terakhir, saya dibuat menganga oleh barisan pencakar langit yang seolah tak berujung di sepanjang Sheikh Zayed Road. Agaknya, saya telah tiba di Dubai yang semampai. Dubai yang modern.
Awalnya, saya tidak tahu banyak tentang Dubai. Paling-paling hanya beberapa asumsi dan prasangka. Tapi kemudian dari 2016 hingga 2018 saya memutuskan menggarap proyek dokumenter Garden of Delight dengan niat merekam identitas kota ini sebenarnya. Sebuah kota paling ajaib di Timur Tengah.
Proyek foto ini dimulai di komputer. Berminggu-minggu sebelum terbang ke Dubai, saya melayangkan ratusan surel permohonan izin foto kepada perusahaan pengembang, serta pengelola taman hiburan, mal, kelab malam, restoran, padang golf, juga hotel. Kadang saya langsung menerima tanggapan, walau sebagian besar surel tak berbalas.
Saya pun mengganti taktik dengan melacak profesi yang tepat: direktur pemasaran, manajer komunikasi, serta staf humas. Sayangnya, mereka juga tidak terkesan dengan nilai fotografi seni maupun dokumenter. Memutar otak, saya menemukan jurus baru: iming-iming publikasi bagi si pemilik tempat. Kian populer media yang sepakat menerbitkan karya saya, kian besar peluang saya mendapatkan izin foto.
Baca Juga: Gedung-Gedung Ajaib Tanah Soviet
Beberapa lembar izin akhirnya diberikan, walau sebagian berlaku terbatas dan mensyaratkan banyak batasan. Contoh: larangan mewawancarai ataupun memotret para tamu mal. Salah satu mal bahkan mematok “bea lokasi” €2.500 untuk satu sesi foto. Sementara dalam surat izin keluaran Global Village tertera larangan “meliput adegan yang tidak senonoh dan membahas isu terkait politik, keamanan, agama, ataupun ekonomi.”
Berbekal itu semua, saya pun terbang ke Dubai. Tiba di lokasi, proses memotret berjalan waswas. Saya kerap diawasi, demi memastikan regulasi dipatuhi. Di tempat-tempat premium semacam Hotel Atlantis dan Madinat Jumeirah, kepala divisi humas hotel terus menempel saya. Di Burj Al Arab, saya diizinkan mendokumentasikan kamar kosong, tapi dilarang mengambil gambar lobi dan jalan masuk hotel.
Pengawasan tak lantas berhenti usai sesi memotret. Ada kalanya, saya diminta memperlihatkan hasil foto sebelum mengirimkannya ke redaktur media. Di momen yang lain, saya ditawari memakai foto-foto promosi milik pihak properti yang menampilkan wajah-wajah bahagia dengan latar matahari terbenam.
Ketatnya kontrol itu umumnya dilandasi dalih “menjaga privasi tamu.” Di pantai atau jalan umum, yang kadang berubah status menjadi pantai atau jalan pribadi, saya berulang kali ditegur, “Hanya boleh foto memakai smartphone, Pak.” Sementara di taman bunga Miracle Garden berlaku larangan penggunaan lensa berukuran lebih dari 100 milimeter. Pihak satpam tidak paham alasannya, tapi saya curiga ada hubungannya dengan privasi.
Baca Juga: Foto-Foto Ajaib Tempat Ekstrem Dunia
Dubai bukanlah tempat di mana Anda bebas mengeluarkan kamera dan mengambil gambar. Selalu ada yang memantau. Ratusan CCTV mengamati setiap langkah. Agen keamanan swasta dengan jeli membedakan antara turis dan fotografer profesional. Mencoba memotret secara diam-diam juga bukan pilihan. Selain sulit, secara teknis juga repot. Saya perlu memakai tripod atau flash, terutama di dalam ruangan.
Belakangan, saya mulai memahami obsesi Dubai atas kontrol dan privasi. Dubai adalah sebuah merek—dan merek punya citra yang perlu dilindungi. Prinsip mereka: mencegah lebih mudah ketimbang memperbaiki.
