by Nina Hidayat 13 June, 2018
Babak Baru Industri Kreatif Bandung
Pada 2015, Bandung menerima kabar gembira. Kota ini ditetapkan UNESCO sebagai anggota Jaringan Kota Kreatif di kategori desain. Ia merupakan wakil kedua Indonesia dalam liga elite ini setelah Pekalongan. Hingga 2017, jaringan ini berisi total 180 kota di 72 negara.
Jaringan Kota Kreatif dibentuk pada 2004 dengan tujuan menyediakan ruang bertukar ide dan berkolaborasi bagi kota-kota yang berjantungkan ekonomi kreatif. Kelahirannya tak lepas dari tren pergeseran penyebaran penduduk. Kini, 54 persen warga bumi adalah kaum urban. Ketimpangannya diprediksi makin melebar hingga 60 persen pada 2050.
Bagi Bandung, gelar kota kreatif mungkin sebuah keniscayaan. Sejarah telah menunjukkan betapa kreativitas mengalir deras dalam nadi kota ini. Setidaknya, 56 persen perekonomiannya ditopang oleh beragam kegiatan desain. Selain itu, Bandung memiliki sejumlah hajatan bertema industri kreatif, salah satunya Helarfest, ajang berusia 10 tahun yang diikuti berbagai komunitas seni dan desain.
Dalam konteks itu, pengakuan UNESCO memang terkesan hanya mengonfirmasi fakta lapangan, tapi bukan berarti tak berguna. Dengan masuk Jaringan Kota Kreatif, Bandung kini memiliki sebuah platform global untuk melembagakan potensi kreatifnya. Setahun usai masuk Jaringan Kota Kreatif, Bandung mempresentasikan cetak biru industri kreatifnya di konferensi tahunan UNESCO, lalu di World Urban Forum. Seiring itu, proyek kolaborasi dengan Kota Kreatif lain mulai digarap. Tahun lalu, Bandung menggelar festival film melalui kemitraan dengan kota Santos, Brasil.
Gelar Kota Kreatif Bandung lahir dari jalan yang panjang. Pada 2008, Bandung melansir Bandung Creative Community Forum (BCCF). Ridwan Kamil, yang waktu itu masih bekerja sebagai arsitek, menjabat ketua pertamanya. BCCF diniatkan sebagai simpul yang menghubungkan pemangku kepentingan dan komunitas kreatif. Lembaga ini pula yang kemudian melayangkan proposal ke UNESCO agar Bandung masuk Jaringan Kota Kreatif.
Proposal itu memang akhirnya tembus, tapi dengan sejumlah catatan. Oleh UNESCO, Bandung ditempatkan dalam kategori Kota Kreatif dalam “tahap berkembang.” Dibandingkan kota lain di kategori desain, sebut saja Budapest dan Nagoya, Bandung masih kalah kelas. Kota ini punya banyak pekerjaan mendasar untuk membenahi infrastruktur dan fasilitas publiknya. Jangankan bicara konsep smart city, taman-taman di Bandung bahkan baru dibenahi beberapa tahun belakangan.
Bagaimanapun, BCCF menyambut positif pengakuan dari UNESCO. Meski terkesan prematur, masuknya Bandung dalam jaringan global bisa menjadi katalis untuk mengebut pembangunan industri kreatif kota ini. “Kita bisa menunjukkan potensi kota kita terhadap pemerintah, dan memaksa pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan kreatif,” ujar Dwinita Larasati, ketua baru BCCF.
Tapi modus “paksaan” itu tak selalu mulus dalam praktiknya. Beberapa program terkesan “asal jadi.” Lihat misalnya Bandung Design Biennale. Edisi debutnya pada 2017 digagas oleh Bandung Design Forum bersama Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI). Sayang, pergelaran berdurasi sepekan ini seperti menguap begitu saja. Gaungnya nyaris tak terdengar. Beberapa laman dari situs resmi acara ini bahkan hanya diisi teks dummy.
Payahnya Design Biennale itu mengecewakan banyak pihak, salah satunya studio desain Kyub. Bersama 11 studio lain, Kyub diminta membantu persiapan Design Biennale. Studio yang pernah menyabet Red Dot Award ini kebagian tugas merumuskan branding acara. Tapi, sampai acara digelar, konsep itu tak jelas nasibnya, begitu pula kompensasi finansial yang dijanjikan oleh panitia.
Ketidakjelasan serupa menghantui sebuah lembaga kreatif bentukan Pemkot. Pada 2015, Ridwan Kamil meluncurkan proyek Bandung Creative Hub (BCH). Infrastruktur yang kabarnya bernilai Rp40 miliar ini dilengkapi studio musik, bengkel kerja fesyen, serta ruang ekshibisi. Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil, merancang BCH sebagai wadah bagi komunitas kreatif untuk “berproses.”
