Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Restoran Kini Jadi Mesin Uang Andalan Hotel. Kenapa?

Salah satu hidangan di Tin Lung Heen.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Michael Eko Hardianto

Menatap pagi di tepi jendela, saya menangkap satu pemandangan janggal: seekor elang. Janggal karena saya berada di Kowloon, distrik yang dijejali gedung laksana balok Tetris. Lebih janggal lagi karena saya melihat elang tersebut dari atas kepalanya.

Di Hong Kong, di mana harga tanah menandingi London dan New York, para arsitek sepertinya hanya memiliki satu kiblat saat merancang gedung: ke atas. Hotel saya salah satu contohnya. Menempati 16 lantai teratas International Commerce Centre, gedung terjangkung di Hong Kong, Ritz-Carlton otomatis menyandang gelar hotel tertinggi di kota ini. Dari jendela kamar, saya bisa menatap langsung Victoria Peak. Mata saja sejajar dengan puncak International Finance Centre, tempat Batman pernah melompat dalam lawatannya ke kota ini. Dan saya bisa menatap punggung elang, seakan menggeser posisinya dari puncak piramida makanan.

Tapi yang menarik dari Ritz-Carlton bukan cuma posturnya yang semampai, bukan pula liftnya yang sanggup melesat vertikal 425 meter dalam tempo 60 detik. Di luar spesifikasi teknisnya yang memicu vertigo, Ritz-Carlton sejatinya merupakan sebuah destinasi kuliner. Properti ini memiliki dua restoran yang menyabet total tiga bintang Michelin. Di puncaknya terdapat bar tertinggi di dunia. Belum lama, hotel ini meluncurkan gerai yang menjual kaviar termahal sejagat.

Hotel dan restoran. Dua kata ini seolah kian manunggal. Pelaku industri menempatkan keduanya di bawah satu payung terminologi: hospitality. Koeksistensi ini bukanlah fenomena baru. Sejak Abad Pertengahan di Eropa, sebuah inn lazimnya tak semata menyediakan kamar dan kasur, tapi juga makanan, termasuk bagi kuda milik si tamu.

Namun gejala kontemporer memperlihatkan betapa fungsi restoran di hotel sebenarnya telah bergeser. Awalnya berstatus fasilitas lumrah dengan peran sekunder, katakanlah menghidangkan sarapan, restoran kini mengemban fungsi vital sebagai mesin uang—tugas yang makin krusial kala bisnis pariwisata seret dan tingkat okupansi kamar rendah.

Sebab berbeda dari kamar yang praktis bersandar pada arus turis, restoran sanggup bergerak mandiri dengan menjaring konsumen dari komunitas di sekitarnya. Dari kesadaran inilah hotel-hotel meluncurkan inovasi kreatif semacam Sunday brunch, afternoon tea, dan live music. Dan dari kesadaran serupa, Ritz-Carlton meluncurkan Almas Caviar Bar.

Kiri-kanan: Prunier, kaviar termahal di dunia; seorang pramusaji menunjukkan koleksi wine terbaik Tosca.
Kiri-kanan: Prunier, kaviar termahal di dunia; seorang pramusaji menunjukkan koleksi wine terbaik Tosca.

“Harganya 56.000 dolar Hong Kong,” ujar Ling, pramusaji Almas Caviar Bar, sembari memperlihatkan sekaleng Almas Persicus. Kalengnya dilapisi emas 23 karat dan diwadahi kotak kayu layaknya perhiasan. Untuk menyantap kaviar yang bersumber dari ikan-ikan sturgeon di Laut Kaspia ini—yang tentu saja tidak saya lakukan—kita mesti memakai sendok yang dibuat dari mother of pearl. “Tapi tamu tidak bisa langsung datang dan membelinya. Mereka harus memesan setidaknya empat minggu sebelumnya,” lanjut Ling.

Almas Caviar Bar adalah satu-satunya gerai di Asia yang memegang lisensi penjualan Almas Persicus, jenis kaviar termahal yang diproduksi hanya 100 kaleng per tahunnya. Walau harganya setara biaya menginap selama tiga minggu di Ritz-Carlton, penganan kaum jetset ini tak pernah kesulitan menemukan pembeli. Siapa mereka? “Mayoritas bukan tamu hotel. Biasanya mereka meminta kaviar dikirim ke rumah” jawab Ling.

