by Yohanes Sandy 31 August, 2016
Susahnya Menghidupkan Kembali Pamor Wakatobi
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Rony Zakaria
Wakatobi adalah kisah tentang kembalinya si anak hilang, tentang mutiara yang kusam, tapi kini dipoles ulang agar kembali cemerlang.
“Cita-cita saya menjadi manajer hotel,” ujar Sofia. “Manajer hotel di Wakatobi.” Angin hangat melenggang di ruang SMKN 1 Kaledupa. Cahaya mentari merembes melalui pintu yang dibiarkan terbuka. Seperti di banyak desa di Pulau Kaledupa, lampu di sekolah ini baru menyala pukul enam sore.
Sofia, gadis belia yang mengambil jurusan perhotelan, baru saja merampungkan periode magangnya. Di sebuah hotel di Kendari, dia berlatih cara membukakan pintu, menghidangkan makanan, membentangkan seprai. “Setelah lulus, saya ingin bekerja di resor Hoga Dive,” katanya lagi.
Saya sempat mampir ke resor itu. Lokasinya di Pulau Hoga. Saat saya datang, belasan bungalonya sedang kosong. Karyawannya hanya tiga orang. Tak ada tamu, mereka bersantai menonton televisi. Bukan tempat yang menjanjikan bagi Sofia untuk meniti karier. Di mana gerangan para turis kini?
Pada 2014, Wakatobi dikunjungi oleh 14.000 turis. Berhubung di sini terdapat 44 penginapan, itu artinya tiap penginapan menerima maksimum hanya satu tamu per harinya. Angka yang terlalu minim untuk memutar roda bisnis. Kenapa tak banyak pelancong yang berkenan melirik Wakatobi?
Saya datang ke Wakatobi pertama kalinya lima tahun lalu. Seperti kebanyakan turis, saya datang untuk menyelam. Hanya menyelam. Wakatobi tak menawarkan banyak hal kecuali ikan dan karang. Di sini tak ada gunung yang agung, tak ada sungai yang berliku, tak ada pematang yang mengukir lereng. “Bukan tanah berbatu, tapi batu bertanah,” begitu warga lokal menggambarkan tanah di sini yang tak sudi menyemai padi.
Tanah memang tak menjanjikan banyak harapan di Wakatobi. “Hanya singkong yang bisa tumbuh,” kata warga lainnya. Itu sebabnya nasib digantungkan pada laut, persisnya pada sektor perikanan dan pariwisata. Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir, berita-berita seputar Wakatobi justru dihiasi oleh lesunya kedua sektor itu. Hasil tangkapan susut. Arus turis seret. April 2016,saya kembali datang ke Wakatobi, bukan untukmenyelam, melainkan memotret upaya kepulauanini menyembuhkan duka dan menorehkan tawa.
Mendarat di Bandara Matahora, Pulau Wangi-Wangi, saya disambut sebuah terminal baru yang apik dan resik, jauh lebih megah dibandingkan terminal lama yang lebih mirip Puskesmas. Pemugaran terminal lazimnya ditujukan untuk merespons peningkatan penumpang, tapi tidak di Matahora. Sejak dua tahun terakhir, Wakatobi cuma dilayani dua maskapai. Wings Air terbang sekali per hari. Aviastar seminggu sekali. Dua maskapai lainnya, Susi Air dan Xpress Air, sudah lama pamit.
“Di sektor pariwisata, kendala terbesar kita adalah akses,” kata Bupati Wakatobi, Hugua (masa jabatannya habis Juni 2016). “Dari 3A rumus pariwisata, kita sudah punya dua. Kita punya attractions dan amenities, tapi access terbatas.”
Wakatobi, bagi Hugua, punya segalanya untuk menjadi magnet dunia. Payahnya sektor pariwisata murni karena kendala akses. “Saya berharap dengan adanya terminal baru, Garuda mau terbang ke sini,” katanya lagi. Telur dulu, baru ayam. Bangun dulu, nanti mereka akan datang. Agaknya itu keyakinan sang bupati ketika mengerek terminal baru. Akses, inikah jawaban bagi masalah pariwisata Wakatobi?