Di Dubai, dekadensi dianggap sebagai kemuliaan. Ketika CNN pada 2017 melansir daftar “restoran paling dekaden di Dubai,” Cavalli Club dan Billionaire Mansion dengan bangga mengumumkan keberhasilannya masuk nominasi itu pada laman Facebook mereka. Hotel mewah lainnya, Habtoor Palace, menggelar “Versailles Decadence Brunch” di gerai Brasserie Quartier saban Jumat. Saya gagal mendapatkan izin foto di sini, lantaran ada banyak tamu VIP yang hadir.
Sarsi (brunch) adalah atraksi populer bagi kaum ekspatriat. Cara kerjanya simpel: membayar di muka, kemudian melarutkan diri dalam tumpukan makanan, mulai dari foie gras, tiram, lobster, sushi, babi guling, melon dengan vodka, keju dan wine, daging dan ikan.
Anda juga bisa membenamkan diri dalam minuman, kadang secara harfiah. Di Blue Marlin Beach Club, seorang wanita Rusia dengan bikini hitam dan hak stiletto dengan sengaja menumpahkan segelas sangria ke tubuh seorang pria Turki, lalu menjilati cairan yang tersisa.
Pesta eksesif di siang hari itu diimbangi oleh hedonisme pada malam hari. Di Ibu Kota Pesta Timur Tengah ini, dugem adalah hobi nasional. Seiring itu, bisnis dunia malam pun merekah jadi sumur uang yang lukratif.
Sebagian besar diskotek bersarang di lantai atas hotel dan dilengkapi akses terpisah, demi menghindari kontak antara pecandu pesta dan tamu hotel. Setiap Jumat, pemandangannya sangatlah kontras: masjid dipenuhi jemaah, sementara diskotek panen pengunjung.
Baca Juga: Komunitas Yang Hidup Dalam Benteng
Tamu berkocek tebal biasanya memesan “meja.” Bentuknya mirip sebuah “pulau” di tengah semua kesenangan: meja besar yang dikelilingi sofa dan dikelilingi tali beledu merah. Meja ini mewakili status sosial. Masing-masingnya dilayani pramusaji khusus, dengan tugas utama memastikan gelas tak pernah kering. Dan setiap kali tamu memesan sampanye, para staf merayakannya lewat sebuah seremoni: diiringi pesta kembang api, para pramuria molek berparade membawa Dom Pérignon menuju meja tamu.
Meja paling eksklusif berada di belakang DJ. Di sini, petugas keamanan menjaga privasi para tamu dengan ketat ibarat serdadu elite di gerbang kastel. Anda harus diundang oleh pemilik meja untuk bisa masuk. Barang tentu, wanita belia punya peluang jauh lebih besar ketimbang fotografer seperti saya.
Melayangkan pandangan, saya mendapati orang-orang Afrika bertubuh kekar di titik-titik strategis. Mereka tidak tertawa, tidak makan, juga tidak minum. Hanya berdiri tegap dengan pakaian ketat sembari memantau situasi. Sembari menjaga keamanan, mereka bertugas ganda layaknya “polisi moral.”
Sekalipun alkohol mengalir seperti banjir, tiap kelab malam memberlakukan “norma susila” yang tegas: boleh bersenang-senang, asal tidak berlebihan. Seorang wanita muda diingatkan untuk duduk di sebelah temannya, bukan di pangkuannya. Mereka yang berciuman terlalu mesra akan mendapatkan ketukan peringatan di bahu. Saya pun sempat mendapatkan ketukan di bahu karena mengarahkan kamera ke pasangan yang bertindak agak cabul. “Foto seperti itu bisa membuat kelab ini ditutup,” ujar sang penjaga.