Berpredikat ibu kota kuliner Asia, Hong Kong adalah tempat ideal untuk melihat bagaimana hotel menggarap restorannya. Banyak hotel di sini royal mengguyurkan uang ke sektor F&B. Mereka sudi menyewa koki selebriti, membayar biaya waralaba teh premium, berbelanja wine langka, memesan khusus perangkat makan, mengimpor biji kopi dan potongan daging terbaik.

Sejauh ini, investasi itu berbuah. Membuka Michelin Guide Hong Kong, dari total enam restoran yang menyandang tiga bintang Michelin, separuhnya berada di hotel. Di kelompok bintang dua, proporsinya meningkat: dari total 14 restoran, sembilan berada di hotel. Dan jika kita menyimak daftar Asia’s 50 Best Restaurants 2016, tiga dari sembilan wakil Hong Kong bermukim di hotel. Bagi tamu hotel, kondisi itu memberi satu keuntungan: hemat energi. Mereka tak perlu berjalan jauh dari kamar untuk mencari makanan berkualitas prima.

Turun empat lantai dari kamar, saya mampir di Tin Lung Heen. Di Hong Kong, di mana menu Kanton disajikan oleh kedai-kedai tepi jalan legendaris, sebuah restoran hotel mesti berkeringat lebih deras guna menuai penggemar, dan Tin Lung Heen salah satu yang sukses melakukannya. Tahun ini, Tin Lung Heen sukses mempertahankan dua bintang Michelin miliknya.

Dapurnya diasuh oleh Paul Lau, koki dengan predikat maestro. Sejumlah mantan anak didiknya kini memimpin restorannya sendiri. Beberapa menu kreasinya mengilhami banyak koki lain, umpamanya barbecued Iberian pork with honey. “Saya tidak mengubah metode memasak ataupun karakter rasa khas Kanton,” ujar Paul, koki gaek yang memulai kariernya sebagai pembersih kakus. “Saya hanya menaikkan kualitas bahan-bahannya, lalu menyajikannya secara modern.”

Kecuali di pulau terpencil, hampir semua hotel kini membuka pintu restorannya bagi khalayak umum. Kebijakan ini tak murni lahir dari kebaikan hati, melainkan tuntutan bisnis. Satu dalil yang jamak berlaku di dunia perhotelan: sekitar 70-80 persen pengunjung restoran adalah walk-in guest (tamu dari luar hotel). Itu artinya, setiap keputusan membuka restoran adalah sebuah pertaruhan: hotel harus bisa memastikan restorannya cukup ampuh untuk memikat tamu eksternal atau terancam lowong dan merugi.

Kiri-kanan: Sea tiramisu, hidangan unik dari Tosca; sajian Italia modern lainnya di Tosca, restoran penyandang bintang Michelin sejak 2013.
Kiri-kanan: Sea tiramisu, hidangan unik dari Tosca; sajian Italia modern lainnya di Tosca, restoran penyandang bintang Michelin sejak 2013.

Apa yang dibutuhkan untuk menciptakan restoran semacam itu? “Investasi,” jawab Pierre Perusset, General Manager Ritz-Carlton. Dia memberikan satu contoh: Tosca, restoran Italia di hotelnya. Demi menyuguhkan menu dan layanan yang autentik, Perusset mempekerjakan koki Italia, manajer Italia, juga sommelier Italia. “Untuk tomat saja kami mendatangkannya dari Italia melalui pemasok khusus,” tambahnya.

Komitmen itu berjasa mendatangkan satu bintang Michelin bagi Tosca. Dan sesuai rumus global, setiap bintang Michelin mengejawantah dalam melonjaknya pendapatan sekitar 10-20 persen. Kendati demikian, prestasi luhur itu juga menyimpan konsekuensi: tuntutan konsistensi. Bintang Michelin tidak datang dalam semalam, tapi bisa hilang akibat alpa dalam sehari. Bagi pihak hotel, itu artinya investasi yang berkelanjutan.

Di industri perhotelan saat ini, restoran telah menjelma jadi unit bisnis yang menjala laba secara independen. Kasur dan dapur tak lagi melambangkan sebuah koeksistensi, melainkan simbiosis mutualisme. Contoh ekstremnya tersaji di India. Menurut laporan The Economic Times pada Juni silam, hotel-hotel di India mulai merasakan ketimpangan finansial dalam pembukuannya: pendapatan dari gerai F&B meningkat ajek, sementara perolehan dari kamar justru susut. “Restoran memang kian penting,” lanjut Perusset, yang pernah bekerja di Jakarta. “Jika cuma mengandalkan tamu yang menginap, kami mungkin butuh ribuan kamar demi bertahan.”

