Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ekspedisi Rute Kereta Terpanjang di Indonesia

Seorang kondektur bersiap membawa Krakatau Ekspres menempuh rute terpanjang di Indonesia, dari Merak menuju Kediri.

Kereta mendekati Stasiun Lempuyangan, Jogja. Saya beranjak dari gerbong, menemui Fatsi dan Adit, lalu saling bertukar nomor dan mengatakan “sampai jumpa ya!” Senyum mengembang lebar dan kami sama-sama tahu kalimat penutup tersebut basa-basi belaka.

Matahari condong ke barat. Roda-roda besi kembali berputar. Kembali ke gerbong, seorang ibu yang baru naik dan duduk di seberang saya tampak kegerahan. Saat kondektur melintas untuk memeriksa karcis, si ibu melayangkan nota protes. “Pak, ini gimana kok AC-nya enggak terasa dingin?” ujarnya. “Lha nanti kalau dinaikkan, ibu malah masuk angin…” kelakar kondektur sembari berlalu.

Di hadapan saya kini duduk satu keluarga kecil: sepasang suami istri dan anak balita mereka yang terlihat sakit. Mahmud, sang bapak, bertanya tentang tujuan akhir saya. Saya jawab Merak, lalu dia kembali bertanya apakah saya orang Sumatera. Setelah saya jawab bukan, dia lantas penasaran dengan alasan saya ke Merak. Saya terangkan bahwa saya semata ingin mencoba Krakatau Ekspres, dan dari Merak saya bakal langsung kembali ke Surabaya. Di wajah Mahmud tersisa kebingungan. Barangkali sebuah kesimpulan timbul di benaknya, bahwa di muka bumi ini ternyata ada dua jenis penumpang kereta: yang jelas tujuannya dan yang tidak.

Kiri-Kanan: Desy Nurhidayati, pramugari Krakatau Ekspres; Dua petugas keamanan melintasi rel di Stasiun Karanganyar, Kebumen.

Saya mengalihkan kebingungan Mahmud dengan bertanya perihal anaknya yang pucat. Kaila, putrinya, ternyata sudah dua hari terjangkit demam. Mahmud dan istrinya, Retno, tidak paham betul apa penyebabnya. “Mungkin karena masih kangen sama mbahnya, jadi enggak mau pulang ke Jakarta,” Mahmud mulai memainkan rumus utak-atik Jaka Sembung. Retno menyiapkan satu kantong plastik berisi beberapa botol larutan penyegar yang sewaktu-waktu diminumkan ke anaknya, sekadar memberikan efek placebo.

Mahmud, seorang lulusan SMP, bekerja sebagai staf keamanan di sebuah gedung perkantoran di Slipi, Jakarta Barat. Istrinya, lulusan SMA, menjadi ibu rumah tangga. Mahmud banyak bercerita tentang kisah hidupnya sebagai warga urban yang memiliki hubungan benci-rindu dengan Jakarta. Dia sebetulnya sudah muak dengan tekanan hidup Ibu Kota, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa jika mesti kembali ke kampung halaman.

Mahmud ingat, empat belas tahun silam, dia pertama kali ke Jakarta menggunakan kereta kelas ekonomi, diajak oleh saudaranya yang lebih dahulu bekerja di Ibu Kota. Tiketnya seharga tiga puluh ribu rupiah, tapi sonder tempat duduk. Mahmud terpaksa bergelantungan di bordes hingga Stasiun Pasar Senen. Sempat dia hampir mati setelah tangannya lepas dari pegangan akibat mengantuk. Untung ada penumpang yang cepat menarik kerah bajunya. “Dulu maunya murah, tapi sebetulnya berbahaya,” kenang Mahmud.

Kondektur melakukan pengecekan terakhir untuk memastikan penumpang tidak tertinggal di Stasiun Merak.

Kening Kaila berkerut, matanya terpejam erat, seakan menahan sesuatu. Tiba-tiba byoor! Kaila muntah. Bapak ibunya terkesiap, berusaha mengantisipasi agar muntahan Kaila tidak ke mana-mana. Tapi terlambat. Isi perut Kaila sudah membasahi baju, rok, selendang, celana, dan sepatu orang tuanya. Wajah Mahmud cemas. Retno berusaha tenang. Kaila lemas. Saya merasa iba dengan mereka.

Penumpang di kursi lain melongok sebentar, berusaha mencari tahu asal bau menusuk, kemudian kembali tenggelam menatap layar ponsel pintar. Seperti tidak terjadi apa-apa. “Sekarang ini makin susah cari kerja di Jakarta,” Mahmud melanjutkan cerita usai membersihkan sisa muntahan. “Lebaran tahun lalu saya bawa adik yang lulusan SMA cari kerja di Jakarta, tapi sampai Lebaran tahun ini belum juga dapat.” Jangankan lulusan SMA, lulusan sarjana saja belum tentu beruntung dapat kerja di Jakarta, ujar saya menimpali.

Mahmud mengangguk. Retno menguping saja. Selain adiknya, Mahmud pernah membawa seorang kawan dari desa yang lulusan D3 untuk mengadu nasib di Ibu Kota. Mahmud mencoba berbagai cara agar kawannya mendapat pekerjaan, tapi tak kunjung berhasil, sampai akhirnya kawannya malu dan memutuskan pulang kampung. Terakhir, Mahmud mendengar kabar kawannya itu bekerja serabutan.

Kiri-Kanan: Meregangkan kaki di gerbong Krakatau Ekspres; Kondektur Sumaryono di Stasiun Kertosono, Nganjuk.

