by Fatris MF 29 August, 2013
Timor-Leste, Setelah Indonesia Angkat Kaki
Oleh Fatris MF
Foto oleh Muhammad Fadli
Arquivo & Museu da Resistência Timorense, museum terpenting di pusat Kota Dili, berisi kepedihan. Saya memasukinya dengan jantung yang kian lama kian berdegup kencang. Ruangannya disekat hingga membentuk lorong-lorong kecil dengan cahaya temaram, seakan hendak mengatakan: selamat datang di masa lalu kami!
Saya menyusuri lorong berkelok yang ditempeli poster-poster Falintil, tentara pembebasan Timor-Leste yang terkenal itu. Di dalam sebuah etalase kaca, seragam kumal serdadu ditaruh. Ada yang tercabik-cabik dan penuh tambal. Di kelokan lain, ada patung seorang lelaki setinggi dua meter. Tangannya memegang pagar besi, bagai hendak melompat ke arah saya. Pagar itu begitu runcing. Moncong lelaki itu sedikit ternganga, mungkin hendak berteriak, atau tengah menahan sakit karena tercekik oleh suaranya sendiri.
Pada sisi lorong yang lain dari museum itu, layar-layar monitor silih berganti menayangkan video tentang perang, tentang kekerasan sipil, kekejaman yang teramat sadis. Saya tidak mengerti apa yang dibicarakan presenternya. Ia bertutur dalam bahasa Portugis. Pengunjung tidak dibenarkan membawa perekam suara atau gambar ketika memasuki museum. Begitu banyak catatan kekejaman. Apakah ini sebetulnya yang ingin dijual Timor-Leste untuk mendatangkan wisatawan?
Saya mengunjungi Timor-Leste dengan menaiki minibus dari Kupang. Di dalam kabin, saya membaca buku perjalanan Lonely Planet. Pada halaman awal, José Ramos Horta menulis: “Welcome to the Dili, City of Peace.” Mobil saya melaju kencang, menyalip dan melesat seperti tidak memiliki pedal rem. Hampir semua angkutan umum di Pulau Timor ini dikendarai Michael Schumacher—Michael Schumacher berkulit cokelat. Sesekali ban terasa melayang di atas aspal. Jalan mulus berliku melewati kampung-kampung kecil, Soe, Nikiniki, Kefa, hingga Atambua.
Di Atambua, saya dan penumpang lain mesti turun untuk melewati garis perbatasan negara. Setelah semua barang bawaan diperiksa, saya harus melewati satu pos penjaga lagi sebelum menyeberang ke Timor-Leste. Bumi Lorosae, negeri timur tempat matahari terbit.
“Paspor baru, sepuluh dolar!” tukas lelaki berseragam loreng dalam bahasa Indonesia di sebuah pos. Datar dan dingin, sedingin wajahnya. “Tidak bisakah kita negosiasi, Papa?” saya mencoba mencairkan suasana. “Harga negosiasi sama saja, sepuluh dolar!”
Paspor saya ditahan terpisah dari tumpukan antrean. Haruskah saya memulai tulisan perjalanan selama seminggu di tanah Lorosae dengan hal yang tidak mengenakkan ini. Serdadu Falintil yang menjaga perbatasan itu masih menunggu saya merogoh kantong. Barangkali ini alasan tentara perbatasan mencopot bordiran nama di seragam mereka.
“Kena saya kali ini,” ujar saya pada teman di bus. “Tentara perbatasan di sini mencari gaji sampingan dengan memalak, ya!” kata saya pada gadis cantik yang duduk di kursi depan bus dan berceloteh dalam bahasa Tetun.
“Tentara Indonesia lebih parah. Saya diminta empat ratus ribu rupiah ketika hendak pergi belajar ke Surabaya,” sahutnya ketus. Saya terdiam, diam dalam sadar. Timor-Leste menyimpan memori yang buruk dengan Indonesia. Catatan-catatan dan video tentang kejahatan perang beredar. Indonesia, di mata Timor-Leste, adalah penjajah dengan catatan yang pedas. Di bangku-bangku sekolah, sejarah kekerasan tersebut diajarkan dengan lebih detail. Dalam beberapa catatan, Indonesia kerap disebut tiran. Saya kadang-kadang merasa aneh berada di negeri yang menganggap negeri saya sebagai tiran.
Bus melenggok di jalan penuh lumpur, longsoran bukit, tiang listrik yang patah, berkilo-kilometer panjangnya. Jarak tempuh yang harusnya tiga jam untuk sampai ke Dili dari perbatasan, mesti dikalikan dua. Musim hujan menyulap lubang-lubang di jalanan menjadi kubangan kerbau. Saya memasuki Dili, Ibu Kota Timor-Leste, pada malam hari, ketika hujan turun merendami jalan-jalan dan menguapkan lumpur. Mobil yang saya tumpangi harus berbelok tiga kilometer akibat sebuah jembatan ambruk persis di samping istana presiden yang hanya dijaga dua lapis penjaga. Lumpur disemburkan dari saluran drainase yang berantakan, hingga jalur utama di samping istana harus dialihkan.