Saya mengenang Wakatobi sebagai tempat yang tak butuh banyak pintu untuk mendatangkan tamu. Petualang tulen pasti mencantumkannya dalam daftar tempat yang wajib diselami. Wakatobi, gugusan 43 pulau dan lima atol, termaktub dalam kawasan Segitiga Karang Dunia. Alam bawah lautnya melegenda. Di sinilah Operation Wallacea, proyek penelitian biologi transnasional, dirintis pada 1995. Sebagai destinasi selam, bintang Wakatobi bersinar lebih dulu ketimbang Raja Ampat.
Saya juga ingat, Wakatobi adalah sebuah percontohan. Inilah taman nasional pertama yang mengaplikasikan sistem zonasi. Dalam sistem ini, laut dipecah ke dalam banyak kaveling dengan peruntukan spesifik. Ada zona nelayan, zona wisata, juga zona verboten di mana ikan haram disentuh. Zonasi ini diterapkan atas kesepakatan kolektif, bukan paksaan yang serta-merta. “Sistem zonasi dibahas dengan warga agar tidak membebani nelayan dalam mencari ikan,” ujar Rizya Ardiwijaya, peneliti The Nature Conservancy, LSM yang berandil dalam penerapan zonasi di Wakatobi pada 2007.
Tapi itu dulu. Usai euforia yang bergelora, bintang Wakatobi meredup. Zonasi kerap diabaikan. Laut digerogoti. Orang-orang ramai menambang karang dan serampangan menangkap ikan dengan bom, sianida, atau pukat harimau. Seiring itu, banyak karang rusak, ikan beranjak. “Dibandingkan dulu, kondisi laut berbalik drastis,” keluh La Ode Arman, pemandu selam Operation Wallacea, yang sudah lebih dari 10 tahun menyelam di Wakatobi. “Banyak satwa sudah menghilang. Saya sudah tiga hari mencari kuda laut, tapi tidak satu pun ketemu. Dulu di satu sea fan saja bisa lihat banyak.”
Awalnya teladan soal manajemen laut, Wakatobi terjerembap jadi topik pahit tentang degradasi lingkungan. Betapa ironis. Padahal kepulauan ini sudah didaulat sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO.
Tapi harapan belum padam. Perubahan-perubahan justru besar lahir di situasi genting. Dihadapkan pada mala, warga tersentak, tersadar, lalu tergerak. Pada akhir 2013, para pemangku kepentingan duduk berembuk dan merumuskan visi baru Wakatobi: “Destinasi pariwisata ekologis yang mendunia, berbasis alam dan budaya bahari pada tahun 2018.” Seolah gayung bersambut, pemerintah mencantumkan Wakatobi dalam daftar 10 destinasi unggulan di 2016.
Tak mau terpaku masygul meratapi nasib, Wakatobi kini bertekad menulis lembaran baru dan merehabilitasi citranya. Kepulauan ini sedang mengalami arus balik, dan saya berkelana selama seminggu untuk memahaminya.
Namanya Bank Ikan. Lokasinya di Pulau Tomia. Untuk menjangkaunya, kita tak cuma harus berstamina prima, tapi juga memiliki asuransi jiwa. Dituntun pemandu lokal, saya menembus semaklebat, menapaki bebatuan tajam, lalu menuruni lereng curam sembari bergelantungan pada dahan.
Bank Ikan mempraktikkan kebijakan yang tak lazim dilakukan bank partikelir umumnya: menumpuk laba, lalu membagikannya kepada semua orang. Untuk menjadi nasabahnya, syaratnya sederhana: bersabar. Bank Ikan sejatinya sebuah zona pengembangbiakan satwa. Area seluas 50 lapangan sepak bola ini memberi kesempatan bagi ikan-ikan untuk tumbuh. Setelah populasinya terlalu banyak dan habitatnya kian sesak, mereka akan secara mandiri berenang menyebar, lalu dengan sukarela hinggap di jaring nelayan.
Oleh LSM, Bank Ikan lazim disebut “zona inti.” Tapi bank ini tidak didirikan oleh LSM, melainkan nelayan. Kisahnya dimulai dari petaka. Syahdan, belasan tahun silam, nelayan Tomia dihadapkan pada merosotnya hasil tangkapan. Penyebabnya: akal pendek. Banyak nelayan menggunakan jalan pintas yang destruktif saat menangkap ikan.