Mungkinkah ini potret masa depan dunia perhotelan, bahwa demi memiliki kas yang sehat, sebuah hotel mesti melampaui khitahnya dan berubah jadi kafetaria besar berisi banyak kedai? Bagi Perusset, jawabannya akan sangat kasuistik: tergantung lokasi dan ukuran hotel. Tapi secara umum dia yakin kamar tidak berada di posisi yang inferior dari restoran. Pendapatan kamar memang kalah besar, tapi margin yang disetorkannya jauh lebih tinggi. “Profit kamar bisa dua kali lipat restoran, karena kamar tidak memakan ongkos produksi sebesar restoran.”

Kiri-kanan: Teropong di kamar Presidential Suite; suasana di Ozone Bar, bar tertinggi di jagat.
Kiri-kanan: Teropong di kamar Presidential Suite; suasana di Ozone Bar, bar tertinggi di jagat.

Menaiki lift yang melesat seperti kapsul lontar, saya meluncur ke lantai 118 dan mendarat di Ozone, bar tertinggi di dunia. Terasnya merupakan wadah kongko favorit tamu, terutama ketika pentas simfoni cahaya menembakkan aneka warna ke langit kota. Tapi suguhan di area indoor sebenarnya tak kalah memikat: Miguel Fernandez, mixologist bertangan dingin tapi berperangai hangat.

“Dulu bar-bar terbaik umumnya berada di luar hotel,” ujar Miguel seraya meracik koktail dengan gerakan yang mengombinasikan silat dan akrobat. “Sekitar 10 tahun silam banyak hotel mulai menyadari alasannya: tamu kian cerdas dan tak mau hanya disuguhi koktail standar semacam gin and tonic. Itu sebabnya kini hotel lebih serius mengemas barnya.”

Miguel menuangkan cairan dari satu gelas ke gelas lain, lalu membakar beberapa helai daun dan menyemprotkan krim. Apa nama minuman ini? “Tidak ada namanya,” jawabnya. “Saya ciptakan sesuai suasana hati Anda.”

Kendati belum tercantum dalam daftar Asia’s 50 Best Bars, Ozone merupakan sarang nokturnal yang populer di Hong Kong. “Yang saya suka dari tempat ini adalah panoramanya dan koktailnya,” ujar Monserrat, gadis New York yang duduk di sofa dengan tarif termahal: HK$3.000 atau setara Rp5.000.000. Bagi Ritz-Carlton, Ozone adalah bintang dalam neraca keuangan. Separuh pemasukan hotel ini dipetik dari gerai F&B, dan Ozone merupakan ATM-nya yang paling subur.

Duduk di teras Ozone, menatap kota yang enggan terlelap, saya kini menyadari satu kejanggalan lain: jika benar kamar masih menyumbang profit terbesar, mengapa executive chef kerap mendapatkan upah lebih besar dibandingkan room director?

Area outdoor di Ozone.
Area outdoor di samping pusat kebugaran.

PANDUAN
Rute

Penerbangan langsung ke Hong Kong dilayani oleh China Airlines (china-airlines.com), Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com), dan Cathay Pacific (cathaypacific.com).

Penginapan
Awalnya berlokasi di area Central, The Ritz-Carlton Hong Kong (1 Austin Road West; 852/2263-2263; ritzcarlton.com; doubles mulai dari Rp5.400.000) bermigrasi ke Kowloon pada 2011. Dalam tampilan barunya yang glamor, hotel ini menyuguhkan 312 kamar yang tersebar di 16 lantai teratas gedung International Commerce Centre. Semua kamarnya menyuguhkan panorama kota.

Makan & Minum
The Ritz-Carlton Hong Kong menaungi tujuh gerai F&B. Dua yang paling terkenal tentu saja Tosca, restoran Italia yang memiliki satu bintang Michelin; serta Tin Lung Heen, restoran Kanton dengan dua bintang Michelin. The Lounge & Bar menyuguhkan sarapan harian, sementara Almas Caviar Bar menjajakan kaviar, salmon, dan vodka premium. Bagi mereka yang tidak mengidap akrofobia, naiki lift berkecepatan tinggi menuju Ozone untuk mencicipi aneka koktail di ketinggian 490 meter.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2016 “Dapur & Kasur”).