Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengenal Kumoratih, Spesialis Tur Seni Tradisi

Kiri-kanan: Melalui Gelar, Kumoratih tidak kenal lelah melestarikan kesenian budaya Indonesia; salah satu pertunjukan yang ditampilkan.

Melalui institusi Gelar (gelar.co.id), Kumoratih Kushardjanto memproduksi film-film bertema kesenian Indonesia untuk dijadikan bahan studi kampus-kampus di luar negeri. Tapi dia lalu tersadar, apresiasi seni tak selalu ideal jika dilakukan melalui layar televisi. Karena itulah Kumoratih meluncurkan program tur ke kantong-kantong kesenian. Di Lasem, peserta trip diajak berdiskusi dengan tokoh budaya. Di Cirebon, mereka dibawa bertamu ke keraton dan menonton tarian klasik yang terancam punah.

Latar belakang tur budaya?
Fokus kami adalah mengemas kembali kesenian tradisional untuk konsumsi masyarakat urban. Cultural trip bertujuan mengajak peserta menikmati sajian tradisi budaya di tempat budaya tersebut berada, ketimbang menyaksikannya di dalam bangunan dengan panggung kaku.

Acara perdananya seperti apa?
Acara ini dimulai pada 2007 di Cirebon dari pentas kolaborasi antara Gelar dan Iwan Tirta, di mana sang maestro batik merekonstruksi kostum tari keraton dari abad ke-17 dan 18. Bersamaan dengan itu, Gelar diundang ke Keraton Kanoman untuk menyaksikan atraksi Bedaya Rimbe. Tak disangka, acara itu diminati banyak orang, hingga kami memutuskan untuk melaksanakannya secara rutin dengan tema berbeda.

Tantangan terbesar?
Menjaga autentisitas sebuah tradisi. Kami harus melakukan pendekatan ke masyarakat lokal, sebab ritual yang kami ingin saksikan bersifat langka dan digelar di momen tertentu. Meminimalisasi pengeluaran juga tantangan tersendiri. Kami adalah produser acara, bukan travel agent yang memiliki jaringan. Trip kadang menimbulkan kesan mahal, tapi itu semua merupakan salah satu bentuk donasi untuk melestarikan tradisi.

Agenda berikutnya?
Saya tidak ingin program ini diikuti masyarakat lokal saja, tapi juga orang-orang dari Eropa atau Asia. Kami mengunjungi daerah yang bukan primadona pariwisata. Selama ada sejarah dan budaya, pasti di tempat itu ada yang bisa dilihat. Program ini diharapkan bisa menciptakan travel pattern yang bisa dipakai untuk mengembangkan pariwisata Indonesia.

Pengalaman paling berkesan?
Menyaksikan dan bertemu maestro Tari Lengger laki-laki di Banyumas. Umurnya sekitar 80 tahun, dan ia merupakan penari Lengger pria terakhir.