by Karina Anandya 01 August, 2018
Berburu Foto di Bintan
Menghasilkan foto-foto layak Instagram telah menjadi agenda wajib dalam setiap trip—dan Bintan menjanjikan beragam lokasi yang siap memuaskan hasrat tersebut. Pulau ini dikaruniai lanskap yang menakjubkan dan dihuni desa-desa dengan kehidupan yang penuh warna. Latar foto bertema alam, budaya, dan sejarah begitu berlimpah di sini.
Membuka hari lebih dini, Anda bisa menangkap momen matahari terbit terbaik di Pantai Trikora. Trikora sebenarnya merupakan nama bagi empat pantai yang bertetangga di pesisir timur Bintan. Tiap pantai ini memiliki keunikannya tersendiri, tapi Trikora 3 dan 4 merupakan favorit para juru kamera karena mengoleksi banyak titik yang fotogenik. Trikora 3 menyuguhkan formasi bebatuan besar dan menawarkan berbagai olahraga air, sementara Trikora 4 menawarkan atmosfer yang lebih kalem dan panorama yang lapang. Hamparan pasir Trikora terasa hidup dan semarak berat barisan warung camilan dan pondok yang kaya warna. Trikora menawarkan segala yang Anda harapkan dari pantai tropis, ditambah elemen kaya warna untuk membuat foto-foto liburan Anda menonjol. Seluruh pondok di sini bisa disewa sebagai wadah berteduh dari siang yang terik.
Saat berkunjung ke desa-desa di Bintan, arahkan lensa untuk mengabadikan keseharian warga dan kehidupan mereka. Banyak penduduk Bintan berprofesi sebagai nelayan. Saban pagi, desa-desa nelayan di sini terasa riuh berkat kedatangan para nelayan dari mencari ikan semalaman, juga oleh aktivitas bongkar muat dan penjualan hasil tangkapan. Para nelayan di sini lazim dikenal sebagai Orang Laut.
Panglong, desa nelayan terbesar di Bintan, bersemayam di ujung timur laut pulau. Berkunjung ke sini, Anda seakan dibawa ke masa lalu, terutama ketika Anda berjalan di antara rumah-rumah panggung bersahaja yang dibangun di atas laut. Selagi memotret barisan rumah panggung yang unik, jangan lupa mencari warga yang tengah menjemur ikan asin atau kerupuk guna mendapatkan foto-foto candid. Tak kalah menarik untuk dipotret di sini tentu saja anak-anak setempat yang ramah dan murah senyum.
Tempat fotogenik lain yang menawarkan banyak subjek foto bertema kehidupan khas lokal adalah Pasar Pagi di Tanjungpinang. Pasar tradisional terbesar di kota ini menjajakan berbagai komoditas segar seperti buah-buahan, sayur-mayur, dan hasil laut. Layaknya pasar becek di Indonesia, Pasar Pagi terasa riuh, berwarna, kadang semrawut. Aspek lain yang menarik dipotret di pasar ini adalah persilangan kebudayaan dan suku bangsa yang membentuk keragaman masyarakat Bintan. Paras berkarakter Tionghoa, Indonesia, dan Melayu mudah ditemukan berseliweran di sini.
Meluncur dengan perahu selama 10 menit dari Tanjungpinang menuju Pulau Penyengat, tiap fotografer pasti akan terbuai oleh peninggalan Kesultanan Melayu Islam, termasuk reruntuhan istana dan rumah ibadah ikonis Masjid Raya Sultan Riau. Banyak orang percaya masjid ini dibangun pada 1844 memakai bahan putih telur yang dicampur kapur dan pasir. Warisan lain dari kerajaan masa silam, termasuk benteng dan makam keluarga bangsawan, tersebar di penjuru Penyengat.
Banyan Tree Temple dan Vihara Dharma Sasana berlokasi di Senggarang yang berjarak 10 menit naik perahu dari Pulau Penyengat. Dalam perjalanan ke Senggarang, arahkan kamera ke garis pesisir Pulau Penyengat yang tampak menyerupai seekor buaya yang tengah mengapung. Pemandangan unik yang layak diabadikan pastinya.
Situs religi yang menarik kunjungi di Sengarang adalah Kuil Dharma Sasana yang merupakan bekas rumah seorang Kapitan Tionghoa. Kuil ini digerayangi akar-akar raksasa dari pohon beringin, karena itulah kerap dijuluki Banyan Tree Temple. Selemparan batu dari kuil ini terdapat Vihara Dharma Sasana di Desa Senggarang, permukiman yang dipercaya merupakan hunian pertama para pendatang Tionghoa di Bintan. Banyak warganya menetap di rumah kayu yang dilengkapi pintu dan jendela yang simetris—sebuah gaya desain yang langka untuk desa pesisir di Indonesia.
Di belahan selatan pulau, tepatnya 30 menit berkendara dari Tanjungpinang, berdiri Kuil Ksitigarbha Bodhisattva yang menawarkan pemandangan sureal berupa 500 patung lohan, istilah untuk manusia sempurna yang telah mencapai nirwana tapi kemudian memilih mendedikasikan hidupnya di bumi. Semua patung ini dibuat dalam ukuran manusia dan masing-masingnya memancarkan ekspresi wajah yang distingtif. Mereka dibariskan rapi dalam posisi berdiri di sebuah amfiteater. Bagi fotografer yang familiar dengan legenda Journey to the West, carilah karakter Xuanzang yang terselip di antara 500 patung tersebut.
Selepas tengah hari, para pemburu foto senja bisa berpindah ke sisi barat pulau untuk mengunjungi Gurun Pasir Busung, bekas tambang bauksit yang telah menjelma jadi lanskap magis sekaligus magnet turis. Gurun ini, atau lebih tepatnya semi-gurun, adalah sebuah anomali di negara tropis seperti Indonesia. Memasuki golden hour, fotografer dapat memotret bukit-bukit yang bergulung dalam warna kekuningan dan beberapa kolam berwarna pirus.
Ketika malam datang, pilihlah kursi untuk bersantai di Calypso Floating Bar di Nirwana Gardens, lalu nikmati minuman penyegar seraya menonton sinar-sinar keemasan tenggelam perlahan jauh di ufuk. Setelah itu, nikmati makan malam di The Kelong Seafood Restaurant, kemudian kunjungi Lagoi Bay Lantern Park yang dihiasi instalasi artistik—sebuah penutup yang romantis usai seharian disiram sinar mentari, walau di saat yang sama juga momen malam yang menarik untuk diabadikan.
Artikel ini merupakan kemitraan antara DestinAsian Indonesia dan Bintan.