Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Timor-Leste, Setelah Indonesia Angkat Kaki

Lanskap pegunungan dipotret dari Christo Rei, Dili.

Di sini, di puncak bukit Fatucama, Jesus menatap teduh ke arah samudra luas. Tangannya dibentangkan, bagai hendak merengkuh. Cristo Rei, begitu bukit itu dinamakan. Matahari mulai menyirami Dili dan ratusan anak tangga menuju Jesus. Saya, teman saya En yang berkulit cokelat, beberapa orang asing lainnya yang berkulit terang, dan sekelompok kecil perempuan bermata sipit, berziarah ke sini. Tak banyak warga lokal yang mengunjungi sosok manusia suci ini. Beberapa muda-mudi tampak asyik bergandengan mesra menapaki anak tangga.

Dari bukit Cristo Rei ini, Dili begitu jelas. Jesus seakan sedang bersabda dari atas bukit. Di bawahnya, ombak utara menghempas batu karang. Jalan membentang menuju Manatuto dan Baucau di timur. Saya tidak ingin turun dari bukit ini. Apa yang saya saksikan di museum kemarin, telah saya lupakan.

Sejak lepas dari pangkuan NKRI pada 2002, Timor-Leste bebas menentukan masa depannya sendiri. Pada 31 November 2012, United Nations Integrated Mission in Timor-Leste hengkang kaki dari pulau penghasil kayu cendana yang berpenduduk satu juta jiwa ini. Dengan kepergian PBB, berarti Timor-Leste telah bebas dari masa peralihan keamanan dan dianggap aman untuk pendatang.

Taur Matan Ruak, yang pada 2012 dilantik sebagai presiden ketiga Timor-Leste, berjanji akan membawa negaranya terbang dengan sayap yang utuh. Negara dengan persentase angka pengangguran yang mengkhawatirkan ini berkomitmen untuk berkonsentrasi pada pariwisata dan pertambangan. Dua sektor yang kerap bertentangan untuk sebuah negara. Pertambangan minyak adalah eksploitasi tanah, sedang pariwisata berusaha menjaganya. Mungkinkah?

Kiri-Kanan: Resistance Museum mendokumentasikan perjuangan kemerdekaan Timor-Leste; Menu di restoran Discovery Inn, salah satu tempat favorit Ramos Horta.

Dulu sekali, pada musim semi 1861, Alfred Russel Wallace berkunjung ke Dili. Kala itu, Portugis menguasai seluruh lini. Selama enam bulan di sini, Wallace mencatat. “Pemerintahan Portugis di Timor sangat buruk,” tulisnya dalam The Malay Archipelago. “Setelah tiga ratus tahun menjajah, tidak satu mil pun jalan yang dibuat menuju pedalaman. Semua pegawai pemerintah menindas dan memeras penduduk sesuka hati.”

Sekarang, catatan itu seperti bergeming. Gedung-gedung tua, gereja-gereja sepuh, juga agama yang dibawa Portugis bersama sekelompok misionaris pada 1566 bagai tidak bisa lepas dari Timor-Leste. Bahkan, mereka dianggap sebagai daya tarik yang akan mendatangkan wisatawan. Bahasa Portugis diajarkan di bangku-bangku sekolah sejak mata pelajaran Bahasa Indonesia dihentikan pengajarannya. Lebih dari satu setengah abad sejak Wallace menginjakkan kakinya di Timor-Leste, saya datang, walau negeri seluas 15 ribu kilometer persegi ini tidak lagi dijajah Portugis.

Saya mengayuh sepeda menuju penginapan, membelah gerimis. Entah kenapa imajinasi saya kembali ke museum itu, membuat saya tidak ingin melewati kompleks pemakaman Santa Cruz. Entah mengapa saya menuliskannya untuk sebuah catatan perjalanan. Dalam laporan media, kerusuhan di kompleks pemakaman Santa Cruz 1991 itu disamakan dengan Insiden Sharpeville 1960 di Afrika Selatan. Masa-masa berdarah Timor Timur itu berlanjut hingga ia berdiri sebagai negara merdeka.

Anak-anak bermain di pesisir Dili dengan latar Pulau Atauro.

Di masa-masa genting 1999, kerusuhan kembali merebak di Dili. Geoffrey Robinson dalam bukunya If You Leave Us Here, We Will Die menceritakan dengan sangat detail tentang kerusuhan itu. “Empat ratus ribu orang mengungsi dan tujuh puluh persen infrastruktur dibakar dan dirusak.” Salah satu korban kebakaran itu adalah Hotel Galaxy di pusat Kota Dili.

Di atas reruntuhan Galaxy, Discovery Inn dan restoran mewahnya berdiri anggun dengan konsep butik. Jaraknya cuma lima menit bersepeda dari istana negara. Tony Blair memilih Discovery Inn sebagai tempat menginap ketika berkunjung ke negara ini. Restoran Discovery Inn yang diberi nama Diya Restaurant, menawarkan makanan bercita rasa Pakistan. “José Ramos Horta dan Presiden Xanana sering makan siang di sini,” ujar Ilham, manager harian Discovery Inn. Hotel ini tidak merasakan penurunan pengunjung seperti beberapa hotel yang saya masuki di Dili.

Dari Discovery Inn, saya bertolak ke Distrik Baucau yang dipisahkan jarak 130 kilometer dari Dili. Saya berkendara—kali ini dengan sepeda motor—di jalan berliku dengan kondisi rusak parah dan penuh tanjakan, kontras dari alam sekitarnya yang begitu menggugah. Tanah lapang, bukit-bukit hijau yang ditumbuhi cendana, pantai berpasir putih yang seperti tak pernah dijamah, rawa hutan bakau yang dihuni buaya, bangunan kolonial indah yang terhindar dari konflik 1999—semuanya menghiasi lanskap menuju Baucau.

