by Yohanes Sandy 05 April, 2017
Road Trip di Pedalaman Myanmar
Teks & foto oleh Mark Eveleigh
Kita hampir sampai di puncak Shan Yoma,” ujar Naung Naung saat mobil kami berhenti di tepi National Highway 4. “Konon katanya, jika Anda menjatuhkan sebutir telur dari sini, telur itu akan menetas sebelum menyentuh tanah.”
Saya tengah berada di salah satu sudut tersembunyi di Myanmar. Perjalanan saya dan Naung Naung dimulai dua hari silam. Bertolak dari Inle Lake, kami melakoni road trip ke arah timur negeri. Agenda utamanya adalah mengarungi Negara Bagian Shan, mulai dari Taunggyi, Ibu Kota Shan, menuju Kengtung di dekat kawasan Segitiga Emas. Di antara kedua tempat tersebut bersemayam Dataran Tinggi Shan Yoma, kawasan terpencil yang dikangkangi gunung dan dihuni komunitas-komunitas tribal.
Usai transit sejenak, kami kembali berkendara, kali ini menuju Hten San, situs ziarah di dekat Taunggyi. Saat saya datang, sekelompok wanita dengan kepala berbalut serban tengah mengiris sayuran di pelataran kuil yang dikelola oleh Koyin Lay. Di mata warga setempat, Koyin Lay ibarat Robin Hood versi Buddha. Tak sulit mengenalinya: dia mengendarai sebuah Hummer berkelir putih.
Saat masih berstatus samanera (calon biksu), Koyin Lay datang ke hutan ini dan mendirikan kuil di perut gua. Banyak orang tersentuh dengan perjuangannya. Kuilnya menerima banyak sedekah, salah satunya berupa jip Hummer. Sang donatur sepertinya ingin memberikan benda yang bisa bertahan lebih lama ketimbang makanan.
Saya meninggalkan kuil dan kembali bertemu para wanita pengiris sayuran. Mereka juru masak relawan dari komunitas etnis Pa-O. Serban mereka yang berwarna-warni melambangkan naga, nenek moyang dalam kepercayaan lokal.
Bisa menemui warga Pa-O adalah pengalaman yang berharga. Myanmar mengoleksi begitu banyak grup etnis. Merujuk statistik resmi, negara ini didiami 135 suku. Tapi statistik tersebut sejatinya acap luput menangkap kompleksitas demografis di lapangan.
Pa-O digolongkan sebagai satu dari empat subgrup Suku Karen, padahal antropolog pernah menghitung bahwa Pa-O sendiri memiliki 24 subgrup. Keputusan pemimpin baru Myanmar Htin Kyaw mendirikan Kementerian Urusan Etnis menjelaskan betapa rumitnya proses sensus penduduk.
Dari Hten San, sopir mengarahkan kendaraan 4WD kembali ke jalan raya. Naung Naung, pemandu saya, mengumumkan bahwa kami akan meninggalkan Daerah Otonomi Pa-O dan memasuki kawasan timur Negara Bagian Shan. Wilayah perbatasan ini bermuara ke Tiongkok, Thailand, dan Laos.
Dulu, orang asing dilarang memasukinya, dan alasannya mudah dimengerti. Menengok sejarah, kawasan timur Shan merupakan jalur utama para bandit penyelundup opium. (Myanmar kini masih bertengger sebagai produsen opium terbesar kedua setelah Afghanistan.)
Problem lainnya adalah perang. Selama empat dekade, wilayah ini menampung faksi-faksi pemberontak yang berupaya menggulingkan rezim militer Myanmar. Pertempuran berlangsung sporadis, tapi acap brutal. Persoalan kian rumit karena sayap-sayap militer yang berbasis suku itu juga kerap berperang satu sama lain.
Tapi itu dulu. Pada 2013, belahan timur Highway 4 telah diturunkan statusnya: dari daerah rawan perang menjadi “zona cokelat,” istilah yang kurang-lebih berarti “daerah dengan risiko terbatas.” Konsekuensinya: turis boleh berkunjung, tapi dengan izin khusus.
Tak lama setelah keputusan itu dilansir, Naung Naung memandu tim Top Gear berkendara di Highway 4. Itulah untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan Myanmar wilayah rawan perang ini menerima orang asing.
Mobil saya kini mengarungi jalan yang dipenuhi tanjakan terjal dan tikungan tajam. Etape yang menegangkan, terlebih karena mayoritas mobil memiliki kemudi di sisi kanan, tapi negeri ini memberlakukan aturan berkendara di sisi kanan. Alhasil, setiap keputusan menyalip sangatlah berbahaya.
Aturan janggal tersebut mulai diterapkan pada 1970 oleh pimpinan junta militer Ne Win. Menurut dugaan banyak orang, dia terinspirasi dari mimpi atau barangkali wangsit bisikan peramal.
Kami berhenti untuk makan siang di sebuah kedai. Sekarang kami telah berada sangat dekat dengan Segitiga Emas, kawasan penghasil opium di pegunungan yang melintasi Myanmar, Laos, dan Thailand. Dialek lokal menyerupai bahasa Thailand. Di dalam kedai, saya menawar harga air kemasan dengan bahasa Thailand yang terbatas, dan si penjual tampak memahaminya.
Dalam perjalanan ke Kengtung, kami akan transit di Kunhing untuk menginap semalam. Jaraknya masih beberapa jam lagi dari sini. Sebelum mobil bergerak, Naung Naung membawa saya ke sebuah desa untuk berkenalan dengan salah satu suku yang nyaris tak dikenal dunia.
“Orang-orang Palaung, seperti kelompok lain di daerah ini, memiliki pasukannya sendiri,” jelas Naung Naung. “Lihat orang-orang yang berjalan ke arah kita itu. Menurut kamu, mereka pria atau wanita?”
Dengan senapan yang dipanggul di atas bahu, kedua pemburu yang mendekati kami jelas terlihat maskulin. Tapi, jika dilihat lebih saksama, salah seorang pemburu memiliki rambut panjang yang terurai, sementara rekannya memiliki poni tipis. Stereotip gender saya kian melenceng saat akhirnya tiba di desa suku Palaung. Usai mendaki tangga, kami bertamu ke sebuah rumah panjang reyot di mana sekelompok wanita sedang menenun. Pria Palaung ternyata tak pernah menggunting rambut mereka, sementara kaum wanitanya mencukur rambut usai melahirkan anak pertama, lalu menjaganya tetap pendek hingga akhir hayat.
Kami mendarat di Kunhing sebelum senja, kemudian menikmati makan malam berisi menu daging babi mentah hasil fermentasi. Saat kami tengah bersantap, empat orang datang menghampiri. Kata Naung Naung, mereka polisi yang menyamar. Setelah sabar menanti kami kelar makan, keempatnya memeriksa izin perjalanan kami, lalu hengkang dari hotel usai menyadari semua berkas telah sesuai prosedur.