Umumnya, para tamu diskotek menyukai sorotan kamera, mungkin karena merasa tingkah polah mereka diperhatikan. Orang-orang terus meminta difoto dengan pose tipikal—dada busung, bibir monyong—yang lazim diharapkan dari fotografer pesta. Banyak orang mengira saya fotografer semacam itu. Tapi berhubung tidak punya ring light yang memberi efek glamor, saya memakai flash, hingga membuat ketidaksempurnaan tertangkap utuh. Banyak orang kecewa saat melihat hasil foto saya.
Populasi pekerja asing di Dubai meningkat sejalan dengan penambahan jumlah diskotek. Dalam kompetisi bisnis nokturnal yang ketat ini, kunci suksesnya ialah membangun reputasi secepat mungkin. Pengelola diskotek rela berinvestasi besar untuk tampil menonjol: menawarkan interior memukau, permainan lampu canggih, DJ kondang, penari go-go, sirkus api, sesekali menyewa orang kerdil sebagai hiburan tambahan.
Satu resep sukses lain yang umum dipraktikkan ialah mendatangkan sebanyak mungkin wanita cantik. Acara semacam ladies’ night terbukti manjur untuk menyiasati profil demografis Dubai: 75 persen warga kota ini berjenis kelamin laki-laki. Diskotek yang penuh pria adalah diskotek yang terancam bangkrut.
Baca Juga: Ekspedisi Perpustakaan Terapung
Tentu saja, semua aset itu bisa dengan mudah direplika. Jarang ada diskotek yang punya karakter kuat dalam hal atmosfer, kualitas musik, maupun profil pengunjung. Kota yang generik memang rentan memunculkan kehidupan malam yang generik. Suatu kali di kelab Armani/Privé, ketika lantai dansa dipenuhi manusia, seorang wanita asal Inggris duduk mengeluh di sebelah saya. “Sangat membosankan di sini,” katanya seraya memutar bola matanya. Saya bertanya alasannya, dan dia hanya menjawab, “mutu tamunya.”
Pesta di diskotek umumnya rampung pukul tiga subuh. Musik mati, lampu sorot mati, botol-botol disimpan. Wanita-wanita limbung dengan tangan menenteng Louboutin bergiliran memasuki taksi. Sementara para PSK membidik pria-pria yang pulang sendirian.
Akhir tahun, Dubai menanggap hajatan anual Dubai Shopping Festival (DSF). Selama sebulan penuh, pusat perbelanjaan di seantero kota mengumbar diskon, hadiah, dan acara untuk keluarga. Ada undian berhadiah mobil dan emas batangan, plus pesta kembang api pada malam harinya. DSF menegaskan reputasi Dubai sebagai surga belanja internasional, sekaligus mengubah kota ini jadi semacam Las Vegas di Teluk Persia.
DSF juga memperlihatkan status mal sebagai bagian integral dari kehidupan di Dubai. Mal adalah “souk” yang dinaungi atap, disejukkan AC, dijaga para satpam. Tapi berbeda dari souk yang penuh kejutan, mal lebih terkontrol. Setiap hari di mal adalah salinan dari hari sebelumnya di mal.
Selain sebagai tempat berbelanja, mal jugalah sarana rekreasi keluarga sekaligus ruang kenduri yang populer. Bagaimana orang menikmatinya, semua mal punya beragam saran yang serupa: ikuti kata hati; bebaskan pikiran; jangan menahan hasrat; wujudkan realitas baru; selami kenikmatan duniawi; bungkus diri dalam kemegahan; hiduplah dalam kemewahan; rakus itu bagus.
Dideklarasikan sebagai atraksi turis, mal juga menaungi fitur-fitur yang lazim tersedia di taman rekreasi. Mall of the Emirates misalnya, menawarkan wahana Ski Dubai, taman salju indoor terbesar di dunia, di mana suhu konsisten di bawah nol derajat sepanjang tahun. Di lereng saljunya, sekeluarga penguin tampil empat kali per hari demi menghibur pengunjung. “Tahukah Anda, habitat penguin terancam oleh pemanasan global?” tanya seorang pelatih penguin. Usai pertunjukan, kita bisa memesan sesi privat bertemu penguin di belakang panggung.