“Padahal dulu untuk modal sekolah ia harus jual sawah bapaknya.” “Sekarang, orang pinter itu kalah sama orang bejo…” kata Mahmud. “Lha rumus biar jadi orang bejo itu gimana, Mas?” tanya saya. “Wah ya kalau itu enggak ada sekolahnya. Situ tanya sama Gusti Allah saja.”

Saya melengos. Kaila sudah tidur. Saya pamit pada Mahmud dan Retno, lalu pergi ke gerbong kafetaria. Di kepala saya terngiang lagu 500 Miles yang pernah dinyanyikan Joan Baez, tentang kehidupan seorang pekerja yang jauh dari rumah dan malu untuk pulang.

Lord, I’m five hundred miles away from home. Not a shirt on my back, not a penny to my name. Lord, I can’t go back home this away

Mengisi waktu, seorang perempuan menonton drama Korea dari ponselnya.

Di kafetaria, saya mengambil tempat duduk yang sama, memesan menu yang sama. Di luar jendela, matahari hampir terlelap. Singgah di Stasiun Gombong, Kebumen, beberapa staf kebersihan melompat, memadati sebuah lapak, lalu kembali dengan membawa bungkusan berisi nasi ayam sambal.

Di samping saya duduk Stevan Andrew, remaja yang bekerja sebagai pramugara di gerbong kafetaria. Dia tampak sibuk. Saya lirik ponsel pintarnya, ternyata sedang main Pokémon GO. Pria asal Kalimantan Tengah ini keturunan Suku Dayak Tomun. Katanya, saat singgah di Stasiun Gombong tadi, dia sukses menangkap Ekans. Saat berhenti agak lama di Stasiun Notog, Banyumas, dia memerangkap Krabby. Sedangkan di Stasiun Purwokerto, dia memburu dua monster, Zubat dan Staryu.

Dari Purwokerto, kereta bergerak ke utara menuju Stasiun Cirebon, membelah Jawa menjadi dua bagian. Stevan memperkenalkan Ricco Noviansya, kapten pramugara yang cakap dan gesit. Ricco mengaku bekerja di gerbong makanan ini sejak Krakatau Ekspres diluncurkan tiga tahun silam. “Seandainya pilot, jam terbang saya sudah tinggi!” ujarnya sambil tertawa.

Kiri-Kanan: Masinis Agus Arifin di Stasiun Madiun; Tiga porter menurunkan sepeda motor dari gerbong barang di Stasiun Madiun.

Tidak banyak penumpang yang turun di Stasiun Cirebon. Namun begitu memasuki Bekasi dan Pasar Senen, penumpang menyusut drastis. Di atas kereta hanya tersisa segelintir penumpang dengan wajah yang layu. Sebagian besar memilih berselonjor, memanfaatkan bangku-bangku kosong. Sebagian lainnya terdiam dalam lamunan. Suasana hening. Hanya terdengar suara roda besi yang beradu dengan rel. Ingin rasanya menyetel Nightrain-nya Guns N’ Roses lewat speaker kereta sekeras-kerasnya.

Rasidi, kondektur yang mengawal etape terakhir Krakatau Ekspres dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Merak, terlihat limbung. Dua kancing teratas kemejanya dibuka. Topi kondekturnya entah di mana. Panas menjalar di tulang belakang saya. Apesnya, koleksi lagu yang saya siapkan pada gawai pemutar musik sudah mulai habis.

Kereta sudah melewati separuh malam, tanda bagi Rasidi untuk berteriak-teriak membangunkan penumpang yang akan turun di stasiun terdekat: Parung Panjang, Tigaraksa, Rangkasbitung, Serang, Cilegon. Rasidi menyapa saya, menanyakan tujuan akhir, lantas bilang, “Kalau nggak dibangunkan begini, bisa-bisa kelewatan…”

Krakatau Ekspres dibersihkan di Stasiun Merak yang berdampingan dengan Pelabuhan Merak.

Semua provinsi di Jawa sudah terlewati. Kereta melambat. Detik ke detik terasa panjang. Akhirnya Krakatau Ekspres mendarat di Stasiun Merak ketika jarum jam hampir menyentuh angka tiga pagi. Ini ujung paling darat jalur kereta di Pulau Jawa. Beberapa penumpang turun dengan langkah gontai. Dari jauh, trompet kapal meraung-raung. Stasiun Merak bersebelahan dengan pelabuhan. Udara dingin Selat Sunda menyergap.

Tuntas melintasi Jawa, pulau padat di mana 60 persen populasi negeri menetap, di mana Republik diproklamasikan dan kekuasaan terus diperebutkan, saya sebetulnya mengangankan penutupan yang megah, grandeur, seperti Katedral Santiago de Compostela atau Gunung Kailash yang menyambut peziarah usai menaklukkan jarak yang panjang. Tapi di hadapan saya yang tampak justru kebalikannya: stasiun kecil yang sepi dan diselimuti kegelapan. Nyaris dilupakan.

Panduan
Informasi

Dengan jarak tempuh mencapai 925 kilometer, Krakatau Ekspres (kereta-api.co.id) saat ini merupakan kereta dengan rute terpanjang di Indonesia. Kereta yang diluncurkan pada 2013 ini melayani trayek Kediri-Merak, pulang-pergi.

Ia melintasi enam provinsi dan singgah di 18 stasiun di Pulau Jawa, dengan durasi tempuh total antara 18 hingga 19 jam. Krakatau Ekspres berangkat saban pagi dari Stasiun Merak dan Kediri. Harga tiketnya berkisar Rp285.000-300.000, satu arah, tergantung dari kelas gerbong yang dipilih.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2017 (“Senandika Kereta”).

Informasi terbaru:
Mulai 17 Juli 2017, KA KRAKATAU akan mengalami perubahan nama menjadi KA SINGASARI, dengan rute Pasar Senen-Blitar (pulang-pergi).