Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Di Bali, Resor Baru Banyan Tree Merevisi Konsep ‘Melebur dengan Alam’

Vila bertubuh kayu di Buahan, a Banyan Tree Escape, resor yang dibuka pada 14 Juni di daerah Payangan, sekitar 20 kilometer di utara Ubud. (Foto: Banyan Tree)

Oleh Cristian Rahadiansyah

Melebur dengan alam. Ini jargon klasik dalam bisnis hotel. Dari tenda glamping hingga pondok safari, sudah banyak yang menawarkannya. Bulan ini, sebuah resor dibuka di Bali dengan tawaran serupa, tapi dengan tafsir berbeda. Bukan cuma propertinya yang melebur dengan alam, tapi juga penghuninya.

Lokasinya di Payangan, 20 kilometer di utara Ubud. Sedikit lebih jauh dari Hanging Gardens. Jalan ke sini sudah terbentang mulus, walau medannya kadang menegangkan. Ada banyak tikungan tajam dan tanjakan curam. Sampai-sampai Alphard penjemput tamu mengejan di gigi satu.

Lokasinya memang menyimpang dari sirkuit turis. Tapi ada kompensasinya: lingkungan yang asri. Resor ini meringkuk di hutan rimbun, bertengger di lembah curam, persis di belakang Desa Buahan Kaja. Di kakinya, Sungai Ayung mengalir deras, menabrak bebatuan, membentuk jeram-jeram.

Jalan kerikil yang dikepung hutan di Buahan, resor yang hanya melayani tamu berusia minimum 18 tahun. (Foto: Cristian). Kanan: Kelas yoga di Buahan. (Foto: Banyan Tree)

Ada 16 vila di sini. Mereka disebar di lereng, terselip di antara pohon dan semak. Sekilas mirip rumah hermit—tempat untuk melarikan diri dan bersembunyi. Tampilan yang pas dengan nama resornya: Buahan, a Banyan Tree Escape.

Dalam hal fitur, vila-vilanya memenuhi standar bintang lima. Ada kolam renang privat, bathtub tembaga, keset sehalus handuk, matras gigantik yang sepertinya cukup ditiduri empat orang, tapi dengan kelembutan linen yang membuat kita malas berbagi. Tapi ini semua bukanlah aset utamanya. Pastinya bukan aset yang membuat orang sudi berkendara dua jam dari bandara.

Vila tanpa pintu maupun dinding, rancangan arsitek Dharmali Kusumadi dan Gede Kresna. (Foto: Banyan Tree)

Vila-vilanya dirancang menyatu dengan lanskapnya. Hampir sekujur tubuhnya dirangkai dari kayu. Termasuk pilar, mebel, lantai, hingga atapnya. Bahan utamanya ialah kayu ulin daur ulang. Ini tipe kayu perkasa yang liat bertahan di medan basah. Karena itu lazim dipakai di rumah-rumah panggung di Kalimantan.

Uniknya, bukan cuma bangunannya yang merangkul alam. Resor ini juga “memaksa” penghuninya meniru kaidah serupa. Tiap vila sengaja tak dilengkapi tembok. Saya ulangi, tak dilengkapi tembok. Arsitekturnya lebih mirip bale: rumah panggung dengan atap ditopang pilar-pilar kayu. Itu juga sebabnya Buahan menyebutnya sebagai “bale” ketimbang vila.

“Saat kami menjelaskan konsep ‘tanpa tembok’ ke calon tamu, banyak orang susah memahaminya,” ujar Puspa Anggareni, Manajer Buahan, yang sebelumnya bekerja untuk Capella Ubud. “Mungkin karena ini sesuatu yang baru. Tapi kami percaya desain ini membuat orang benar-benar merasa berdekatan dengan alam.”

Jamur pelepah dibakar sebelum disantap—wisata kuliner di alam bersama koki resor. (Foto: Cristian). Kanan: Vila dengan kolam renang privat di Buahan. (Foto: Banyan Tree)

Puspa benar. Alam memang terasa dekat di sini. Tak ada batas antara tamu dan hutan. Bahkan, pada malam hari, jika Anda memilih membentangkan kelambu di antara pilar, hutan selalu punya cara untuk menyapa Anda. Aroma daun, udara sejuk, ritmis sungai, nyanyi tonggeret dan jangkrik—semua melenggang bebas menemani tidur. Di sini, tamu tak perlu beranjak dari kasur untuk mempraktikkan forest bathing.

Tentu saja, melebur dengan alam punya konsekuensi. Penghuni hutan kadang sulit membedakan mana turis, mana pohon. Malam pertama, seekor katak hinggap di badan saya. Pagi berikutnya, saya diserempet burung yang berkejaran di tepi kasur. Menuju restoran, laba-laba merajut sarang di gapura vila, padahal saya baru lewat beberapa jam sebelumnya.