Mengerek mal gigantik hanyalah bagian kecil dari pencitraan Dubai sebagai destinasi gaya hidup. Kota ini juga giat meluncurkan proyek arsitektur kolosal yang menorehkan atraksi mencengangkan. Selain bermain ski di tengah gurun, kita bisa menaiki gedung tertinggi atau menjelajahi pulau buatan terbesar. Malam harinya, kita bisa menyaksikan pertunjukan laser dan tarian air mancur paling akbar di dunia.
Proyek-proyek itu memikat banyak pekerja asing, mungkin kelewat banyak. Sekitar 85 persen populasi kota ini berasal dari luar negeri. Akan tetapi, meski perwakilan dari tiap negara bisa ditemukan di Dubai, campuran etnis bukanlah jaminan akan masyarakat yang multikultural. Kemajemukan kota ini relatif tertutup oleh cita-cita materialistis. Manusia seolah dilihat semata-mata sebagai produsen atau konsumen.
Baca Juga: Wisata Unik Menonton Imigran Lapar
Bahkan budaya Arab lokal pun mulai terpengaruh oleh kondisi itu. Invasi ekspatriat telah menggeser warga lokal menjadi minoritas. Di sisi lain, ledakan proyek konstruksi dalam satu dekade terakhir telah menyisihkan konservasi warisan sejarah dari daftar prioritas pembangunan. Tidak semua orang menyambut gembira gelombang impor nilai-nilai Barat; beberapa bahkan mengklaim telah terjadi krisis identitas di antara penduduk setempat.
Menjawab kekhawatiran ini, Dubai merekonstruksi masa lalu di museum dan “desa bersejarah,” di mana perempuan-perempuan Badui dalam busana tradisional mendemonstrasikan cara membuat kerajinan tangan. Atas alasan yang sama, beberapa mal juga dilengkapi zona mirip souk dan memberinya slogan “pengalaman belanja autentik.” Sementara sejumlah vila dan hotel dihiasi menara ventilasi artifisial untuk mengingatkan rasanya hidup tanpa AC. Masa lalu dihadirkan dalam—meminjam judul buku Guy Debord—Society of the Spectacle.
Giat menciptakan ilusi, Dubai agaknya kesulitan melihat kenyataan. Berapa banyak mal, taman hiburan, dan hotel yang dibutuhkan sebuah komunitas? Seperti apa roh kota ini sebenarnya? Dubai memang indah, juga aman. Semuanya terkendali. Tapi Dubai tidak suka risiko ataupun petualangan. Di mana para pengamen, atau anak-anak yang bermain sepak bola di jalanan? Di mana grafiti, skena musik bawah tanah, atau seni spontan di sudut jalan? Di mana saya bisa mengalami kejutan budaya?
Mustahil adalah kata yang dipakai oleh mereka yang takut bermimpi besar.” Ini salah satu pernyataan terkenal Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum yang tertulis dalam bukunya, Flashes of Wisdom—sebuah antologi kutipan yang memperlihatkan sisi paling ambisius sang penguasa Dubai.
Pemimpin Dubai ini meminta segenap rakyatnya untuk mengejar mimpi terbesar, untuk berjuang menggapai puncak, mengambil prakarsa, berkarya nyata. Patriotisme dan etos kerja berjalan beriringan. Inovasi berujung pada kemajuan. Masa depan menanti untuk dibentuk. Segalanya mungkin.
“Dunia Arab memiliki banyak sekali politisi, lebih dari yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi kita kekurangan manajer kreatif yang sanggup membawa kita keluar dari krisis konstan yang sedang kita hadapi,” tulis Sheikh Mohammed di bagian lain bukunya.
Baca Juga: Festival Musik Rok di Tengah Samudra
Abdulla Al Shehi mengamini petuah itu. Dia menjabat direktur pelaksana National Advisor Bureau Limited, lembaga konsultan yang memosisikan dirinya “hijau dan ramah lingkungan.” Salah satu inisiatifnya yang fenomenal ialah Filling the Empty Quarter, jihad hijau melawan pemanasan global dan penggurunan (desertification). Al Shehi pernah merumuskan ide menyadap sungai-sungai di Pakistan, lalu membawa airnya melalui pipa bawah laut ke UEA.