“Dulu, pakai bom dan bius, itu perahu bisa penuh ikan. Mulai tahun 2000, sudah pakai bom, paling cuma dapat lima ikan,” kenang La Asiru, mantan nelayan di Tomia. La Asiru sudah lama menanggalkan perahunya, tapi elegi akan remuknya laut masih basah dalam benaknya. “Saya juga pernah ikut menyulut bom,” tambahnya.
Pada 2006, La Asiru mengumpulkan rekan-rekan sejawatnya dan mendirikan Komunitas Nelayan Tomia (Komunto). Dua tahun berselang, mereka mencetuskan Bank Ikan di sisi timur Tomia. Tempat ini tertutup bagi, dan dipantau oleh, nelayan. Awalnya merusak, nelayan kini menjaga. Mereka aktivis yang lahir dari realitas getir.
Oleh PBB, gagasan cerdas itu diganjar Equator Award, semacam Kalpataru di tingkat dunia. Bank Ikan dinilai sebagai sebuah inspirasi, secercah pelita bagi masa depan bumi. Inisiatif swadaya tersebut berdampak ganda: melestarikan alam sekaligus mengembalikan senyum di wajah nelayan. “Sekarang, pasang jaring di meti [air dangkal] saja bisa dapat banyak ikan besar-besar,” ujar La Asiru.
Tapi bukan cuma nelayan yang tersenyum. Tanpa disadari, Bank Ikan menjelma jadi objek wisata baru. Tempat ini sekarang merupakan salah satu area menyelam terpopuler. Keindahannya memang menggetarkan. Bank Ikan bersemayam di kaki tebing terjal, di seberang pantai pasir putih, di bawah perairan berwarna pirus layaknya zamrud yang luntur ke lautan. Berenang di sini, saya dikepung oleh ratusan ikan, dibuai oleh karang yang berlapis, menjulang dan membentang—sepenggal wajah Wakatobi yang dulu dipuja-puji dunia.
Melalui ikhtiarnya memulihkan laut, nelayan membuka peluang baru bagi banyak orang. Desa Kulati, permukiman di dekat Bank Ikan, telah diresmikan sebagai desa wisata. Puluhan homestay bermunculan, sejumlah pemuda beralih menjadi pemandu, objek-objek wisata mulai dipetakan. “Selain Bank Ikan, Kulati kini menawarkan gua dan desa tenun,” jelas Darwis Iman, staf Swisscontact, lembaga yang beroperasi di Wakatobi guna membantu program-program pengembangan pariwisata.
Bank Ikan sejatinya sebuah pelajaran: konservasi dan pariwisata adalah dua sisi dari koin yang sama. “Dengan pariwisata, kita tidak perlu ambil banyak ikan untuk mendapatkan manfaat. Orang bisa datang untuk melihat ikan dan kita akan dapat manfaatnya,” ujar La Asiru. Pelajaran itu kini bergaung kencang, menjalar ke pulau-pulau lain, menular ke banyak desa.
Menaiki kapal kayu, saya meluncur ke pojok timur Wakatobi, merandai perairan selatan yang berbatasan dengan Laut Flores menuju Pulau Binongko. Seperti pulau-pulau tetangganya, Binongko bersandar pada karunia laut, dan di sini kita bisa menyaksikan bagaimana warga tekun merawat aset terbesar mereka. Di sejumlah titik, nelayan membentangkan tali hingga ratusan meter dari garis pantai dan mendeklarasikannya sebagai area yang tertutup bagi aktivitas perikanan.
Serupa dengan Bank Ikan, aksi tersebut dipicu oleh keprihatinan akan kerusakan karang, tapi idenya dipetik dari petuah masa silam: kaombo, zonasi versi adat. “Kaombo warisan leluhur, kami cuma meneruskannya,” jelas La Ode Hasaho, sesepuh Desa Wali, kampung nelayan di Binongko.