Kini, setelah dua tahun, justru BCH yang terlihat masih “berproses.” Bangunan ini sempat terbengkalai. Pemkot kemudian menggelar pesta peresmian BCH pada 28 Desember 2017 dengan harapan bisa merevitalisasinya, tapi panggang masih jauh dari api. Hingga Februari 2018, ruang kreatif ini masih kering kreativitas. Kegiatannya minim. Banyak stafnya malas-malasan. Ketika ada seorang tamu menanyakan izin pemakaian ruang musik, petugas cuma berkata “ruangan belum siap.”
Sebagai Kota Kreatif, Bandung memang diwajibkan menelurkan banyak program. Tapi mungkin karena niatnya semata memenuhi syarat kuota, eksekusinya kadang terlihat setengah hati. Penyebabnya mungkin bukan semata karena Bandung masih dalam “tahap berkembang,” tapi karena peran Pemkot yang kelewat dominan. Berbeda dari skena seni lokal yang berdenyut kencang berkat gerakan arus bawah, gebrakan Bandung dalam payung Kota Kreatif tampak terlalu bergantung pada keseriusan para pejabat di Balai Kota.
Kendati rapornya ternoda warna merah, mesti diakui era Kang Emil berhasil memberi banyak sumbangsih positif pada industri kreatif Bandung. Selain mendulang pengakuan UNESCO, Pemkot telah memetakan lebih dari 4.000 komunitas ekonomi kreatif dalam 13 kategori. Beberapa kebijakannya, seperti penghapusan izin usaha untuk UKM dengan kapital di bawah Rp500 juta, revolusioner.
Tahun depan, beban pengembangan industri kreatif sepertinya akan berpindah sepenuhnya ke pundak swasta. Bukan karena tuntutan idealisme, melainkan keterpaksaan. Kang Emil akan mengakhiri masa jabatannya pada 2018, sementara tak seorang pun calon penggantinya mengusung program ekonomi kreatif. Menyadari hal itu, BCCF pun mulai memasang kuda-kuda. “Kita mesti siap jadi counterpart pemerintah,” ujar Dwinita, “untuk memastikan Bandung maju, bukan mundur ke masa Orde Baru.”
PANDUAN
Rute
Jika tak ada aral melintang, Bandara Internasional Jawa Barat (bijb.co.id) di Majalengka akan mulai beroperasi di pertengahan 2018 untuk menggantikan Bandara Husein Sastranegara (huseinsastranegara-airport.co.id). Khusus jalur darat, Bandung bisa dijangkau dengan berkendara via Tol Cipularang, atau dengan menaiki kereta Argo Parahyangan (kai.id; tiket mulai dari Rp80.000).
Penginapan
Bagi pencinta desain dan sejarah, Bandung punya banyak hotel yang patut dicoba. Di jantung kota ada Hotel Bidakara Grand Savoy Homann (savoyhomann-hotel.com; mulai dari Rp780.000), penginapan bersejarah yang pernah menampung para delegasi Konferensi Asia Afrika. Fasad tuanya dipelihara, tapi kamarkamarnya tampil segar usai dipermak. Jika menyukai desain yang melebur harmonis dengan alam rindang Tanah Pasundan, salah satu opsi ideal adalah Padma Bandung (padmahotelbandung.com; mulai dari Rp1.550.000). Khusus penggemar desain kontemporer, Maja Group menaungi beberapa properti, di antaranya Stevie G (stevieghotelbandung.com; mulai dari Rp550. 000), serta Blackbird (majagroup.co.id; mulai dari Rp650.000).
Tur Seni
Di kawasan Bukit Pakar, Selasar Sunaryo Art Space (selasarsunaryo.com) menaungi antara lain perpustakaan, kafe, toko suvenir, serta amfiteater. Tahun ini, merayakan usia dua dekade, ruang seni ini akan menanggap banyak acara menarik. Kunjungi pula tetangganya, Wot Batu (wotbatu.id), untuk melihat karya-karya berbahan batu buatan maestro Sunaryo. Masih di area yang sama, ada Serambi Pirous (0852-2160-7732) milik seniman senior A.D Pirous; serta Orbital Dago (orbitaldago.com) yang dibuka pada 2017 oleh kurator Rifky Effendy. Ruang seni fotogenik NuArt Sculpture Park (nuartsculpturepark.com) menyuguhkan patungpatung yang bertaburan di lahan seluas tiga hektare, ditambah area khusus pementasan tari dan musik. Tak jauh darinya, Museum Barli (022/ 2011-898) mendokumentasikan karya-karya Barli Sasmitawinata dan menyediakan kelas menggambar khusus anak. Lawangwangi Creative Space (lawangwangi.com), galeri milik duet matematikawan Benny van Groesen dan Andonowati, memajang banyak karya seniman muda Bandung, termasuk para kontestan Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA). Bandung juga menampung galeri kampus tertua di Indonesia, Galeri Soemardja (@galeri_soemardja). Namanya diambil dari dosen seni legendaris Sjafe’i Soemardja.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2018 (“Bandung Bangun”).