Botanist Bar menyajikan aneka koktail berbahan dasar miras lokal, termasuk Rum dari Nusa Cana, Gin dari East Indies, serta Vodka merek Kaja. (Foto: Cristian)

Buahan dirancang oleh arsitek Dharmali Kusumadi dan Gede Kresna. Mereknya, Escape, adalah kategori baru dalam keluarga Banyan Tree. Konsepnya datang di momen yang tepat. Pandemi meningkatkan kebutuhan untuk menjauh dari keramaian, terkoneksi dengan alam. Mengusung desain terbuka di belantara, Buahan mungkin dibenci penjual AC, tapi punya magnet kuat di segmen yang haus “healing.

Resor ini baru dibuka pada 14 Juni 2022. Saya datang sehari setelah pembukaannya. Semua fasilitasnya telah beroperasi. Termasuk pondok spa, restoran dan bar, serta paviliun bambu untuk yoga dan resepsi. Tur-tur untuk tamu juga sudah dijadwalkan. Salah satunya tur ke air terjun di kaki resor.

Aneka selai berbahan lokal buatan dapur resor. Kanan: Tur agro di kebun yang memasok kebutuhan resor. (Foto: Cristian)

Tak semua orang bisa menginap di sini. Buahan melayani hanya tamu dewasa. Alasannya, medan resor ini tak ramah untuk anak. Dugaan saya, ada alasan lain. Konsep “naked experience” yang ditulis di brosur resor rentan menggoda kita, termasuk saya, untuk menerapkannya secara harfiah di vila. Pemandangan yang traumatis jika dilihat anak-anak.

Tiga hari di sini, saya mendapati resor ini juga hanya cocok untuk mereka yang gemar bangun pagi. Sebab, momen terbaik tersaji sebelum pukul 10. Dimulai dengan prosesi kocak: satu per satu tamu menyembul dari hutan, layaknya kaum hermit yang akan reuni. Lalu, usai berbagi cerita tentang tokek atau katak yang ikut check-in, para tamu menyantap sarapan seraya mengagumi tujuh gunung yang bergandengan tangan di ufuk barat.

Kolam renang utama yang menyajikan panorama hutan dan tujuh gunung, termasuk Batukaru, Lesung, dan Adeng. (Foto: Banyan Tree)

Restorannya punya daya tarik tersendiri. Menunya dirumuskan bersama tim Locavore. Dapurnya mengolah hanya bahan-bahan lokal, dan hampir semuanya berbasis tanaman. “Hampir semua bahan juga bersumber dari Bali,” tambah koki resor, Eka Sunarya, mantan Chef de Cuisine Raffles Bali. “Sisanya dibeli dari daerah lain di Indonesia. Misalnya bawang putih dan tepung didatangkan dari Jawa.”

Eka, pria asli Buahan, gemar bereksperimen. Suatu kali, dia menyajikan nasi Jatiluwih yang dicampur mentega kelor. Untuk mencuci mulut, ada keik cokelat yang dipadukan beri trijata. Saban pagi, tawaran uniknya ialah moktail berisi daun kelor blender dan sari kedelai. “Matcha latte versi Buahan,” katanya. Walau terbenam di hutan, resor ini punya kejutan hipster yang cukup urban.

Eka Sunarya, koki resor kelahiran Desa Buahan Kaja. Kanan: Tungku kayu bakar untuk memasak aneka kuliner tradisional. (Foto: Banyan Tree)

Buahan memakai format half-board. Tarif menginap sudah mencakup sarapan dan satu kali makan. Sesi makan siang menonjolkan tradisi kuliner Indonesia. Hidangan malam lebih eksperimental. Di antara kedua sesi santap ini, ada tur kebun—paket yang menggiurkan sekaligus mengetes nyali.

Dipandu Eka, peserta diajak mencicipi beragam hasil bumi dari kebun sekitar. Bukan cuma daun dan buah, tapi juga jamur pelepah, air nira, bahkan ulat sagu. Di resor yang melebur dengan alam ini, wisata agro berubah jadi pelatihan bertahan hidup anggota Mapala.

Vila di atas Air Terjun Tjampuhan, tempat pertemuan Sungai Satang dan Ayung. (Foto: Banyan Tree)

Buahan, a Banyan Tree Escape, Jl. Banjar Selat, Buahan Kaja, Payangan, Gianyar, Bali; 0361/620-8181; banyantree.com; mulai dari Rp9.500.000, minimum dua malam, inklusif sarapan dan makan siang atau makan malam untuk dua orang.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5