Berkat elan nelayan, perairan Binongko kini dikenal sebagai yang tersubur di Wakatobi. “Jika mau dapat banyak ikan, harus pergi ke Binongko. Pulaunya masih alami,” ujar Ahmad Albar, seorang nelayan Bajo di Wangi-Wangi, yang saya temui dua hari sebelumnya. Sebuah survei maritim pada tahun lalu mencatat 312 ekor penyu di 12 titik penyelaman di Binongko—statistik yang akan memukau penyelam paling kawakan sekalipun. Bahkan di Raja Ampat sulit bagi kita untuk mendapati lebih dari 10 ekor penyu di satu titik. “Penyu terlalu banyak di sini, sudah seperti hama. Mereka sering masuk jaring,” keluh seorang nelayan Binongko.
Nelayan kerap dituding sebagai tersangka utama dari terkikisnya ekosistem Wakatobi. Hari ini, saya mendapati mereka tak melulu kaum bebal yang anti-konservasi. Perubahan sikap itu tentu tak bisa dipandang remeh. Justru sebaliknya: di tengah minimnya jagawana dan kapal patroli, partisipasi nelayan merupakan resep mujarab untuk memastikan laut Wakatobi berumur panjang.
Sayangnya, tak ada gading yang tak retak. Saat angin sejuk perubahan mulai berembus, ketika banyak nelayan giat merapatkan barisan dan desa-desa semangat menjamu wisatawan, keruwetan birokrasi menghadirkan problem pelik baru.
Awalnya, hardikan. Lalu, suara tamparan. Berikutnya, muncul sehunus pisau. Pukul delapan malam, kegaduhan pecah di sebuah warung: pemandu selam Operation Wallacea bersitegang dengan petugas Balai Taman Nasional. Tak lama berselang, aparat datang ke TKP dan mengusut kasus tersebut. Sebelum diangkut, si pemandu selam sempat membeberkan pangkal pertikaian: retribusi ganda.
Wakatobi adalah kabupaten yang merangkap taman nasional. Jukstaposisi ini mengandung kompleksitas: siapa yang berkuasa atas laut, laku apa yang boleh dan tidak, bagaimana jika agenda kabupaten bertentangan dengan aturan taman nasional? Sengketa yang saya lihat di warung adalah buah “dualisme kekuasaan” tersebut. Pemkab dan Balai Taman Nasional sama-sama mematok bea bagi turis, tapi pihak operator selam keberatan jika harus menyetor ke dua kas sekaligus.
“Rivalitas sektoral” antara Pemkab dan Balai Taman Nasional adalah rahasia umum di Wakatobi. Polemik itu membelah-belah pelaku pariwisata, menempatkan turis di tengah medan laga yang kontraproduktif. Friksi begitu sengit sampai-sampai duel jalanan bisa pecah antara lembaga yang meneliti satwa versus lembaga yang menjaga satwa.
Di tengah kecamuk itu, Badan Otorita Pariwisata (BOP) dipandang sebagai jalan tengah. Lembaga yang dicetuskan pemerintah ini beriktikad merangkul pemangku kepentingan lintas institusi demi mempercepat proyek-proyek pariwisata, misalnya pembangunan resor. Di bawah payung BOP, harapannya, proses administrasi bisa dipersingkat dan isu-isu sensitif mudah dicairkan.
Namun apa yang cantik di atas kertas tak lantas mulus diterima di lapangan. BOP dipandang cemas oleh warga. Bukan karena konsepnya keliru, tapi karena banyak orang telanjur trauma dengan investasi. “Harus ada kejelasan seberapa jauh warga bisa terlibat,” ujar Tamrin Tahir, Sekretaris Kaledupa Island Tourism Group. “Kami tak mau ada Wakatobi Dive Resort lain di sini.”
Wakatobi Dive Resort (WDR)—tiga patah kata yang seakan menebar teror. Resor ini bermukim di Pulau Onemobaa sejak 1996. Kehadirannya berjasa menempatkan Wakatobi dalam peta wisata dunia. WDR membidik turis asing, memiliki landasan udara pribadi, melayani penerbangan carter dari Bali. Tapi investasi yang awalnya disyukuri itu perlahan bergeser menjadi penyesalan. Awalnya semata mengontrak pulau, WDR bergerak lancang dengan “mengklaim” laut di mukanya. Seminggu di Wakatobi, saya berulang kali mendengar kisah warga yang dihardik saat melewati perairan WDR. Dalam perjalanan ke Binongko, segani saya sengaja memperlambat laju kapal di depan WDR sebagai bentuk provokasi karena kesal pernah diusir penjaga resor—dan ia kembali diusir akibat aksinya itu.