Kiri-Kanan: Patung Yesus di Fatucama; Mural bertema ajang sepeda Tour de Timor.

Jalanan sepi. Hanya satu dua mobil berlabel UN melintas. Saya berhenti di salah satu gereja di Manatuto, disapa anak-anak sekolah yang kemudian menertawakan saya yang memakai bahasa Indonesia. Bahasa yang telah dicabut dari kurikulum dan tidak lagi diajarkan di sini.

“Walaupun begitu, kami masih suka masakan Padang, kami masih memakai batik. Semua yang telah lalu, biar berlalu,”ujar Aquillno Santos Caeiro, National Director of Marketing for Tourism. “Pariwisata sebetulnya andalan Timor Timur dari dulu, namun ketika di tangan Indonesia, tidak terbuka untuk wisatawan,” tambahnya.

Di jalan rusak yang sepi, ban sepeda motor saya bocor. Kepada siapa hendak mengadu? Saya, juga teman saya En, hanya turis asing. Satu mini bus berisi pipa besi, lewat. Sepeda motor kami ikat ke pipa besi bagian belakang. Hanya ini jalan satu-satunya. Gelap mengambang di cakrawala Baucau, menyelimuti rumah-rumah beton, gereja-gereja di kompleks Kota Tua yang tak terawat, desa-desa penuh canda, warung-warung kecil dengan penerangan seadanya.

Kiri-Kanan: Sekolah tua peninggalan Portugis di Baucau; Bersantai menikmati pagi di Areia Branca alias Pantai Pasir Putih.

Saya terperangkap di ruang 15 meter persegi tanpa loteng milik lelaki-lelaki muda penegak arak. Dalam ruangan itu terbentang dua ranjang, sebuah meja dan bale-bale kecil, poster selebriti Indonesia yang memicu gairah, dan foto pernikahan. Saya disambut dengan hangat, seakan seorang saudara yang baru kembali dari perantauan. Sambil menenggak arak oplosan, mereka berceloteh tentang Lorosae yang aman dan ketersediaan lapangan kerja yang minim.

“Dulu saya masih bisa makan tiga kali sehari, sekarang untuk bekerja pun susah,” kata Joao Metan. “Tapi yang penting sekarang kami telah merdeka,” timpal Pedro Apeu sembari meletakkan buku belajar pintar bahasa korea. Lelaki 30 tahun ini sempat hampir putus asa karena selalu gagal tes bahasa Korea.

Di luar ruangan, Terminal Baucau sepi. Gerbangnya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, masih tersisa. Di bawah sana, pantai dan benteng-benteng Portugis menanti para pencari surga. Pembauran Eropa dan Asia begitu kentara. Di bagian selatan, laut terhampar dengan terumbu karang yang memesona. Ada banyak alasan untuk datang ke sini, sebagaimana ada banyak alasan beberapa negara ingin memiliki Timor-Leste.

PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Bandara Presidente Nicolau Lobato di Dili dilayani oleh dua maskapai asing (Airnorth dan Qantas) serta dua maskapai nasional, yakni Merpati Nusantara (merpati.co.id) dan Sriwijaya Air (sriwijayaair.co.id). Jika memilih jalur darat dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, Anda dapat menggunakan minibus Travel Timor (Rp185.000 per orang) yang berangkat setiap hari dari Kupang. Bus berangkat pukul enam pagi dan mendarat di Dili pukul 20.

Penginapan
Dili adalah titik tolak terbaik untuk menjelajahi Timor-Leste. Salah satu opsi ideal adalah Discovery Inn (Avenida Presidente Nicolau Lobato, Dili;  670/3311-111; discoveryinntimor leste.com; doubles mulai dari $139), hotel berkapasitas 31 kamar yang berlokasi di Rua Jose Maria Marques, pusat kota Dili, dan menyediakan penjemputan langsung di bandara Dili. Opsi lainnya adalah Villa Harmonia (Jl. Avenida de Portugal, Dili; 670/7723-8265; doubles mulai dari $40) yang menawarkan kamar tipe standar hingga suite.

Aktivitas
Untuk berkeliling kota Dili dan sekitarnya, cara paling mudah adalah menyewa mobil atau sepeda motor ($3-5 per hari).Jalan yang relatif datar dan mulus akan mengantar Anda dari Arquivo & Museu da Resistência Timorense, Xanana Reading Room, lalu ke gelanggang sabung ayam di Bebora. Di luar kota Dili, beberapa distrik yang menarik disambangi adalah Baucau, Maubisse dan Los Palos. Untuk aktivitas ini, tarif sepeda motor antara $20-30 per hari, sedangkan mobil $100-130. Perairan Pulau Atauro menyimpan terumbu karang yang dijuluki warga lokal sebagai pesaing sempurna bagi Raja Ampat. Hotel-hotel di sepanjang jalan Avenida de Portugal rata-rata menyediakan paket menyelam ke sana. Desember-April merupakan musim hujan di mana hutan dan perbukitan terlihat menghijau dan ombak laut lebih tinggi. Antara Mei dan November, curah hujan minim dan bukit-bukit berwarna cokelat kekuningan. Di hari-hari sakral Katolik, warga biasanya menggelar festival budaya.

Pertama kali diterbitkan di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus (“Feature: Dua Sisi Timor”)