Bagaimana mungkin jalan ke istana negara bisa lumpuh hanya karena hujan? Saya tidak bertanya pada gadis Timor tadi lagi. Sebab, satu minggu sebelumnya, Jakarta juga diguyur hujan lebat dan Presiden Republik Indonesia menggulung celananya di pelataran istana.
Dengan sepeda saya berkeliling Dili, dan beberapa pasang turis melakukan hal yang sama. Minggu pagi, anak-anak berdandan, memenuhi jalan mengikuti langkah orang tua yang hendak berangkat ke gereja. Di altar Gereja Motael di tepi pantai Dili, pastor berkhotbah dalam bahasa Tetun, separuhnya Portugis. Keduanya tidak saya mengerti. Tapi pengunjung khidmat. Mereka orang-orang yang taat.
Saya berputar arah mengikuti alur jalan sepanjang pantai. Pulau Atauro tampak sangat samar menyembul dari permukaan laut. Pulau dengan sebutan surga penyelam itu dikelilingi laut yang ditumbuhi karang aneka warna. Gedung-gedung kedutaan dari berbagai negara berdiri megah. Kedutaan Amerika lebih mencolok dan terkesan begitu mewah dengan penjaganya yang berlapis—mengalahkan kantor presiden Timor-Leste yang hanya dikawal penjaga berpakaian adat. Nelayan pulang melaut, membopong ikan-ikan besar hasil tangkapan. Angin sejuk bertiup tenang dari utara.
Menyaksikan Dili seperti menyaksikan Indonesia pasca-revolusi. Masih tersisa coretan-coretan pada dinding yang berteriak tentang kebebasan, gedung-gedung bekas barak tentara yang dipenuhi lumut di sana sini, sisa-sisa dari masa silam yang baru kemarin. Selain itu, mural balap sepeda Tour de Timor yang diadakan tiap tahun, tampak mendominasi tiap tembok kota. Di malam hari, di beberapa pojok jalan yang tidak begitu jauh dari istana negara, bandar-bandar kasino mulai tumbuh, walau dalam kondisi yang belum sempurna, dan perempuan-perempuan pesolek melempar senyum sambil menunggu klien.
Dalam usia yang masih sangat muda, Timor-Leste bagai burung kecil yang terseok-seok terbang dengan sayap yang belum sepenuhnya utuh. Di lepas pantainya, Australia bekerja sama untuk menggali minyak. Di sisi yang lain, hampir 60 persen logistik pangan dan sandang didatangkan dari Indonesia, termasuk guru-guru, BBM, hingga rokok yang diangkut oleh kapal dan mobil-mobil ekspedisi—kendati beberapa “jalur tikus” penyelundupan minyak dan barang dari Indonesia masih beroperasi.
“Bahkan pelacur pun diimpor dari negara luar,” kata Lino Loe di Kafe East Timor Backpackers. Selain harga barang kebutuhan pokok yang tinggi, negara ini baru bisa mencetak koin sen dalam mata uang Timor-Leste. Tapi banyak hal lain yang menggoda turis untuk datang ke sini, kata penjaga Xanana Gusmão Reading Room sembari tertawa.
Pada pagi berikutnya, saya kembali mengayuh sadel menyusuri Jalan Avenida de Portugal, menuju sebuah bukit yang tampak jauh. Di kiri jalan, ada monumen berupa patung besar: seorang lelaki tengah berbaring, mungkin dalam keadaan sekarat. Kain putih membungkusnya, dan sepertinya patung ini belum diresmikan.
“Ini untuk memperingati pembantaian di makam Santa Cruz,” kata seorang lelaki yang tergopoh-gopoh entah mengejar apa. Pembantaian? Cuplikan-cuplikan video di Arquivo & Museu da Resistência Timorense yang sebelumnya saya kunjungi terbayang lagi. Prajurit-prajurit Indonesia melepaskan hujan peluru ke gerombolan orang di sebuah kompleks pemakaman. Huh, udara pagi begitu sejuk di sini, terlalu sayang rasanya jika harus dinodai. Di ujung sana, terhampar bukit dengan patung besar di puncaknya. Saya terus mengayuh, melewati hotel-hotel yang menghadap laut sepi.
Beberapa karyawan hotel yang saya temui mengaku, rata-rata hotel di Dili telah melakukan pengurangan jumlah karyawan hingga 15 persen. Sejak PBB meninggalkan Timor-Leste pada Desember silam, hotel dan kelab malam kehilangan pelanggan yang memang kebanyakan staf LSM asing.
Tak hanya di hotel. Kaum seniman yang menghuni gedung bekas Museum Timor Timur yang diubah nama menjadi Arte Moris, tampak murung dan kurang geliat. Lukisan-lukisan yang dipajang di dinding dan didominasi sapuan kuas ekspresionis perjuangan masa silam, sepi dari penawar yang biasanya merupakan turis asing. Saya masih mengayuh sepeda.