Tak kalah spektakuler ialah gagasan Iceberg Project: mengutus kapal tunda untuk menarik bongkahan es raksasa dari Antartika ke UEA sejauh 9.000 kilometer. “Satu bongkahan es rata-rata mengandung hingga 20 miliar galon air tawar—cukup untuk memasok kebutuhan satu juta orang selama lima tahun,” ujar Al Shehi. “Ini juga bisa bagus untuk pariwisata. Pemandangan bongkahan es yang mengambang di sepanjang pesisir UEA bisa menjadi daya tarik baru.”
Dalam transformasinya menjadi metropolitan modern, Dubai menerima beragam proposal muluk dan mahal, yang setelah diperiksa lebih saksama ternyata mustahil direalisasikan, baik karena secara teknis memang muskil atau murni kendala ekonomi. Walau bermimpi besar, Dubai tidak kebal krisis ekonomi global.
Ambil contoh gagasan kontroversial yang gagal dari hotel luks Palazzo Versace. Pada 2008, hotel ini meluncurkan ide “pantai sejuk.” Konsepnya simpel: jaringan pipa bawah tanah berisi cairan pendingin bertugas menurunkan suhu pasir, sementara kipas raksasa mengembuskan angin sejuk. “Kami akan menyedot hawa panas dari pasir sehingga pantai cukup dingin sebagai alas berbaring. Ini jenis kemewahan yang diinginkan orang-orang top,” kata pengembang hotel, Soheil Abedian.
Contoh proposal mercusuar lainnya ialah International Chess City, gugusan 32 gedung putih dan hitam berbentuk bidak catur. Proyek ini dibatalkan, demikian pula Hydropolis Underwater Hotel yang berisi 220 suite bawah laut. Sementara Dynamic Tower, pencakar langit 80 lantai di mana tiap lantainya berputar mandiri, belum jelas nasibnya. Pada 2008, perusahaan pengembang Nakheel mengumumkan Universe, kepulauan artifisial baru yang mewakili bentuk tata surya. Rencana ini “ditunda” pada 2009.
Tapi Dubai kini menemukan suntikan energi untuk menggenjot proyek-proyeknya. Ia terpilih sebagai tuan rumah World Expo. (Sedianya digelar di 2020, tapi digeser ke 2021 akibat pandemi.) Menyambut hajatan ini, Dubai siap menghadirkan magnet-magnet rekreasi yang jauh lebih megah, dengan target meraup setidaknya 20 juta pengunjung.
Dubai pun bergerak. Truk-truk molen beton kembali disebar. Buruh bekerja siang malam. Ada banyak proyek yang mesti dikebut. Contohnya: Dubai Creek Tower yang dicanangkan sebagai menara terjangkung; Aladdin City, gedung berbentuk lampu ajaib; Mall of the World, mal termegah di dunia; Museum of the Future; serta megaproyek Meydan One yang siap membukukan beberapa rekor baru: lereng ski indoor terpanjang (1,2 kilometer), air mancur menari raksasa (tinggi 420 meter), serta mal termegah (620 toko). Kabarnya, Anda kelak bisa berkayak di sini.
Andaikan semua itu terwujud, Dubai mungkin masih jauh dari kata puas. “Apa yang Anda lihat sekarang belum sebanding dengan visi kami,” kata Sheikh Mohammed. “Ini hanya sebagian kecil dari apa yang menanti di masa depan.”
Nick Hannes
Nick, bagian dari agensi Panos Pictures, memakai humor, ironi, dan metafora visual dalam mengeksplorasi relasi problematis antara manusia dan lingkungannya. Dia telah menghasilkan tiga buku: Red Journey, Mediterranean: The Continuity of Man, dan Garden of Delight. Nick pernah menerima Magnum Photography Award 2017 dan Zeiss Photography Award 2018. nickhannes.be