Saya mencoba memahami logika kebijakan pengelola resor. (Permohonan wawancara sudah diajukan ke pihak WDR, tapi mereka tidak merespons.) Sikap protektif resor barangkali lahir dari paranoia akan kerusakan karang. Sebagai solusinya, WDR mengambil langkah praktis: menyewa penjaga.
“Sebelum tahun 2000 memang pernah stafbalai melakukan penjagaan di area WDR, tapi kinitidak lagi,” ujar Siti Wahyuna, pejabat Balai TamanNasional Wakatobi, perihal tudingan miring bahwajagawana disewa WDR sebagai pengawal pribadi.“Pernah suatu kali pihak WDR menawarkan sayauang untuk konsumsi rapat, tapi saya menolaknya.”
Usai seminggu melompat dari satu pulau ke pulau lain, saya kembali ke Wangi-Wangi. Di dekat dermaga, tak jauh dari kantor bupati, perusakan alam terlihat masih berlangsung. Bongkahan-bongkahan karang diangkut dengan mobil bak, ditumpuk di tepi jalan, untuk kemudian dipakai sebagai fondasi rumah. Asa tengah menyala bagi Wakatobi untuk memulihkan pamornya, tapi kepulauan ini masih menyimpan lubang-lubang yang menganga.
Si anak hilang mungkin sudah pulang, tapi belum sepenuhnya bertobat.
PANDUAN
Rute
Kepulauan Wakatobi, sebuah kabupaten yang merangkap taman nasional, terletak di kaki Provinsi Sulawesi Tenggara. Gugusan ini terdiri dari 43 pulau dan lima atol, termasuk empat pulau utama yang menyusun akronim namanya: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Bandara Matahora terletak di Wangi-Wangi dan dilayani oleh Wings Air (lionair.co.id) sekali per hari dari Kendari, serta Aviastar (aviastar.biz) seminggu sekali dari Bau-Bau. Keempat pulau utama di Wakatobi sudah dihubungkan secara reguler oleh kapal penumpang sederhana dengan jadwal dan tarif yang bervariasi.
Penginapan
Hoga, pulau yang berjarak 30 menit naik perahu dari Kaledupa, menampung dua resor: Hoga Dive Resort (hogadiveresort.com; mulai dari Rp800.000 per orang per bungalo, full board) dan Hoga Island Dive Resort (hogaislanddiveresort.com; mulai dari Rp1.400.000 per orang, full board, mencakup dua penyelaman per hari). Di Pulau Onemobaa, persis di seberang Tomia, terdapat Wakatobi Dive Resort (wakatobi.com; mulai dari Rp6.300.000 per orang per bungalo) yang memiliki landasan udara privat dan menawarkan penerbangan carter dari Bali. Wangi-Wangi, pulau terpadat di Wakatobi, mengoleksi banyak penginapan, salah satunya Patuno Resort (wakatobipatunoresort.com; doubles mulai dari Rp1.000.000). Untuk menyelami kehidupan warga, terutama di pulau pelosok seperti Binongko, homestay adalah pilihan ideal. Seiring bangkitnya pariwisata, homestay kini mudah ditemukan.
Aktivitas
Wisata bahari seperti menyelam dan snorkeling masih menjadi tawaran utama. Tapi seiring merekahnya banyak desa wisata, objek-objek baru terus bermunculan, misalnya benteng tua, mercusuar, desa tenun, dan kampung pandai besi. Kasoami, sumber karbohidrat khas lokal, tersedia di hampir semua desa. Jika ingin berlatih menangkap ikan, datanglah ke Desa Liya Togo. Objek populer lain adalah kampung Bajo. Di Wangi-Wangi terdapat Kampung Mola yang menawarkan tur melihat lumba-lumba, sementara di Kaledupa ada Kampung Sampela yang pernah dijadikan lokasi syuting The Mirror Never Lies. Keempat pulau utama di Wakatobi telah memiliki kelompok penggiat pariwisata yang siap memandu turis, misalnya Kaledupa Island Tourism Group (0821-9685-1067) dan Binongko Island Tourism Group (0853-9952-7326). Untuk informasi lainnya, buka situs resmi wakatobitourism.com.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2016 (“Arus Balik”).